ke mana air ciliwung mengalir?

jakarta-river-ciliwung-aryaduta

Sungai menjadi jalan pulangnya ke rumah tak berwadak, tapi ia selalu tahu di mana harus mengetuk pintu
― Dee, Supernova: Akar

Setiap musim hujan dan air mulai menggenangi Jakarta, ada tiga tempat yang selalu dipantengi status airnya oleh warga Jakatra. Pertama adalah Bendungan Katulampa di Bogor, Pintu Air Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai. Ketiga tempat itu dialiri oleh Sungai Ciliwung, yang bermata air di Gunung Gede. Ketinggian muka air di tempat-tempat itu selalu menjadi informasi siaga banjir di Jakarta. Jika tinggi muka air di Bendungan Katulampa sudah tinggi, siap-siaplah yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dengan debit tinggi walaupun volume sungai di Jakarta tidak memenuhi. Akibatnya air meluap dan terjadilah banjir langganan di beberapa titik.

Kemudian musim hujan menjadi akrab dengan terminologi ‘banjir kiriman’. Kabupaten Bogor menjadi kambing hitam sebagai titik hulu sungai yang bercurah hujan tinggi, dan mengalirkan air dalam jumlah besar dalam satu musim dan membanjiri Jakarta. Pembangunan-pembangunan di kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, atau dikenal sebagai Bopunjur dituding menjadi biang keladi kurangnya penyerapan air ke dalam tanah. Air yang seharusnya ditampung oleh akar-akar pepohonan tidak menemukan peresapnya dan berlalu saja ke sungai, dan menaikkan debit air di aliran sungai.

Lalu siapa yang harus disalahkan?
Pengembang? Pemerintah? Arsitek?
Tentu, pelaku konstruksilah yang paling sering dimintai tanggung jawab.

Sementara air berjalan dengan lancar di sungai sepanjang Bogor dan Depok, karena muka tanah masih amat tinggi terhadap muka air (sekitar 20-30 m), penduduk Jakarta senantiasa was-was terhadap ancaman air dari selatan yang menuju hilirnya. Sungai Ciliwung yang dalam dan besar, perlahan-lahan mendangkal dan menyempit ketika memasuki kota.

Sungai yang menjadi tempat tinggal favorit sejak jaman dahulu karena kemudahannya untuk beraktivitas lama kelamaan menjadi sesak. Rumah-rumah yang tadinya hanya ada di lembah sempadan sungai makin lama makin banyak dan mendesak ke badan sungai, mengurangi lahan hijau yang seharusnya menjadi tahanan tanah, dan akhirnya semua penuh oleh bangunan. Alih-alih membuat sungai sebagai muka pelataran seperti yang dilakukan di hulu sana, makin ke kota sungai diperlakukan tidak layak. Orang-orang mulai meperlakukan sungai hanya sebagai halaman belakang karena dianggap buruk, tidak pantas dilihat. Tanpa rasa bersalah sampah-sampah dibuang seenaknya karena berpikir sewajarnya karena orang-orang lain melakukan hal yang sama. Hal yang tidak disadari mengakibatkan pendangkalan sungai, sehingga penampangnya tak cukup lagi menampung debit air yang tinggi dari Bogor.

Lalu siapa yang harus disalahkan?
Masyarakat? Pemerintah? Ahli tata kota?
Lagi-lagi salah satu pelaku konstruksi harus bertanggung jawab.

Semakin ke tengah kota, sungai menjadi pemisah antara daerah tertata dan tidak tertata. Salah satu anah sungai Ciliwung yang melintas ke tengah kota, memisahkan daerah Manggarai yang padat dengan Menteng yang elit. Pintu air Manggarai yang selalu dijaga tutupnya karena jika muka air makin tinggi maka daerah Manggarai hingga Bukit Duri akan terbenam. Pintu air inilah yang membuat keputusan apakah jalan protokol Sudirman Thamrin perlu ikut digenangi atau tidak. Bantaran sungai di sekitarnya diperkuat tanggulannya supaya tidak jebol menahan tekanan air yang begitu tinggi. Cerucuk-cerucuk paku bumi ditanam di tepi-tepi, pengerukan-pengerukan dilakukan teratur, air dibiarkan mengalir hingga laut lewat saluran-saluran besar kota.

Anak sungai Ciliwung yang memecah Jakarta Pusat, akan melalui Kramat hingga Pasar Baru, juga memisahkan antara kampung pemukiman dan kampung beton. Siapa yang melihat di balik megahnya Gedung Departemen Perindustrian dipisahkan oleh sungai dengan satu kampung padat, dengan perlakuan terhadap sungai pun berbeda. Di satu sisi ditanggul kuat, di sisi lain hanya membuat penahan terhadap tanah saja. Tapi kesamaan dari kedua massa yang bertolak belakang ini adalah, mereka sama-sama memperlakukan sungai hanya sebagai halaman belakang, tempat membuang segala hal yang ingin mereka sembunyikan dari depan. Sedih.

Lalu siapa yang harus disalahkan lagi?
Pejabat? Pemerintah? Atau LSM Kampung Kota?
Mari mulai mempertanyakan manusia.

Sederet dengan kawasan Istana Negara terus ke utara, banyak saluran-saluran peninggalan jaman Belanda dahulu. Saluran yang mengalirkan pecahan-pecahan sungai Ciliwung itu terukur dalamnya, jarang meluap hingga menggenangi jalan, diperlakukan sebagai latar depan, dijaga bersihnya dan diberi jarak dengan hunian berupa jalan. Tengoklah sungai di depan Pasar Baru, saluran di sepanjang jalan Gajah Mada, kali di tepi Jalan Gunung Sahari, yang semuanya mengalir lancar, dan agak jauh dari tangan-tangan yang seenaknya mengotori.

Tetapi makin ke utara beban tanah di sekitar air mengalir ini pun makin berat. Bangunan-bangunan bertambah tinggi, tanah makin diperkuat, paku-paku bumi semakin dalam ditancapkan setiap hari, setiap minggu, setiap tahun, dan semakin banyak tanah yang ditutup atas nama pembangunan. Sementara kebutuhan air bersih makin meningkat, dan air buangan pun tetap butuh mengalir. Dan di tepi laut, di mana seharusnya air bisa mengalir dengan ringan, bebas ke laut, ditutup.

Tanah diurug, hutan bakau berubah menjadi beton, pantai-pantai berubah menjadi tanggulan, dan setiap orang berlomba-lomba mendapatkan pemandangan terbaik menghadap laut tanpa berpikir bahwa itu menghalangi jalan air yang seharusnya menyelisip lewat sela-selanya. Di hilir air menemukan jalan buntu, sehingga menggenangi ujungnya, di balik bangunan-bangunan beton pencinta keindahan laut itu. Sungai Ciliwung itu, tak menemukan muaranya.

Di depan Ancol, air sungainya hanya berjarak 30 cm dari jalan.
Di Pasar Ikan Sunda Kelapa, air siap untuk menggenangi rumah warga sekitar setiap musim tiba.
Di Kali Angke, musim hujan bisa merendam stasiun kereta sehingga jalur tak bisa beroperasi.

Lalu di mana salahnya?
Hujan sudah jelas setiap tahun, seberapa banyak, seberapa deras. Air tidak pernah salah, ia hanya mencari tempat mengalir, sebagaimana takdirnya dari hulu hingga ke hilir. Ia hanya tidak ingin dihambat, karena pasti diterjang. Air tidak bisa dihentikan, hanya diperlambat dengan memberi pelataran tanah luas untuk laluannya sebelum akhirnya mencapai titik yang lebih rendah lagi. Air menyukai pepohonan, rumput-rumput, semak-semak sebagaimana hijau itu juga menyayanginya dan berharap air selalu hadir. Air bisa ditangkap dengan kolam-kolam besar dan kecil, untuk menyeimbangkan alirannya, juga danau-danau besar buatan yang bukan hanya sebagai area laluan air namun menyeimbangkan tinggi muka air di banyak tempat.

Selalu beri ruang untuk air, untuk berbagi beban dengan sungai sebagai tempat mengalirnya. Tangkap air sebanyak-banyaknya di halaman, untuk membuatnya tidak terlalu cepat pergi, dan bisa digunakan kembali sebagai sumber sendiri.

Less build, keep the water, please.

World Water Day, 22 Maret 2015. Foto dari helipad Hotel Aryaduta Tugu Tani ke arah tenggara.
Posting Bareng Travel Blogger Indonesia. Home. Heart. Indonesia.
ditulis di kereta cawang – depok, di tengah hujan deras.

Wisata Tasik Kenyir, Eco Tourism atau Ego Tourism Park? oleh Olive Bendon
Cerita dari Pesisir Semarang oleh Albert Ghana
Kelana Air oleh Badai Taufan Gio
WWD 2015: Mau Mencemari Sungai Indonesia dengan Berapa Milyar Bakteri Lagi? oleh Imama Lavins
Peduli Lingkungan di Hotel oleh Lenny Lim
Apa itu Ketahanan Air? oleh Titiw Akmar
Wae Latu, Berkah Air Bagi Kampung Sepak Bola oleh Atrasina Adlina
10 Waterfalls. 10 Splashes of Experiences oleh Tracy Chong
ke mana air ciliwung mengalir? oleh Indri Juwono
Nasehat untuk Para Penghujat Hujan oleh Arie Okta

28 thoughts on “ke mana air ciliwung mengalir?

    1. kalau air tanah mungkin memang jumlahnya sudah berkurang banyak karena banyak pembangunan yang membutuhkan air dalam jumlah besaaaar banget di satu luasan tertentu karena fungsi vertikal.
      jadi mesti butuh jalur air lewat saluran2 buatan..

  1. Cerita sedih dari air yang mengalirkan sejarah ibukota. Yang meminta perhatian tapi orang-orang malah menutup pintu, sampai akhirnya marah dan terpaksa mendobrak. Sayang, sudah begitu pun masih sedikit yang mau berteman dengannya :hehe :peace.

  2. Indonesia adalah negara indah, namun kesadaran dan pendidikan masyarakatnya mengenai lingkungan amat sangat rendah. Coba semua orang kayak kak Indri, kota-kota di Indonesia akan jauh lebih baik lagi. Saya kadang suka bingung gimana caranya supaya kesadaran akan lingkungan, setidaknya untuk tidak membuang sampah sembarangan, bisa benar-benar diterapkan. Yang pasti sih bisa dimulai dari lingkungan keluarga masing-masing.

    1. aku suka heran, kak.
      karena di negeri-negeri lain kesadaran terhadap air itu (sepertinya) benar-benar tertanam sejak kecil, bukan cuma sebagai materi hafalan pelajaran yang cuma mengejar nilai saja.
      berarti sebenarnya manusia bisa diatur, kan?
      atau karena negeri kita terlalu indah sehingga manusianya merasa bahwa keindahan itu akan tahan ribuan tahun ke depan?

      1. Susahnya adalah banyak orang tua yang justru tidak mendukung anaknya untuk menjadi lebih disiplin soal lingkungan. Banyak yg buah sampah sembarangan di depan anak sendiri, sehingga sang anak pun tertanam pemahaman bahwa buang sampah ya asal aja. Peraturan dibuat untuk mendisiplinkan orang-orang, tapi kalau pola pikir penegak hukumnya seperti orang tua tersebut ya pasti susah untuk menegakkan aturan itu.

      2. Itulah kak, peraturan hanya untuk mengejar value saja, tapi bukan kesadaran dari hati. nilai-nilai tradisional yang luhur dan menjaga alam menjadi luntur karena modernitas.
        Sering merasa berdosa pada bumi juga sebagai engineer, karena mengeskplorasi dan mengubah tata alam untuk pemanfaatan manusia. Seandainya setiap orang mengenal rasa cukup dan membagi-bagi kebutuhan daerah dengan rata.

  3. Indri for governor! 🙂

    Menurutku peran pemerintah kota penting sekali. Mereka yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan. Namun, perencana kota dan arsitek juga punya potensi untuk menciptakan rancangan yang ramah lingkungan.

    Tapi dengan catatan keserakahan juga mati.

    1. haish, arnet! nggak ah! :p
      keserakahan memang mesti mati, dan arsitek juga perencana kota harus terus-terusan berpikir hijau, mengalirkan air, dan rela kehilangan pekerjaan karena kota sudah masif.
      denda KDB gede banget juga lho!

  4. mantap tulisanya kak. harusnya orang2 yang suka buang sampah sembarang baca tulisan ini agar mereka tahu bahwa air tak pernah salah. manusia yang salah, membuang sampah seenaknya dan nanti ketika banjir datang malah saling menyalahkan. miris.

  5. Aku memimpikan Kali Ciliwung Jakarta yang bersih dan dipercantik. Ketika semua ibukota Asia Tenggara sudah memiliki sungai yang bersih kecuali Jakarta, di situ kadang saya merasa sedih 😦

    Bahkan Sungai Pasig di Manila pun sudah dibersihkan, ‘kan?

  6. “Air tidak pernah salah, ia hanya mencari tempat mengalir, sebagaimana takdirnya dari hulu hingga ke hilir.”
    Seperti rasa yang tidak pernah salah, ia datang tiba-tiba lalu mengalir sampai pada hilir..

    Suka kata-kata yang itu mbak, maafkan jadi kuterusin haha *jadi gak nyambung sama postingan wwd-nya* :v

Leave a reply to Matius Teguh Nugroho Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.