sensasi varanasi

Varanasi is older than history, older than tradition, older even than legend, and looks twice as old as all of them put together
– Mark Twain

“Do you know that this city has three names?” demikian Shiva, supir tuktuk yang mengantar kami berkeliling ke kota tua Benares bertanya. Saya menggelengkan kepala sambil menunggu penjelasannya. Ia melanjutkan cerita bahwa dahulu kota ini bernama Kashi, yang dialiri oleh sungai Varuna, sehingga diberi nama Varanasi. Selain itu oleh penduduk setempat, kota ini juga dikenal sebagai Benares atau Banaras, terutama di kawasan kota tuanya di mana terdapat perguruan tinggi terkemuka Banaras Hindu University. Rupanya selain sungai Gangā yang menjadi banyak tujuan wisata budaya dari mancanegara, sungai Varuna juga memiliki peranan penting dalam sejarah kota.

benares university

Memasuki kampus tua yang didirikan oleh Pandit Madan Mohan Malviya di tahun 1916 ini, banyak sekali mahasiswa berbaju kurta dan mahasiswi dengan saree-nya yang bersepeda di dalam kawasan. Gedung-gedung antik dengan ukiran-ukiran yang sangat kaya, tersembunyi di balik pepohonan besar yang berdiri rindang di tepi jalan. Lapangan rumput besar menjadi jarak dari jalan hingga tepi-tepi bangunan. Warna kuning krem mendominasi dengan lis dan aksen berwarna merah bata. Setiap bangunan ber-facade simetris kiri dan kanan, dengan model yang bermacam-macam, namun tidak pernah ketinggalan dengan ruangan serupa menara pada sudut-sudutnya. Jika melihat dari denah universitas yang berbentuk setengah lingkaran, maka sepertinya kami menuju ke bagian pusat universitas ini, yaitu Vishwanath Temple.

Kuil ini dibangun pada tahun 1966 dengan warna merah jambu yang mendominasi dan menara setinggi 677 m. Untuk masuk ke sini, tidak dipungut bayaran sama sekali, hanya saja harus menitipkan alas kaki dengan donasi 2 rupee pada penjaganya. Dengan bertelanjang kaki, kami harus melintasi pelataran yang cukup panas diterpa sinar matahari untuk masuk ke dalam bangunan kuil yang keseluruhannya berlapis marmer kelabu baik dinding dan lantainya. Di dalam kuil terdapat ruangan-ruangan pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu, yang di dalamnya berisi patung dan beberapa mangkuk besi tempat bunga-bungaan. Rupanya di dalam kuil diberlakukan larangan memotret, mungkin supaya tidak mengganggu kekhusukan umat yang sedang beribadah. Terdapat dua sayap di kanan dan kiri yang berupa koridor terbuka yang cukup ramai oleh mahasiswa. Di satu ruang utama di tengah, orang-orang berdoa mengelilingi patung Shiva dan juga meninggalkan donasi dalam satu mangkuk perunggu di bawahnya.

Di luar, terdapat dua kolam air di kiri dan kanan dan juga perkerasan ruang luar maupun ruang hijau yang mengelilingi bangunan kuil yang banyak digunakan untuk bercengkerama para mahasiswa ataupun peziarah kuil ini. Sebagai salah satu kuil tertua di Varanasi, semakin siang semakin banyak orang yang berziarah di sini. Apalagi menjelang Hari Raya Holy, beberapa anak muda juga ikut membalurkan bubuk warna-warni pada teman-temannya dan bergembira ria.

keliling kuil

Dari kota lama Benares kami kembali ke Varanasi dan mengunjungi beberapa kuil lagi yaitu Birla Temple, Sankat Mochan Temple, Tridev Temple, Tulsi Manas Temple, Durga Temple dan Bharat Mata Temple dengan mengendarai tuktuk yang sama. Sayangnya beberapa kuil yang dituju tidak terawat dengan baik, sehingga aku lebih suka memperhatikan keramaian di sekitarnya. Sebelum memasuki area kuil selalu terdapat penjual sesaji yang akan digunakan untuk berdoa di dalam kuil. Selain itu, di beberapa kuil juga hampir selalu terdapat tanda dilarang memotret, sehingga semua ukiran-ukiran indah di dalamnya hanya bisa disimpan dalam pikiran saja. Di kuil Tridev Temple malah pendetanya mengusapkan bubuk merah di kening setiap pengunjung karena dianggap semua akan berdoa di sana.

Salah satu yang unik adalah Durga Temple karena untuk menuju kuil semua barang dan alat potret harus dititipkan dengan membayar kotak penyimpanan sebesar 30 rupee, untuk kemudian berjalan sejauh 200-300 meter melalui hutan-hutan di mana banyak monyet ekor panjang yang berkeliaran. Memang perjalanannya jadi agak gamang, karena takut tahu-tahu monyet tersebut akan ‘sekadar menyapa’, tapi di beberapa titik perjalanan ini masih ada penjaga yang menghalau primata ini apabila tiba-tiba nakal.

Salah satu kuil terakhir yang kami kunjungi siang itu adalah Bharat Mata Temple yang diresmikan oleh Mahatma Gandhi tahun 1936 berada di tengah kota Varanasi, ternyata tak jauh dari stasiun. Kuil ini didominasi oleh warna kelabu dan tidak terlalu banyak detail ukiran pada tiang-tiangnya, namun di dalamnya ternyata terdapat relief peta India yang dibentangkan sekitar 8×8 meter dan bisa dinikmati dari sekeliling ruangan.

Baik di kota lama ataupun kota barunya, Varanasi cukup ramai oleh kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Motor, tuktuk, kendaraan lewat sambil mengklakson kencang apa saja yang menghambat laju kendaraannya. Dan di titik-titik keramaian tertentu, bukan hanya orang yang berlalu lalang, tapi juga sapi. Pastilah, karena sapi adalah hewan suci di India sehingga bebas berkeliaran di mana saja. Di balik semak-semak di kampus tadi, di tengah jalan besar, di gang sempit, sangat mungkin menemukan mamalia ini lewat atau duduk-duduk saja. Kendaraan pun harus selalu mengalah pada sapi yang sering tiba-tiba berada di tengah jalan.

Gangā sunset

Tempat yang paling wajib didatangi di Varanasi adalah Sungai Gangā. Sengaja mencari penginapan yang tak jauh dari sungai ini, saat matahari terbenam adalah salah satu saat terbaik untuk menikmati sungai suci bagi warga India ini. Menjelang matahari terbenam, jalanan menuju sungai Gangā sudah padat dan ramai oleh orang-orang India yang berjalan kaki di depan deretan toko-toko yang menjual aneka sari atau perlengkapan upacara. Bersama beberapa penghuni hostel yang mengikuti tur ‘Sunset Boat’ ini, kami berjalan cepat menelisip di antara orang-orang untuk mencapai tepian sungai. Harus berhati-hati, karena Varanasi terdiri dari banyak sekali gang-gang sempit yang bisa berpotensi tersesat di dalam, sehingga perlu menandai titik-titik simpangan.

Gangā adalah destinasi yang sudah lama kuidam-idamkan sejak dulu. Berulang kali membaca petualangan Balada si Roy yang berakhir dengan kisah-kisah di tepian sungai ini, membuatku memasukkannya dalam daftar wishlist nomor satu yang harus dikunjungi ketika di India. Berada di tepiannya, seperti berjingkat pada langkah-langkah Roy ketika memilih hingga naik perahu untuk menikmati sungai. Rupanya butuh dua puluh tahun sejak ia menjadi tokoh khayalan yang kuikuti jejaknya hingga ke sini.

Pemandu sekaligus pengemudi perahu kami tidak terlalu lancar berbahasa Inggris, sehingga yang jelaskan tentang sungai Gangā sepertinya hanya hafalan saja. Ia bercerita mengenai bangunan-bangunan di tepi yang berwarna-warni dan berukir, apa saja nama kuil-kuil dan dewa-dewi yang dipuja di dalamnya. Gangā memang memiliki pemandangan indah kepada deretan bangunan ibadah di tepinya, dengan tangga-tangga besar yang menuju ke bibir sungai. Tidak ada landaian di tepinya, jadi perkerasan di samping yang disebut ghat itu langsung masuk ke kedalaman sungai.

Aku mempermainkan tanganku di air sungai yang kelam. Hm, berapa kira-kira kedalamannya, ya? Kutaksir tak kurang dari tiga meter ketika kucoba menjatuhkan batu ke dasarnya. Aku mencoba bertanya pada pengemudi perahu, apakah benar ada mayat-mayat di dalam sana, yang sengaja ditenggelamkan usai upacara pembakaran Hindu? Ia hanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kepalanya dengan gaya yang khas. Ia mengerti maksudku tidak, ya?

Tapi, kebalikan dengan ghat yang berderet pada sisi kami turun tadi, di seberangnya hanyalah tanah kosong seperti pantai yang tidak dihuni sama sekali. Sungai yang menjadi batas kota ini seperti memisahkan Varanasi dengan tanah entah di seberangnya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah di sana adalah semacam tempat suci karena tak ada bangunan, atau memang sengaja dibiarkan seperti apa adanya? Hanya ada beberapa perahu berisi penduduk lokal yang merapat ke seberang dan anak-anak mereka bermain ke sana.

Ketika senja yang berwarna lembayung sudah benar-benar turun di balik deretan kuil tadi, perahu mulai merapat ke Manikarnika Ghat tempat kami naik tadi, tetapi tidak menepi. Rupanya akan ada pertunjukan tari dan perkusi di atas, sehingga sungai dipenuhi oleh perahu-perahu dengan penumpang yang hendak menyaksikan. Penjual chai berlompatan di atas perahu sambil menawarkan dagangannya dalam termos dan gelas-gelas tembikar kecil. Teh susu khas India seharga 20 rupee ini memang nikmat menghangatkan badan yang mulai tertiup angin malam.

Di panggung-panggung kecil di atas sana, beberapa orang berdiri dan menari mengikuti irama tabla dan nyanyian dengan mempermainkan kandil api atau bejana kuningan yang berasap. Serak-gerik mereka begitu luwes sesuai dengan suara tetabuhan yang ritmik. Tidak hanya orang-orang di perahu yang terpesona, tapi sekerumun orang yang berada di belakang si penari pun terlihat begitu antusias untuk mengikuti geraknya. Terkadang kami juga mengikuti bunyi perkusi itu sambil bertepuk tangan.

Karena kami tiba di Varanasi pada akhir pekan, rupanya banyak sekali orang yang tumplek blek di jalanan menuju Gangā sehingga benar-benar harus berhati-hati di sini supaya tidak hilang arah. Banyak yang menghabiskan liburan panjang di kota ini menjelang Holi, karena kota ini juga menjadi incaran untuk merayakannya dengan bersukaria.

Gangā sunrise

Sementara jika kembali ke Gangā di pagi hari, akan dijumpai pemandangan di setiap ghat yang dijumpai, belasan orang melakukan ritual mandi dengan air sungai Ganga yang diyakini suci. Kaum perempuan tetap menggunakan pakaian lengkap dan saree-nya sembari mengguyur badannya dengan air sungai, sementara si lelaki hanya mengenakan kain putih sebagai bawahan. Sementara itu di kuil paling ujung, ternyata sedang ada upacara pembakaran mayat. Ketika kami mendekat, pengemudi perahu menggoyangkan tangannya di depan lensa kamera. Oh, rupanya kami tidak diperkenankan mengambil gambar di sini.

Sungai Gangā cukup ramai dengan banyak perahu yang berlalu lalang dan menikmati senja yang sama dengan kami. Terdapat berbagai macam kualitas perahu-perahu yang berlayar di sini, ada yang terlihat agak mewah dengan kayu berkilat dan beralaskan beludru, atau perahu sampan biasa yang berisi dua orang. Udara pagi yang sejuk membiaskan kabut-kabut yang mengaburkan bentuk-bentuk kuil. Pedagang cinderamata pun menjajakan dagangannya dengan perahu, mendekati setiap perahu yang melintas di sungai Gangā, berharap mendapatkan sedikit rezekinya dari situ. Aneka bentuk pajangan kuningan disusun rapi di perahunya, sehingga mudah dilihat oleh calon pembelinya. Sungai Gangā di bagian Varanasi hanya padat dengan bangunan pada satu sisinya saja, karena di sisi seberang timur terbentang hamparan pasir putih seperti layaknya pantai. Beberapa perahu yang berisi orang India merapat ke sana dan bermain-main di daratan. Matahari hangat perlahan-lahan naik ke udara.

Varanasi bagaikan bagian India yang selama ini aku bayangkan. Bertemu sapi, naik tuktuk berkeliling, menyantap pokhara, berjalan menyusuri sisi-sisi kota yang ramai, belanja kain saree dan gelang-gelang, menjelajah kuil, dan ditutup dengan bersantai-santai di sungai Gangā yang eksotis.


indiasiesta yang lain:

seandainya ada om-telolet-om di india
sensasi varanasi
menyisir jejak budaya muslim dan buddha dari varanasi
serba-serbi berkereta api di india dalam 2804 km

19 thoughts on “sensasi varanasi

  1. 677 meter? Mungkin 6.77 meter atau 677 cm mbak. Soalnya kalau 677 meter, udah jadi pencakar langit kategori supertall 😀

    Btw seru banget bisa ikut nari-nari di Varanasi. Pas jaman SMP aku suka film India, sampai hafal koreografi lagu-lagu favorit hahaha

  2. Banyak orang yang bilang, belum ke India kalau belum ke Varanasi. Dan aku 3,5 bulan travelling di India, enggak ke Varanasi. 😀 Oh ya, aku rasa pas kamu tanya soal mayat, mungkin dia geleng-geleng artinya menjawab: IYA! Hahaha.. Aku suka baca pengalaman sunset dan sunrise di Varanasinya, Mbak.

  3. Selalu suka melihat sikhara yang menjulang tinggi, seperti di Benares University ini. Terkait perayaan Holi, saling membalurkan bubuk warna-warninya dilakukan di dalam atau luar kuil kak?

    “Ia hanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kepalanya dengan gaya yang khas.” Hehe, kalau udah gini bener-bener harus mengandalkan insting kita sih untuk mengartikannya: yes, no, maybe.

    1. di luar kuil kak, dan itu juga belum hari holi-nya tapi sudah mulai balur-baluran bubuk itu mahasiswanya. mungkin juga mereka baru lulus-lulusan jadi senang-senang.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.