terang merdeka gunung sangar

 

“Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari.”
– Sukarno

Pekik ceria dari anak-anak yang mengikuti lomba makan kerupuk di kegelapan malam Desa Gunung Sangar itu memecah keheningan yang biasanya hanya ditimpali oleh suara tonggeret dan kodok yang bersahut-sahutan. Malam itu menjelang 17 Agustus 2017, di desa yang terletak di balik gunung gemunung Citeureup-Hambalang-Jonggol, namun hanya sekitar 40 km dari Jakarta itu diadakan berbagai lomba-lomba seperti acara-acara meriah di daerah lain di Pulau Jawa. Sengaja lomba-lomba ini diadakan di malam hari, untuk merasakan keriaan desa ini yang sudah memiliki listrik mandiri dengan tenaga mikro hidro beberapa bulan sebelumnya.

Desa Gunung Sangar ditempuh dengan perjalanan mobil selama dua jam dari Citeureup, yang berlanjut dengan berjalan kaki melewati jalan setapak selama 1-2 jam melalui beberapa punggungan hijau yang melingkupinya. Terdapat 18 rumah di sini dengan mata pencaharian sebagai petani, dengan tingkat pendidikan yang minim akibat kurangnya akses dari desa menuju titik-titik sosial di sekitarnya. Sebelumnya, penerangan di malam hari hanya menggunakan lampu minyak di rumah-rumah warga. 

Beberapa bulan sebelumnya yang lalu tim Community Development Center dari ILUNI FTUI (Ikatan Alumni Fakultas Teknik UI) hadir untuk mensurvey dan memasang panel surya di atap musholla, yang dilanjutkan dengan studi mengenai pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan melihat potensi sungai yang ada di sekitar. Dengan bergotong royong dengan penduduk desa untuk mempelajari dan membangun turbin air bersama, akhirnya berhasil menyalakan listrik untuk rumah-rumah warga sehingga bisa beraktivitas di malam hari.

Karena berangkat terlalu sore dari Citeureup, aku, bang Teten dan Mbak Dewi terpaksa menempuh perjalanan di jalan setapak itu dalam gelap malam. Untungnya jalanannya cukup jelas dan tidak terlalu melelahkan, mungkin karena kami cukup rajin latihan lari beberapa minggu sebelumnya. Dengan hanya mengikuti cahaya senter dan petunjuk Bang Teten yang sudah pernah ke sana, kami berjalan sekitar 65 menit sampai tanjakan terakhir di desa itu. Walaupun aku sempat sekali jatuh, tapi rasanya baik-baik saja.

Anak-anak tampak berbaris untuk mendaftar mengikuti lomba makan kerupuk, sementara ibu-ibunya yang kuperkirakan masih berusia sekitar 20-an tahun berdiri bergerombol di sekitarnya. Beberapa dari mereka tampak bersolek dengan gincu tipis, namun tidak menyembunyikan pesona alaminya sebagai mojang pasundan yang manis.

“Sebelum ini, pernah ada lomba-lomba begini, teh?” tanyaku. “Wah, nggak pernah, Kak. Kalau malam kan kami cepat tidur. Siang juga nggak pernah mengadakan lomba,” kata seseorang ibu muda yang menggendong anak bayinya. Kulihat sekeliling desa yang sama sekali tidak tampak adanya keberadaan bendera merah putih pertanda sudah dekat HUT RI itu. Hmm, tahukah mereka Indonesia itu apa?

Lomba diadakan di depan musholla yang beberapa waktu lalu dipasangi panel surya, yang diawali dengan berjejernya empat anak untuk mulai balapan memakan krupuk yang digantung. Sorak sorai dari pendukung maupun orang tua anak-anak itu menyemangati lomba yang baru pertama kali mereka kenal itu. Senang sekali melihat penduduk begitu riang mengikuti suasana ini. “Menang eleh, semua dapat hadiah!” seru pemuda yang didapuk menjadi wasit sambil membagikan bingkisan untuk anak-anak yang berlomba.

Ternyata yang hadir bukan saja penduduk desa Sukamulya saja, namun juga dari desa Sukasari yang berada di atas bukit dengan berjalan kaki. Karena mendengar adanya keramaian ini, maka mereka turun dan ikut menonton juga menjadi peserta. Pantas saja, kupikir hanya 18 KK saja yang mengikuti, tapi rasanya lapangan ini ramai sekali.

Baru sesudah anak-anak lomba, ibu-ibu muda ini mengikuti lomba balap karung yang juga tak kalah ramainya. Acara yang di tempat lain ini diadakan di siang hari ini sengaja dilakukan malam hari sambil menikmati listrik dari pembangkit mikro hidro yang berpadu dengan lampu hemat energi. Teriakan-teriakan seru dari sisi kanan dan kiri mengiringi lompatan ibu-ibu yang berlomba sambil sesekali bersorak apabila ada yang jatuh. Tapi tetap saja tak ada raut kecewa jika kalah, karena wajah mereka terus menyiratkan keceriaan.

Lain lagi dengan lomba bapak-bapak yang lebih menantang, karena lombanya adalah menangkap ikan di sawah. Alhasil tiang lampu yang tadi di lapangan dibawa ke tengah sawah untuk menerangi sepetak kolam yang digunakan sebagai area lomba. Aku yang belum terbiasa lagi berjalan di pematang mengikuti mereka sambil berjalan pelan, namun lama kelamaan kubiarkan lumpur terbenam di bawah kaki. Huaah, seru sekali melihat belasan bapak-bapak mengais-ais air kolam yang butek sambil mencari ikan mas yang sudah ditebarkan sebelumnya.

Akhirnya ketika lomba bapak-bapak berakhir, mereka naik lagi ke lapangan dan menimbang hasilnya. Wah, lumayan juga yang juara pertama mendapatkan hingga 3 kg ikan. Pas dimakan untuk lauk esok harinya, pikirku. Senyum puas tergambar dari wajah bapak-bapak yang baru seru-seruan malam itu, dilanjutkan dengan makan malam bersama di atas daun pisang. Karena aku sudah ngepos di rumah ibu Sanaah, jadi kami termasuk Bang Chairul dan Bang Irpan yang sudah tiba sejak siang beserta tiga orang lainnya makan bersama-sama di dalam rumah. Hmm, sedap sekali masakan ayam gulai rempah dengan sambal daun pok-pokan mengisi perut kami yang kelaparan usai menonton lomba-lomba ini.

“Senang ya, Ndri. Lihat penduduk desa ini ceria banget mengikuti acara-acara yang diadakan. Padahal sederhana loh,” kata Bang Teten. Senyumnya tetap lebar sejak datang hingga sekarang. Aku mengiyakan sambil makan, bagaimana tidak bahagia melihat antusiasme warga desa yang mengikuti keceriaan yang diadakan. Penduduk masih ramai berkerumun di sekitar lapangan usai makan, padahal lomba sudah usai.

Sayangnya usai makan, Bang Teten, Mbak Dewi, dan Bang Chairul pulang, sementara aku memutuskan untuk tinggal dan turun besok pagi saja. Karena tadi berangkat gelap, sehingga sayang rasanya melewatkan pemandangan indah kalau turun malam hari lagi. Sementara Bang Irpan masih mengobrol tentang pemeliharaan turbin listrik dengan penduduk setempat, aku mengeluarkan buku bergambar sambil mengobrol dengan anak-anak.

Wah, ternyata mereka sangat tertarik dengan gambar-gambar yang ada di buku itu. Memang sih, tidak semua benda yang ada di gambar itu mereka tahu, seperti gajah atau paus, tapi ada juga binatang-binatang yang memang ada di sekitarnya yang aku tak pernah temui. “Kalau burung hantu banyak di hutan!” serunya. Jadi bikin penasaran kepingin diajak ke hutan melihat burung hantu. Ibu-ibunya pun mulai akrab mengobrol sambil melanjutkan makan malam yang sesekali kutimpali riang. Untung aku bisa sedikit bahasa sunda jadi paham apa yang dibicarakan. Tapi karena sudah agak lelah, aku menarik kantong tidur sambil mulai memejamkan mata beristirahat.

Keesokan paginya ketika aku berjalan-jalan ke sawah sendirian, ternyata anak-anak ini melihat dan mengikutiku sampai tanah lapang yang agak luas di tepi sawah. Masih penasaran mereka denganku yang asyik memotret-motret, sampai akhirnya kami malah bermain-main bersama. Sambil membawa buku yang dibaca semalam, kami melihat-lihat binatang yang mungkin ditemui di sawah yang bisa dikenali. Ah, bermain dengan anak-anak selalu meningkatkan endorfin kebahagiaan. Aku berjanji dalam hati, suatu hari nanti jika aku kembali, pasti kubawa buku lebih banyak lagi sehingga mereka bisa mendapatkan banyak cerita juga dari luar.

Anak-anak ini bukannya tidak mau belajar, tapi tidak adanya akses pendidikan yang mudah juga ketersediaan buku-buku yang memadai. Walaupun awalnya malu-malu, namun ternyata rasa ingin tahu mereka begitu tinggi ketika sama-sama membuka buku bacaan yang hanya kubawa satu ini saja. Semoga kelak mereka terbuka wawasannya hingga ke balik bukit-bukit yang melingkungi desanya, untuk terus belajar dan kembali membangun dan memanfaatkan potensi alam desanya yang indah.

Aku kembali ke rumah bu Sanaah ketika mereka mulai bersiap-siap merangkai bendera merah putih kecil dengan tali. Suasana 17-an makin terasa di sini ketika bendera-bendera itu mulai berkibar dari satu rumah ke rumah yang lain. Mungkin ini secubit Indonesia yang baru mereka kenal. Berharap dengan hadirnya listrik mikro hidro bisa mengembangkan potensi-potensi lain yang dimiliki desa ini. Karena kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan, namun juga bebas dari ancaman kebodohan, memupuk tunas-tunas bangsa untuk memahami dan mencintai negerinya sendiri.

MERDEKA!!!

Bogor, 17 Agustus 2017


Posting bareng Travel Bloggers Indonesia dengan tema Kemerdekaan

  1. Indri
  2. Andre Handoyo : Bersatu dalam Keberagaman
  3. Titiw Akmar
  4. Liza Fathia
  5. Imama

7 thoughts on “terang merdeka gunung sangar

  1. Memang benar adanya, bermain dengan anak – anak akan lebih mudah memecah endorfin yang melahirkan perasaan welas asih. Wah jadi pengen kesana hehehe
    Ngomong – ngomong, tulisannya sangat bagus mas. Ijin belajar hehe

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.