Rupanya butuh tiga kali bolak-balik hingga aku bisa sampai di istana kuning keemasan ini. Berhubung kemarin sudah Keuangan, pagi-pagi aku bangun dan chit chat sebentar dengan teman-teman sekamar yang berasal dari berbagai negara, baru kemudian siap-siap berangkat ke Royal Palace jalan kaki dan tiba jam 08:30. Malangnya, karena hari itu udara agak panas, dan aku memakai tanktop dan scarf di bahu, ternyata sampai di gerbang tiket nggak boleh masuk. Harus pakai pakaian berlengan, katanya.
Yah, jadilah aku kembali ke hostel dan memakai t-shirt di atasnya supaya bisa diperkenankan masuk ke dalam istana. Kasihan, nanti rajanya tergoda (ehh..), tapi mungkin memang peraturannya dalam kawasan harus sopan. Setelah membayar tiket masuk seharga $10 (iya, di Cambodia sini masih pakai dual mata uang, termasuk USD), aku melalui lorong hingga tiba di halaman istana yang luas dan asri.
Royal Palace Phnom Penh atau (bahasa Khmer: ព្រះបរមរាជាវាំងនៃរាជាណាចក្រកម្ពុជា, Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea) didirikan tahun 1886 ketika keluarga kerajaan yang tadinya berletak di Angkor, berpindah-pindah karena seringnya peperangan dengan Kerajaan Siam. Akhirnya sesudah Cambodia menjadi protektorat Perancis, ibukota negara menjadi di Phnom Penh, tempat istana ini dibangun.
Area Royal Palace ini terbagi menjadi area bangunan di bagian tengah, yaitu Balairung Singgasana, yang masih bisa diakses luarnya, tempat di mana pejabat kepercayaan raja, jenderal dan pejabat kerajaan langsung melakukan tugasnya, dan Istana Dalam tempat tinggal keluarga kerajaan. Pada bagian utara adalah Istana Khemarin yang merupakan tempat tinggal kerajaan juga, dan ke bagian selatan terdapat Pagoda Perak.
Balairung singgasana masih sering digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja, tempat pertemuan dengan tamu kerajaan, juga acara-acara keagamaan kerajaan. Bangunan berdenah salib yang dimahkotai dengan tiga menara. Menara pusat setinggi 59 meter dengan puncak menara dimahkotai kepala Brahma bermuka empat berwarna putih. Dengan didominasi warna kuning keemasan, atap bangunan ini juga berlapis-lapis seperti kelopak teratai yang suci bagi umat Buddha. Tiang-tiangnya yang berjumlah genap dengan ukiran apsara sebagai penjaga penyangga atap kerajaan.
Di bagian depannya ada Royal Office, tempat bekerjanya pengelola bangunan, dan Pochani pavilion yang digunakan sebagai tempat pementasan, pertemuan, ruang dansa. Banyak petugas berada di sini juga akan mengarahkan pengunjung.
Pada bagian lainnya yang dipisahkan oleh dinding, terdapat Kompleks Pagoda Perak dengan satu bangunan kuil di tengahnya yang berpagar digunakan sebagai tempat untuk beribadah dan menyimpan harta pusaka kerajaan. Bangunan ini dikelilingi oleh sejumlah pagoda berwarna perak dengan hiasan kepingan keramik yang berkilau. Bagian dinding yang mengelilingi area ini ditutupi dengan lukisan kisah epik Reamker (Ramayana). Karena penasaran akan bagaimanakah endingnya, aku mengikuti seluruh dinding sampai tamat. Sama saja ternyata, Sinta masuk ke dalam api. Yang menarik, di sini terdapat juga miniatur Angkor Wat yang merupakan istana lama dari kerajaan Khmer di masa lalu, sebelum didorong untuk berpindah-pindah hingga pada tempatnya di Phnom Penh ini.
Ternyata, walaupun istana ini terbuka untuk dikunjungi turis, ada jam tutupnya yang memberikan waktu untuk raja dan keluarganya untuk menikmati pekarangan istana ini. Makanya pengunjung berangsur-angsur sepi, dan penjaga pun mulai berpatroli untuk melihat apakah masih ada yang berkeliaran. Jam 12:30 gerbang istana pun tutup, dan akan buka lagi untuk sesi sore hari.
Keluar dari istana, aku kembali menuju ke arah utara kota, untuk memesan travel perjalananku selanjutnya ke Siem Reap. Beruntunglah masih ada kursi yang kupesan dengan pemberangkatan jam lima sore. Masih cukuplah untuk kembali ke hotel dan mempersiapkan barang-barang.
Untungnya mobilnya Toyota HiAce baru cukup nyaman untuk melalui perjalanan yang melalui desa-desa dengan rumah khas Kampuchea. Setelah tiga jam perjalanan, supir beristirahat makan sementara aku melihat-lihat sekitar dan wow, ada yang berjualan serangga goreng! Ya, tapi aku sih nggak berminat beli (seketika teringat acara fear factor). Karena mengantuk, aku gak sadar sudah sampai Siem Reap, dan naik tuktuk sampai ke hostel.
Perjalanan tahun 2018, ketika urat takut rada tipis..