phnom penh, kota tua berlangit hidup

“Not I, nor anyone else, can travel that road for you. You must travel it for yourself.” – Walt Whitman

Menurut Google maps, jarak dari Ho Chi Minh City ke Phnom Penh itu 6 jam naik mobil, jadi ketika aku memilih naik bus jam 3 sore kupikir bisalah sampai jam 9 malam, cukup aman harusnya. Setelah bus berangkat dari Bui Vien, hingga keluar kota HCMC yang ternyata beda banget sama dengan kota modern itu, agak mirip Indonesia juga dengan melalui jalan besar, rumah-rumah berhalaman besar, pepohonan di depan dan orang bercengkrama di tepi jalan. 

Karena agak capek, jadi aku ketiduran di perjalanan, apalagi suasana sudah mulai gelap. Menjelang border, kernetnya berkeliling meminta paspor kami dikumpulkan. Aih, agak worry juga berpisah dengan buku hijau itu. Tapi melihat seorang bule menyerahkan paspor merahnya, jadi aku ikutan saja. 

Bus berhenti dan semua penumpang turun, nggak boleh motret-motret juga, jadi kami ikut berbaris mengikuti pemeriksaan orang, xray barang, kemudian berkumpul menunggu si kernet memanggil kami lagi. Sesudah itu kami beriring-iringan jalan kaki menuju border. Keluar dari Vietnam.

Lumayanlah jalannya 500-600 m, untungnya bawa ransel aja jadi praktis hingga ketemu bangunan border di Kambodia. Sesudah pengecekan barang dan orang, kernet tadi memanggil kami satu-satu untuk dikembalikan paspornya. Ah, lega aku rasanya.

Hampir jam sepuluh malam aku tiba di Phnom Penh, turun dan langsung dan jalan kaki ke hostel, karena takut kabur dibawa tukang tuktuk. Sempat agak khawatir juga takut tersasar, mana sepanjang jalan banyak genangan air pula. “Water festival,” kata resepsionis hostel ketika aku tiba. Sampai di hostel aku dapat kamar perempuan dimana ketiganya WN China, dan kamarnya berantakan sekali. Ketika aku masuk kamar mandi, aneka skincare tergeletak di meja wastafel. Duhh, karena mengantuk, aku langsung tidur saja. 

Besoknya aku langsung protes minta pindah kamar, gakpapa deh kamar campur, sama bule aja deh mendingan. Sesudah pindahan ransel, ternyata dapat kamar dengan 2 pasang bule Eropa dan dapat bed atas lagi, barulah aku keluar ke arah istana yang lumayan juga 1 km jaraknya yang berada di balik jalan. 

Sengaja mengenakan celana batik, aku memutuskan untuk tidak ke Royal Palace dulu karena sudah tutup gerbangnya, huhuhu. Sambil berjalan ke arah alun-alun, ternyata baju kuningku ini cukup serasi dengan nuansa kuning istana. Sayang banget gak bisa masuk hari itu, karena baru buka lagi nanti jam 14:00.

Aku melanjutkan perjalanan ke Royal Palace Park dan menikmati merpati-merpati yang bebas beterbangan dan kembali lagi, area plaza yang tidak terlalu ramai, namun banyak juga pedagang di sekelilingnya. 

Ternyata di sebelah istana ada National Museum of Cambodia berwarna merah bata yang cerah, berisi sejarah Kamboja. Dasar arsitek, daripada memperhatikan koleksinya, aku malah asyik mengamati detail bangunan. Atap besarnya yang seperti pelana berlapis-lapis, tinggi pada bagian tengah dan sudut-sudut, khas pada arsitektur Khmer dengan tiang-tiang yang besar, adanya menara berbentuk kuncup teratai berlapis-lapis, melambangkan gunung Meru.

Bangunan Museum Nasional Kamboja di Phnom Penh, yang terinspirasi dari arsitektur candi Khmer klasik, dibangun antara 1917-1924 oleh arsitek Prancis George Groslier, diresmikan tahun 1920, dan dirancang untuk melestarikan warisan budaya Kamboja dengan tampilan yang khas dan mencerminkan seni Hindu-Buddha kuno, berfungsi hingga kini sebagai pusat kebudayaan penting. 

Denahnya pun konsentris dengan pembagian sayap kiri dan kanan serta courtyard besar di bagian belakang, sehingga sirkulasi udara mengalir dengan baik di dalamnya. Apalagi adanya kolam teratai yang mendinginkan udara. Warna terakota yang mendominasi berpadu dengan atap genting yang terpasang rapi walaupun sudut atapnya cukup curam. Pada ujung-ujung jurainya, terdampar detail organik yang melengkung, mungkin menggambarkan keluwesan feminis?

Koleksi museumnya sendiri banyak berisi patung-patung dan artefak budaya yang menggambarkan masa Hindu dan Buddha, ada yang terbuat dari kayu dan batu, juga prasasti yang bertuliskan sejarah negeri. Di beberapa bagian juga terdapat headphone untuk mendengarkan informasi mengenai peninggalan sejarah tersebut. 

Lepas dari Museum aku mengayunkan langkahku ke arah sungai. Walaupun tidak digunakan untuk transportasi, sungai ini dirawat dengan baik sebagai salah satu wajah kota yang harus dihadapi oleh pemilik toko-toko di sepanjang sungai, sehingga tidak kotor dan bau. Sempat aku mengudap salad sayur dengan bumbu khas Kamboja yang segar, lumayan untuk mengganjal perut di siang hari ini.

Kota Phnom Penh di siang hari tampak santai, tak seperti ibukota negara pada umumnya. Cuma ada tuktuk, mobil keluaran lama, sepeda motor, dan orang berjalan kaki. TIdak banyak kerumunan, kemacetan atau kesibukan lainnya. Dilihat dari modelnya, bangunan-bangunan ini berdiri di tahun 80-an atau kurang, karena tidak tampak modernisasi di sisi ini. Ruko empat lantai atau lima dengan gaya retro yang sudah berubah menjadi hotel atau dining place.

Aku menemukan kantor telepon, Kantor Pos, yang tetap saja jalannya tidak terlalu ramai. Ke mana-mana bisa dicapai dengan berjalan kaki dengan cukup santai, supaya aku bisa melihat kotanya dengan cukup detail. Tampak sisa night market yang sepi di siang hari, juga bangunan pemerintahan yang sayangnya plangnya tidak dapat kupahami karena menggunakan huruf nasional. Karena memang bekas pendudukan Perancis, jadi nuansa arsitektur eropanya masih sangat kental.

Aku berjalan terus ke utara hingga sampai di kuil Wat Phnom Daun Penh yang menanjak. Konon, pada tahun 1372, seorang janda kaya bernama Daun Penh menemukan pohon koki yang tumbang dan mengapung di sungai dekat rumahnya. Di dalam pohon itu, ia menemukan empat patung Buddha perunggu. Terkagum-kagum dengan penemuan ini, Penh dan tetangganya membangun kuil sementara di sebidang tanah yang lebih tinggi di dekat rumahnya. Penduduk setempat menyebut bukit kecil itu Phnom Penh, atau “Bukit Penh,” untuk menghormatinya.

Sekitar 60 tahun kemudian, Raja Ponhea Yat, raja terakhir Kekaisaran Khmer, pindah ke Phnom Penh. Ia memberi perintah untuk memperbesar bukit tersebut, dan membangun kuil kayu di atasnya. Ini adalah pembangunan kembali Wat Phnom yang pertama—salah satu dari banyak pembangunan selama berabad-abad berikutnya—dan sisa-sisa Ponhea Yat masih berada di dalam stupa di belakang kuil utama. Di dalam kuil ini banyak ukisan dinding yang indah dan detail atap yang cantik, dengan atap bertingkat yang khas dan hiasan disangga olah apsara.

Candi utama dibangun kembali pada tahun 1434, 1806, 1894, dan 1926. Kepentingannya naik dan turun selama bertahun-tahun, bergantung pada keinginan raja, dan renovasi besar-besaran dilakukan untuk menyesuaikan dengan ideologi berbagai penguasa, termasuk Khmer Merah dan Pol Pot. Pepohonan rindang juga menaungi tempat ini, sehingga nyaman untuk beristirahat sesudah berjalan cukup jauh.

Karena capek, aku memutuskan untuk naik tuktuk ke Tuol Seng Museum, namun sayangnya karena sudah terlalu sore, jadinya sudah hampir tutup nggak bisa masuk. Jadi aku beralih ke Independence Statue dan ke taman Statue of His Majesty Preah Bat Samdech Preah Norodom Sihanouk yang berwarna emas berkilauan yang cerah ditimpa sinar matahari sore. Malah taman ini banyak anak kecil yang bermain di situ. 

Sebelum makan malam aku mampir ke Wat Botum Park dan melihat air mancur menari hingga matahari tenggelam. Langit lembayung kemerahan ditemani dengan air mancur yang bisa dinikmati dengan gratis ini.

Ah, perutku terasa lapar dan aku berniat mencari makan malam lagi. Besok akan kucoba lagi untuk masuk istana, ah.

Nah, kalau dikelilingi ternyata hanya makan waktu satu jam, tetapi aku kan seharian ya, jadi cukup lama juga sambil berfoto-foto.

Solo Traveling di Kamboja tahun 2018, ditulis di Depok 2025

Next :
Jejak Emas Royal Palace Cambodia
di antara hujan dan dingin Siem Reap

perjalanan sebelumnya :
Solo Saigon
saigon night and day

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.