Menyebut kota Bandung, adalah ruang mengenang masa kanak-kanak yang riuh. Rumah pertama keluarga, yang pernah kutinggali hanya selama dua tahun lebih sedikit, di tepian kota dengan udaranya yang masih dingin dikelilingi persawahan. Ketika jalan tol maupun angkutan kota belum sampai di sini. Saat orang-orang masih bertanya karena tak tahu di mana tepatnya Riung Bandung berada. Bukan, di sini bukan tempat nga-Riung-nya orang Bandung. Jika menyusur Bandung hingga timur, Riung Bandung ada di kanan sebelum tiba di Gedebage.
Mengingat hari-hari awalku di sini menjelang masuk kelas empat SD, asing terdengar di telinga orang bercakap sunda, lain dari tempat tinggalku sebelumnya di ibukota Jawa Tengah. Rumah yang amat jauh dari jalan raya, ditempuh setengah jam dengan becak dari Jalan Soekarno-Hatta, dikelilingi sawah dan empang serta kebun-kebun pepaya. Pasar terletak tiga kilometer jauhnya, sehingga membiasakan diri dengan tukang sayur keliling. Sekolah berjarak delapan kilometer, membonceng motor ayah di pagi hari sambil menahan dingin yang berhembus pada kulit anak delapan tahun ini.
Di jalan rumah kami, mula-mula hanya ada tiga rumah, kemudian empat, lima, hingga rumah-rumah berderet memenuhi tepi jalan tak berpagar. Anak-anak kecil pun hadir bersama orangtuanya menempati rumah satu demi satu, dan kami bermain berpindah rumah, bergantian. Mungkin itulah yang ada di pikiranku saat itu, bermain, bermain, dan bermain, sebelum dipanggil mama yang mungkin sudah selesai memasak makan siang, sebelum berangkat sekolah siang. Atau dipanggil menjelang magrib, kalau aku sekolah pagi dan punya waktu bermain di sore hari.
Kadang-kadang kami berjalan hingga ujung kompleks, mencari tukang serabi di waktu pagi, melewati pematang-pematang sawah di antara jalan-jalan yang belum jadi. Sering bertemu kodok, capung, atau kupu-kupu di antara langkah kaki. Mencari-cari kenalan baru, teman bermain yang bisa disambangi. Empang dan pemancingan menjadi tempat nongkrong sore, sambil menunggu tukang somay yang mendorong gerobak berisi olahan tenggiri.
Sekolah yang seminggu pagi seminggu siang membuatku tak kedinginan setiap hari di motor ayah. Terkadang ayah menjemputku usai kerja pada jam dua, terkadang lagi, entahlah. Aku tak bisa mengingat bagaimana aku pulang dan berangkat di siang hari itu. Jalan raya bypass Soekarno Hatta yang masih empat jalur, perempatan Kiara Condong dan Buah Batu yang selalu macet, dan Lingkar Selatan yang masih berupa tanah merah.
Hingga akhirnya adik perempuanku pun bersekolah di SD yang sama, dan kami harus naik mobil antar jemput setiap hari. Dua bulan kemudian, mobil itu terguling dan membawa si gadis kecil pergi untuk selamanya, meninggalkan kakaknya yang terluka di tangan, kaki, dan hati yang sepi.
Dan mungkin ini alasan mengapa aku tak banyak bisa mengingat masa-masa yang kami habiskan berdua dulu. Rumah ini pun memiliki kenangan sedih akan sosok si gadis kecil.
Satu tahun kemudian, kami semua meninggalkan Bandung menuju timur,
beserta seorang adik baru bayi.
Belasan tahun kemudian, si bayi kembali ke kota kelahirannya, menuntut ilmu di kampus Ganesha. Rumah kami, yang sudah berulang kali berganti penghuni, kembali terisi oleh pemilik berbagai kenangan di sini. Pekarangan yang sempat tandus, diganti oleh rumput-rumput gajah yang hijau gondrong. Pohon pepaya bertumbuh kembali, si bougenville berganti dengan lavender pengusir nyamuk, tempat cemara tinggi dulu berdiri kini berakar kedaluman pembuat cincau. Hanya pohon jambu batu dan beluntas yang masih pada letaknya, masih dengan fungsi yang sama. Kusen-kusen diganti, kaca-kaca berbenah, ruangan yang sama menyambut pemiliknya kembali.
Riung Bandung tak lagi di ujung dunia kota kembang, karena angkutan putih hijau meluncur setiap hari hingga ujung, lebih jauh dari tempatku tinggal hingga pukul enam sore setiap harinya. Ke kota hanya perlu berjalan beberapa langkah ke jalur bersepeda dulu yang kini sudah ramai, duduk di angkot hingga Dago, titik anak-anak muda bercengkrama dalam berbagai gaya. Teman lama sudah tak tahu di mana, namun teman-teman baru selalu datang dengan berbagai undangan.
Rumah-rumah tak lagi berjauhan, namun makin rapat dan dekat karena pekarangan semakin berkurang. Membesar menampung anak-anak yang semakin dewasa, berganti penghuni, berganti warna, berganti pagar, berganti tanaman tak serupa dengan masa kecilku dulu. Sawah-sawah tak mudah lagi dilihat karena sebagian berubah juga menjadi rumah. Dan ujung berlarianku dulu, sudah menjadi pasar keramaian niaga ataupun terminal untuk berlalu lalang. Pemukiman bertumbuh, terus ke ujung selatan menampung pergeseran penduduk Bandung.
Jalan akses tak hanya dari Soekarno Hatta lagi. Jalan pintas dari Margahayu pun sekarang lebih besar, arah dari Gedebage pun bukan hanya perkerasan tanah lagi. Semakin mudah bertandang ke kerabat di kompleks sebelah, baik dengan mobil, motor, ataupun bersepeda melalui jembatan-jembatan permanen yang melintas di atas kali.
Bypass Soekarno Hatta pun bukan lagi hanya melulu sawah di kanan dan kiri di antara pemukiman-pemukiman yang tumbuh seiring melebarnya kota, mulai mencari jati dirinya yang dahulu terlupa. Memperkenalkan diri sebagai potensi jalur langsung tol ke ibukota, jalan delapan jalur ini didereti oleh pertokoan, hipermarket, aneka restoran, kantor-kantor pemerintahan, factory outlet, bengkel mobil besar, stadion olahraga, hingga apartemen.
Pikirku ketika pertama kali melihat gedung menjulang itu, siapa juga yang mau tinggal di apartemen di tepi kota Bandung? Ternyata ada.
Yang masih sama hanya macetnya. Perempatan Kiara Condong sejak depan Uninus hingga Kantor bersama masih banyak kendaraan mengantri. Pun perempatan Buahbatu yang masih didereti kendaraan hingga area Sekelimus. Jalanan makin besar dan pemilik kendaraan makin banyak. Jalur kendaraan umum yang dulu cuma satu dua, sekarang banyak macamnya (termasuk ke Riung Bandung tentunya). Trans Bandung pun tak ketinggalan wira wiri di jalan ini setiap hari, melewati terminal Leuwipanjang hingga Cibiru.
Buahbatu yang dulu kulalui setiap hari, rasanya berganti wajah tiap dekade. Ada masanya di sini ramai oleh toko alat tulis dan stationery, ada kalanya menjadi etalase dari aneka penganan yang menjadi teman bersantap akhir pekan, atau toko-toko indie dan factory outlet yang menjamur di setiap sudut strategis, hingga fasade masa kini varian toko baju muslim aneka gaya menghiasi baliho di balik pohon-pohon rindangnya. Hai anak 80-an Buahbatu, masih ingatkah pada toserba Trina yang selalu ramai?
Dahulu jalan Lingkar Selatan hanyalah perkerasan tanah merah di dekat sekolah dasar tempat aku belajar. Tak ada yang bermukim di sekitar situ usai penggusuran rumah-rumah demi pembangunan ini. Sekarang jalur ini menjadi salah satu cara singkat menuju pusat kota, dengan hotel-hotel, salon, toko, kafe, di sepanjang jalan sebagai salah satu keramaian baru. Menegaskan teori bahwa cara-cara melebarkan kota adalah memperbaiki infrastruktur, jalur transportasi, dan kegiatan niaganya. Jalur Lingkar Selatan (kini bernama jalan BKR) adalah sasaran antara untuk menghidupkan jalan bypass Sukarno Hatta yang berada lebih selatan.
Dua puluh lima tahun lebih mungkin bukan waktu yang singkat untuk mengubah Bandung menjadi lebih padat. Kenangan-kenangan akan kota kembang yang mengikat di pikiran si anak pinak untuk kembali, berumah, bertinggal, atau hanya mampir mengumpulkan pemandangan-pemandangan masa kecilnya dalan satu bingkai yang dibagikan. Memori kota sejuk yang sering dikeluhkan berubah panas namun masih juga tetap disambangi di akhir pekan. Berbagai generasi berganti berpindah kota, tapi yang pernah tinggal di Bandung akan selalu rindu pulang. Dari rindu ini mudik diciptakan.
Pulang adalah ketika menemukan tang, obeng, kabel, bersebelahan dengan kemoceng, yellow pages, kalender 2009, pesawat telepon, tumpukan kartu nama, payung, staples, aneka bolpoin, notes, selotip pipa, minyak singer, karcis kereta api, koran, avometer, lampu cadangan, di atas meja yang sama di kolongnya berisi botol air aki, gergaji, tali plastik, sepatu, dan hal-hal lain yang sepertinya tersembunyi.
Pulang adalah nongkrong di bubungan rumah sembari gamang melihat atap-atap rumah teman-teman masa kecil, melempar pandangan ke deretan pegunungan Patuha di Selatan, atau sisi Caringin Tilu di sebelah utara, ekor gunung Manglayang di timur, berlatar Tangkuban Parahu di kejauhan. Menudungkan tangan di atas kepala mencari sawah-sawah yang tersisa.
Pulang adalah menyadari akan perubahan karena perpindahan manusia, atas berbagai hal yang terjadi. Bahwa humanitas dan ruang hidup adalah penyebab utama perkembangan ruang kota, entah disesuaikan oleh kebutuhan orang banyak atau kebutuhan arus niaga dan gaya. Pulang ke Bandung memang selalu terdengar keren.
Pulang (mungkin) adalah menunggu tukang somay hokkie lewat di depan teras. Sambil membaca buku, sambil menulis cerita, sambil bermain kartu, sambil mencemil kastengel dan nastar, atau sekadar mengobrol menikmati rumput-rumput yang sudah gondrong.
Hari Raya adalah salah satu alasan untuk pulang.
Wilujeng Sumping Baraya.
[riung bandung. 08.07.16. 11:45]
kakak sayang mohon maaf lahir dan batin ya selamat idul fitri
dear winny sayang, mohon maaf lahir batin juga yaa..
Sandal siapa ?
sandalnya @in. kayak sandal anak-anak ya?
aku pertama kali ke riung bandung 1994, kubilang ke kawan, jauh kalinya rumah uwakmu kita pulangnya pun bergegas agar tak ketinggalan angkot putih.
maaf lahir batin kk Indri, jangan lupa titip somay hokkie (kinsley masih tutup ya) 😉😉
riung bandung itu bukan di bandung rasanya, hahaha.
iya, ketika gelap menjelang angkot putih tak berjalan lagi kak.
maaf lahir batin kaak, sepertinya batagor riri yang buka..
saking jauhnya, pake macet di kircon pula.
sekarang da kircon nggak terlalu macet. trennya pindah ke brebes. 😜
riung itu bandung coret ya kak? wakkakakakakka…
makin tua, ritual mudik aka pulang berasa makin melow , mungkin faktor u atau apalah
apalagi aku lahir dan besar di bandar lampung, jadi berasa banget semua kenangannya
Dari Bandung pindah ke mana kak?