Indri Juwono's thinking words. Architecture is not just building, it's about rural, urban, and herself. Universe.
Solo Saigon
“The life you have led doesn’t need to be the only life you have.” – Elizabeth Gilbert
Rasanya nekad memilih waktu tiba di bandara Ho Chi Minh City menjelang tenggelamnya matahari, dan kau sama sekali nggak mengerti bahasa setempat. Berbekal informasi yang dibaca sebelumnya, aku naik bus menuju Bùi Vièn karena memesan bed hostel di sana. Setelah 30 menit naik bis, aku tinggal jalan kaki dan tiba di tempat sesuai Google maps. Aha, tak kusangka tempatnya berupa bar kecil yang kamar hostelnya ada di lantai 3 dan 4, sementara lantai 2 untuk sarapan. Yang lebih mengejutkan lagi, Bui Vien ini adalah jalan yang sangat riuh dengan aktivitas malam harinya karena berjejer bar dengan tempat duduk di tepi jalan. Banyak bule mondar mandir dan menginap di jalan ini juga. Memang itu yang direkomendasikan trip advisor, karena dari jalan ini mudah ke mana-mana.
Setelah melepas lelah sejenak, aku keluar dan menikmati keriuhan di Bùi Vièn sambal mencari makan malam. Seporsi capcay dan sebotol bir lokal menemaniku yang makan sendiri di salah satu resto di jalan itu. Sepertinya tempat ini memang menjadi destinasi favorit bule-bule, karena banyak yang berkumpul di sini untuk mendengarkan musik atau minum. Tidak hanya di dalam cafe, di depan pun banyak kursi-kursi plastik yang sengaja dipasang untuk bercengkrama antar sesamanya. Berjalan sendirian di sini pun cukup aman hanya banyak pedagang kaki lima saja di beberapa tempat.
Ternyata keriuhan bar ini nggak selesai hingga dini hari, yang terdengar lewat jendela. Terpaksa paginya aku bangun sembari terkantuk-kantuk karena kurang nyenyak tidurnya, tapi ya sudahlah kan harus jalan-jalan.
Sekitar jam 9 pagi aku mulai berjalan menyisir jalan raya yang cukup ramai hingga melintasi taman Tao Dan Park aku lanjut berjalan ke Independence Palace di tengah kota. Di sini nggak ada pedagang kaki lima, atau kacang rebus menawarkan dagangannya. Suasananya pun rimbun dan teduh sehingga nyaman saja berjalan di bawah naungan pepohonan itu.
Yang paling menantang jalan kaki di HCMC ini adalah motornya! Hampir mirip di Jakarta, motor lalu lalang banyaknya sehingga menyeberang agak susah. Untunglah katanya cukup teduh dengan pepohonan di mana-mana sehingga nyaman berjalan kaki di trotoar. Setelah cukup lumayan jalan kakinya, ternyata depan Independence Palace tutup karena istirahat, dan baru buka lagi jam 1.
Eh, melihat aku yang terbengong melihat lokasi yang tutup, satu pengendara motor (oh, ojek ada juga di sini ya), menawarkan untuk mengantar melihat museum militer nggak jauh dari sana. Untunglah ia bisa diajak bicara bahasa Inggris. Mengetahui aku dari Indonesia, ia malah memamerkan motor Hondanya yang made in Indonesia. Aku langsung teringat cerita temanku yang PPIC di Astra yang cerita kalau produksi motor kira-kira 14 menit satu motor. Wah, rupanya untuk ekspor juga, ya.
“I’ll wait here,” katanya setiba di gerbang War Remnants Museum Bảo tàng Chứng tích Chiến tranh, janji untuk mengantarkan kembali ke Independence Museum. Koleksi museum militer ini lumayan keren, di halamannya saja ada pesawat tempur dan helicopter. Bercerita tentang perang Vietnam di tahun 1975, di museum ini juga dipamerkan guillotine dan ruang penjara bawah tanah yang rendah dan membuat orang harus meringkuk di dalamnya.
Ketika aku sampai di luar, eh mas-mas Vietnam ojek itu sudah nggak ada, malah aku disamperin yang lain. Jadi aku memilih untuk berkeliling sekitar menunggu jamnya Independence Palace buka. Udara terasa adem karena memang di kawasan pusat kota ini penuh dengan pohon-pohon berusia ratusan tahun yang membuat suasana terasa teduh. Mirip dengan jalan-jalan di Bandung rasanya. Nggak heran karena kota ini pun dulu jajahan Perancis sehingga suasana tamannya mirip dengan Eropa. Mengingatkan pada Paris van Java, kan?
Menyeberangi taman yang hijau, aku tiba di Notre Dame Cathedral of Saigon Nhà thờ Đức Bà Sài Gònyang juga merupakan situs historis yang berdiri di tahun 1880-an. Sayangnya, katedral ini sedang tutup karena sedang direnovasi. Tidak sempat mampir, aku melanjutkan perjalanan ke Kantor Pos karena takut tutup. Karena Vietnam ini negara komunis, maka tidak heran jika warna merah dan bintang hitam mendominasi di mana-mana.
Kantor Pos Bưu điện trung tâm Sài Gòn di HCMC berdiri di tahun 1891 dengan nuansa kolonial yang kental. Seperti tipologi Kantor pos di wilayah Hindia, masuk memasuki hall besar dengan atap beton lengkung dengan posisi loket di kanan kiri yang melayani transaksi pos atau logistik. Tinggi meja batu berlapis marmer itu sekitar 120 cm, pas sedada untuk melayaniku yang sengaja membeli kartu pos dan mengirimkan ke alamat rumah dari sana. Cahaya alami menyinari dari kaca-kaca di dasar atap lengkung. Tidak hanya untuk kantor pos, di bagian tengah pun digunakan sebagai island berjualan souvenir. Pada lapis luar bangunan, banyak juga toko souvenir dengan harga yang cukup affordable, lumayanlah aku bisa membeli snowball di sini.
Didesain oleh arsitek Ngo Viet Thu, Independence Palace Dinh Độc Lập adalah salah satu tengara sejarah di Ho Chi Minh City yang dahulu bernama Saigon, yang terkenal sebagai tempat tinggal dan bekerjanya President Vietnam Selatan di sejak selesai pembangunannya di tahun 1966.
Disebut juga Reunification Hall, titik ini menjadi saksi berakhirnya perang saudara Vietnam utara selatan yang ditandai dengan tank dari Vietnam Utara menabrak gerbang Utama area Independence Palace di tanggal 30 April 1975.
Karena pernah menjadi tempat kediaman presiden, maka ruangan-ruangannya pun cukup prestisius dengan material kelas satu pada zamannya. Bahkan hingga masa kini pun masih cukup bagus. Beberapa ruangan yang bisa dimasuki adalah ruang rapat presiden dan ruang untuk menerima tamu dengan ukuran yang cukup besar, bisa menampung hingga 40 orang di dalamnya.
Bahkan ruang kerja, ruang santai dan meja mahyong pun masih tertata rapi. Juga keamanan penunjang seperti ruang radio komunikasi dan ruang penunjang lain seperti dapur yang bersih dan masih terawat hingga kini.
Yang menarik dari Independence Palace ini adalah didesainnya secondary skin yang menaungi koridor bangunan yang menghadap barat dan timur dengan pilar-pilar GRC berbentuk liukan bambu dengan kerapatan secukupnya sehingga bisa melewatkan cahaya, namun juga mengalirkan udara di mana di baliknya ada pintu-pintu alumunium (besi?) yang terbuka dan membuat ruangan tidak sumpek. Udara Saigon yang cukup lembab dan kala itu tidak berpendingin udara membuat harus dibuat system ventilasi yang baik untuk bangunan.
Atas rekomendasi seorang teman, aku menonton water puppet show di Golden Dragon Water PuppetNhà Hát Múa Rối Nước Rồng Vàng yang berlokasi di belakang Independence Palace. Nggak terlalu jauh dan bisa mengistirahatkan kaki yang lelah seharian berjalan ini. Karena ketinggalan show sore, aku menonton yang malam dengan tiket sekitar 200 VND. Dibuka dengan latar belakang bangunan dan air yang menjadi tempat bergeraknya boneka-boneka yang saling menari di atas air dengan ‘dalang’ di balik layar. Di kiri kanannya ada pemusik yang akan mengiringi aksi boneka-boneka ini bercerita. Meskipun disampaikan dalam bahasa Vietnam, namun gerak gerik dan ekspresinya dapat dipahami dengan mudah. Pengunjung yang sebagian besar turis itu pun ikut tertawa jika ada ekspresi lucu, atau ikut bertepuk tangan.
Karena sudah cukup malam, aku kembali ke hostel untuk mandi dan bersih-bersih, dan memang janjian dengan salah seorang warga negara Vietnam yang pernah belajar Bahasa Indonesia di Yogya. Nah, dia menunjukkan lokasi makan Pho yang halal Musa Kareem di dekat Ben Thranh Market. Hmm, setelah berjalan seharian, Pho dengan campuran daun ketumbar ditambah secangkir teh tarik ini rasanya enak sekali.
Perjalanan November 2018, baru dituliskan di penghujung tahun 2025. Next story masih tentang HCMC di malam hari, ya.