9 trik (tidak) tersesat di Lasem

0-cover-rumah-candu-lasem[1]

“Sudah sampai mana?”
“Baru lepas Terboyo 5 menit yang lalu.”

Jam 6 pagi itu, ketika matahari baru beranjak naik ke angkasa, bersama dengan orang-orang berangkat bekerja, dan anak-anak belasan tahun berangkat ke sekolah, alih-alih kembali ke Jakarta, aku malah melanjutkan akhir pekan di Semarang dengan melanjutkan perjalanan ke jalur Pantura Jawa Tengah. Ghana menjemputku jam 5 pagi di Semarang dan menitipkan motor di stasiun, kemudian lanjut ke terminal Terboyo. Drama pertama pagi ini, kami salah naik bis. Ternyata bis yang kami naiki tidak ke terminal, melainkan tujuan Salatiga! Untunglah kemarin aku baru mengantar kak Tekno Bolang ke terminal ini, jadi langsung menyadari begitu bisnya beda arah.

 

Pastikan bis yang kamu naiki tujuannya benar.

“Duh, Ghana. Untung kamu bareng aku pagi ini. Coba aku berangkat duluan semalam, pasti kamu nggak sampai-sampai.”
“Emm, aku biasa nyasar gitu kok, Mbak,” kilah mahasiswa yang membolos pagi itu. Tidak heran, nama blog-nya saja lostinparadise.web.id. Rupanya nyasar memang salah satu kurikulumnya.

Kami naik bis yang katanya tujuan Lasem. Bukan, kami belum akan ke sana. Tujuan pertama pagi ini adalah Pati, sambil menjemput kak Bolang, sembari mampir sarapan. Bayangan sego gandul yang menari-nari di kepala membuat perutku lapar. Bis melaju perlahan, menaikkan penumpang hingga seluruh tempat duduknya terisi penuh. Aku lega, berarti perjalanan bisa cepat, nih.

Bis melalui tepian sawah pagi yang masih dibasahi embun-embun. Wah, cantik sekali pemandangan di samping. Rupanya daerah ini adalah salah satu lumbung padi daerah Jawa Tengah, yang hamparannya begitu menyejukkan mata pagi ini. Aku teringat beberapa tahun sebelumnya baru melewati jalur ini sebelum ke Jepara.

Memasuki kota Kudus, orang-orang banyak yang berdiri dan bersiap turun. Aku menikmati suasana kota kretek itu sambil bis perlahan-lahan masuk kota. Lha, kok hampir semua turun di sini? Apa kami juga akan diturunkan di sini? Ternyata benar.

“Mbak, turun sini. Nanti ganti bis Sumber Laris di belakang,” kata kenek bisnya. Laah, benar dugaanku. Terpaksa aku dan Ghana turun, lalu naik bis biru tanpa AC yang datang tak lama kemudian, dan setelah berjalan 5 menit sesudah persimpangan, ia berhenti. Ngetem.

“Mestinya sambil ngetem bisa mampir Masjid Kudus nih,” candaku mengingat sebenarnya aku berniat menginap di Kudus malam sebelumnya untuk melihat masjidnya. Sayang, karena kesorean berangkat dari Semarang, jadi niat itu kuurungkan.

Bis ngetem tidak sebentar, sampai-sampai aku bosan. Matahari pagi yang mulai naik masuk di sela-sela jendelanya, dan keringat mulai keluar. Rasanya kepengin keluar dan ganti kendaraan lain yang lebih cepat.

Naik apa biar cepet ini?
Ngetem depan terminal ya?
Di dekat terminal dalam kota.
Harusnya nyari Patas Surabaya, harganya 2x lipat tapi langsung. Udah nyantai aja. Nanti dari Pati kita naik Patas.

Ketika bis sudah berjalan lagi, pemandangan di luar masih sama seperti jalur sebelumnya, hanya embun-embun sudah menghilang. Jam delapan pagi, di saat orang-orang yang bekerja sudah di kantornya, dan anak-anak sekolah belajar, kami berada di bis (yang juga katanya) menuju Lasem.

depan terminal terboyo di pagi hari
depan terminal terboyo di pagi hari

 

Jangan pernah lupa makan, apa pun alasannya.

Memasuki kota Pati, bis masuk kota dan akhirnya kami sampai juga! Kak Bolang berdiri di samping warung nasi gandul sambil tersenyum lebar. Wah, kebetulan banget langsung ketemu warungnya. Berseri-seri karena sudah lapar, aku langsung masuk dan memilih-milih menunya.

Nasi gandul ini terdiri dari bermacam-macam lauk, namun yang paling utama adalah jerohan. Wuss, langsung teringat kadar kolesterol yang mungkin naik sesudah ini. Paru, babat, otak, hati, usus, disajikan di meja menunggu untuk dipilih. Duh, nyam-nyam sekali kelihatannya. Aku memilih babat dan paru yang disajikan dengan cara digunting-gunting oleh penjualnya, lalu disiram kuah dan diberi sambal. Ditemani krupuk putih kalengan, pas sekali.

“Kenapa namanya nasi gandul, Mas?”
“Dulu jualannya muter-muter, pakai pikulan begitu. Karena dipikul jadi menggantung gitu, nggandul-nggandul istilahnya. Jadilah dipanggil nasi gandul,” jawab kak Bolang sambil melahap nasi dan lauk otak pilihannya. Buat yang sedang diet kolesterol, masakan khas Pati ini amat tidak dianjurkan. Yah, paling tidak diimbangi olahraga yang cukup, mungkin bolehlah.

Kami naik angkot lagi sampai jalan utama pantura. Sembari menunggu bis patas tujuan Surabaya, kami menunggu di satu kios bersama satu petugas Dinas Perhubungan. Tanpa iringan dangdut pantura, sayangnya. Tak berapa lama kemudian, kami masuk satu bis patas AC tujuan Surabaya dengan tarif Rp. 20.000 sampai Lasem. Akhirnya!

nasi gandul sepiring dengan babat
nasi gandul sepiring dengan babat
penjual nasi gandul
penjual nasi gandul

 

Cari kontak yang bisa dihubungi di tempat tujuan.

Berhubung ini perjalanan setengah dadakan, setengah terencana, kami belum menghubungi satu kontak pun di Lasem. Sepanjang perjalanan aku menghubungi mas Baskoro yang diberikan sebagai kontak di Lasem. Lucunya, baik dari nomor yang diberikan oleh Pra, sahabatku di goodreads Semarang, dan Fahmi Anhar, sahabatku di Travel Bloggers Indonesia maupun mbak Suci Rifani dari Traveler Kaskus yang baru (ingat) kukenal di Tangerang, semua memberikan nama dan nomor telepon yang sama. Rupanya mas Baskoro ini orang penting di Lasem ya, hm. Tapi, kok ternyata susah ditelepon, ya?

Sembari membaca-baca e-book Lasem kiriman Fahmi, kami malah mulai berkicau di Twitter tentang #DolanLasem kali ini. Aku pun akhirnya memperoleh nomor telepon Pak Gandor, salah satu sesepuh di klenteng Cu An Kiong juga sebagai pemegang kunci Rumah Candu Lawang Ombo, yang juga salah satu destinasi tujuan kami. “Nanti turun di jembatan pas masuk Lasem, ya,” begitu pesan Pak Gandor di telepon.

Walaupun belum tengah hari, namun panas matahari sudah makin terik saja. Memasuki Rembang, kami melewati tambak garam yang cukup luas. Wah, rupanya panas terik memberikan keistimewaan untuk tempat ini. Kami juga melewati pantai Kartini yang cukup terkenal di Rembang. Sebenarnya kotanya tidak besar, hanya panjang. Aku diingatkan, bahwa Rembang – Lasem hanya memakan waktu sekitar setengah jam saja.
 

Turun di tempat yang benar.

“Lasem! Lasem!”
“Pak, turunnya di Jembatan Lasem, ya!” pesanku pada Pak Kernet.
“Jembatan yang mana, mbak? Jembatannya banyak.”
Hah? Petunjuk Pak Gandor tadi bagaimana?
“Jembatan yang dekat kampung batik.”
“Wah, sudah kelewatan, mbak.. Turun di sini saja,” dan bis pun berhenti di depan pasar dan masjid.
Matahari langsung menyambut kami yang langsung kepanasan, menyeberang arah kembali, dan langsung berbinar-binar melihat andong yang terparkir. Bersama duo blogger dengan nama lostpacker.com dan lostinparadise.web.id ini bukan tidak mustahil ada sesi get lost. Kami terkikik ringan sambil menaiki andong yang membawa kembali ke jembatan itu.

Eh, benar jembatannya? Kok kecil? Kampung batiknya mana?
“Pak Gandor, saya sudah sampai jembatan,” teleponku.
“Ke timur jembatan, saya tunggu di situ,” jawabnya.
Eh, timurnya mana? Okey, kalau bis tadi tujuannya Surabaya, berarti arah timur, kan? Sip, kami melihat Pak Gandor di mobil seberang jembatan. Andong pun diarahkan ke sana.

masjid lasem
masjid lasem

 

Gali informasi di wisata budaya. Bangunan tidak berbicara sendiri.

Pak Gandor mengajak kami memasuki Rumah Lawang Ombo atau yang dikenal juga sebagai rumah candu. Beliau menunjukkan lubang yang dipergunakan untuk menyelundupkan candu dari tepi sungai Lasem. Lubangnya tidak terlalu besar, sehingga pasti orang yang melewatinya dulu berbadan cukup kecil (sambil aku melirik badan kak Bolang dan kak Ghana). Pak Gandor ini cukup pendiam, sehingga kita harus rajin bertanya dan menggali informasi dari beliau sambil berkeliling-keliling rumah. Suasana rumahnya cukup sepi, hanya sesekali gonggong anjing yang tinggal di rumah kosong.

Area Lawang Ombo terdiri dari dua bangunan, yang bagian depan yang digunakan untuk usaha dan niaga, di bagian dalamnya terdapat altar kayu cantik yang biasanya ramai untuk berdoa ketika seluruh keluarga Liem sedang berkumpul. “Kalau area belakangnya ini biasanya untuk mbikin krupuk atau roti, rame di sini,” jelas Pak Gandor di teras belakang yang berhadapan dengan halaman. Terpisahkan oleh halaman itu, ada bangunan dua lantai yang dahulu digunakan sebagai rumah tinggal. Tak cuma area ini saja, di bagian sampingnya pun pekarangannya masih besar dan luas, namun karena tidak dihuni, jadi agak terbengkalai.

Ternyata kicauan di twitter membuahkan hasil! Pemilik akun @LasemHeritage yaitu mas Baskoro membalas kicauan kami dan muncul setengah jam kemudian di Lawang Ombo. Ia menawarkan untuk menjadi guide kami selama di Lasem. Wah, seru nih.
“Tapi, kalau di klenteng sebelah, Cu An Kiong, memang Pak Gandor sesepuhnya.”

depan altar lawang ombo
depan altar lawang ombo (fotonya kak bolang)
teras belakang untuk kegiatan produksi
teras belakang untuk kegiatan produksi
teras depan rumah tinggal
teras depan rumah tinggal

 

Hormati tempat ibadah.

Kami berpindah ke klenteng yang berada tepat di sebelah Lawang Ombo. Suasana damai langsung terasa begitu kami memasuki ruangan dalam klenteng ini. Kami semua melepas sepatu sebelum menginjak tegel cantik penutup lantai klenteng yang dibangun tahun 1477 ini. Ada beberapa lokasi yang tidak boleh difoto karena dianggap sakral. Tentunya aturan ini harus dihormati. Untunglah di dalam klenteng ini tidak ada yang sedang beribadah sehingga kedatangan kami tidak mengganggu siapa-siapa.

Meskipun demikian, kami tidak melakukan hal-hal yang berisik juga karena saking terasa sepinya. Angin berhembus ringan dan suasananya damai sekali. Tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Pak Gandor meninggalkan kami pulang sejenak untuk makan siang dan membiarkan kami mengeksplorasi sudut-sudut klenteng. Karena agak lelah, aku, Ghana dan Miya, yang baru datang dari Juwana, malah duduk selonjoran di lantai sambil ditemani angin sepoi-sepoi. “Kalau ditanya-tanya, bilang saja tamunya Pak Gandor.”

Hanya ada seorang tamu yang datang untuk membeli hio siang itu. Selebihnya, hanya kami yang asik menelisik pojok-pojok di bawah langit biru cerah. Paduan warna emas dan merah mendominasi bangunan, dengan ukiran yang halus dikerjakan oleh tangan yang terampil. Naga yang merupakan binatang yang selalu muncul dalam mitologi Cina, tergambar dengan apik di beberapa sudut. Dan tentu saja, ada ukiran naga di atap.

klenteng cu an kiong
klenteng cu an kiong
lampion mengalir
lampion mengalir
naga di atap
naga di atap
selfie dengan pak gandor (foto kak bolang)
selfie dengan pak gandor (foto kak bolang)

 

Sekali lagi, jangan lupa makan.

Makan akan meningkatkan konsentrasi karena masih banyak informasi Lasem yang menarik dan perlu dicerna. Setelah beristirahat siang sejenak di homestay tempat kami akan menginap malamnya nanti, dengan diantar mas Pop, panggilan akrab Baskoro, kami menuju pasar untuk mencari warung yang masih buka untuk mengganti energi yang sudah dikeluarkan sejak pagi. Rupanya memang agak-agak susah mencari makan menjelang jam tiga sore begini. Rencana makan lontong opor Tuyuhan yang kondang juga sirna, karena kalau siang habis.

Untunglah masih ada satu warung makan yang masih buka dan menyajikan aneka menu yang menggiurkan. Tentu saja kami memesan seporsi mangut patin, yaitu ikan patin yang berbumbu santan kuning, yang merupakan menu andalan, lalu ikan pe, botok pindang, udang, aneka gorengan, sayur, dan yang paling mengejutkan ada rajungan goreng! Wah, kak Bolang langsung mengingatkan makanan sejenis yang ia jumpai di Belitung. Makanan sebanyak itu kami habiskan dengan lahap sampai keringatan, karena cuaca di Lasem sangat terik!

kue kepiting yang lezat
kue kepiting yang lezat
mangut patin, yum!
mangut patin, yum!

 

Berjalan kakilah dengan nyaman. Jangan manja.

Tidak seperti beberapa kota lain yang dilengkapi trotoar yang bagus, jalur pejalan kaki tepi jalan raya kota Lasem tidak dalam kondisi baik. Ubin-ubinnya banyak yang pecah dan membuat harus berjalan dengan hati-hati. Apalagi ditambah dengan truk-truk yang parkir di tepi jalan dan menguarkan bau oli. Tapi selalu banyak hal menarik untuk dilihat dari perjalanan yang lambat. Toko-toko lawas dengan pintu bilah-bilah papan selebar 25 berjajar masih jamak ditemui di sini.

Memakai alas kaki yang nyaman adalah syarat mutlah berjalan-jalan di Lasem. Mas Pop pasti mengajak berkeliling-keliling melangkahkan kaki, menyusuri trotoar, memasuki rumah-rumah kuno, melihat aktivitas lampau di sana. Apalagi kami yang gemar berfoto-foto ini pasti lebih suka perpindahan yang lambat. Jadi, berjalan kaki adalah cara menarik untuk menikmati Lasem.

Salah satu jalur menarik adalah menyusuri desa Karangturi dan bertemu pintu gerbang demi pintu gerbang dengan berbagai warna dan ukuran yang membuatmu terkesima. Desa Karangturi adalah kawasan Pecinan, dan sepanjang jalannya adalah tembok-tembok tinggi dan tebal seakan ada rahasia di baliknya. Di tengah-tengah tembok tebal dan tinggi ini terdapat pintu untuk keluar masuk halaman rumah.

toko dengan bilah kayu penutupnya
toko dengan bilah kayu penutupnya
pose depan pintu
pose depan pintu (fotonya kak bolang)
pagar kayu lapuk dan gerbangnya
pagar kayu lapuk dan gerbangnya

“Ghana, kenapa tembok pagar rumah Cina tinggi-tinggi?” tanyaku pada mahasiswa asal Pontianak itu. Aku teringat tipologi pembatas ini juga banyak diterapkan di beberapa rumah milik etnis Cina di kota besar, yang membuat pagarnya cukup tinggi dan rapat. “Sudah kulturnya, Kak. Di dataran Cinanya sana juga bentuk pagarnya tinggi begini untuk satu keluarga.”

Membayangkan ada apa di balik dinding-dinding itu, tapi aku tidak berani nekat memanjat pagar sendiri. Apalagi terkadang ada suara gonggong anjing dari balik pagar. Wah, mending menunggu yang terbuka saja. Lucunya, ada satu ruas jalan yang pagarnya mngkin sudah runtuh, di pekarangan sudah tidak ada rumahnya lagi, namun gerbangnya masih berdiri. “Nanti kita masuk satu rumah, Mbak,” mas Pop menjawab keingintahuanku.

Setelah berkeliling beberapa jam, sepertinya jalur susur budaya Lasem ini asyik juga dinikmati sambil bersepeda. Bayangkan berjalan di sini naik sepeda kebo lambat-lambat sambil menunggu surup menjelang hingga bias matahari terbenam. Desa Karangturi ini tidak terlalu besar, sehingga bisa dilewati sekitar 15 menit saja sambil menikmati pintu. Karena desanya berpola grid yang mudah dimengerti, sepertinya tak takut tersesat.

“Oh, akhirnya! Ada minimarket!” Kami berlari menyeberang jalan usai berkeliling desa untuk menemukan udara ber-AC di dalam toko itu. Petualang macam apa kami ini?

dari dalam gerbang
dari dalam gerbang
apa di balik dinding tinggi ini?
apa di balik dinding tinggi ini?
berempat di rumah tegel
berempat di rumah tegel (foto dari kak bolang)

 

Kopi lelet di malam hari.

Sesudah makan malam, mas Pop dan teman-temannya mengajak kami untuk mencoba cara ngopi khas Lasem, yaitu kopi lelet. Jadi, kopi tubruk yang disajikan diminum, kemudian ampasnya digambarkan di batang rokok dengan motif-motif sesuai keinginan. “Jadi ngelelet ini agak-agak sama dengan membatik gitu, mbak,” kata mas Pop sambil menorehkan ampas kopi di batang rokoknya. Menurutnya, rokoknya terasa lebih nikmat dengan dilumuri kopi begini. Kami masih ngobrol ngalor ngidul lama tentang kota Lasem.

Kedai kopi sendiri menarik, terletak tersembunyi di dalam salah satu pemukiman Jawa, berdiri di atas satu pekarangan yang cukup besar. Tempat duduknya macam-macam, bisa lesehan atau bangku-bangku biasa. Di kedai kopi sederhana ini sambil menikmati kopi lelet, ramai dengan anak muda yang sedang berdiskusi. Padahal ini bukan malam libur, tapi tetap saja ramai.

Ketika aku berjalan-jalan dengan Ghana di malam hari keliling kota, kami menemukan warung-warung di tepi jalan pun yang berisi anak-anak muda yang mengobrol sampai malam sambil ngelelet kopi di rokoknya. Rupanya ini sudah menjadi semacam tradisi di kalangan generasi mudanya.

rokok yang sudah dileleti kopi
rokok yang sudah dileleti kopi

Kota Lasem tidak terlalu besar, jalan utamanya dilalui oleh bis Semarang-Surabaya, dan pusat niaganya memang berada di sepanjang jalan beberapa kilometer. Daerah pemukiman menyebar ke utara ke arah laut yang hanya berjarak beberapa km dan ke selatan dengan berbagai titik daerah bermukim. Pola umum kotanya berbentuk linier, yang berkembang dengan grid-grid pada kampung, sehingga orientasi arah cukup mudah. “Eh, sudah sampai lagi, sepertinya kotanya segini-gini saja besarnya.” Tapi tetap saja belum kami kelilingi semuanya.

Ceritaku tak berhenti di sini, masih ada beberapa cerita khas tentang Lasem yang sangat menarik diulik sendiri. Walaupun bersama duo blogger yang hobi lost, jangan takut tersesat di sini.

central park-cengkareng-depok 09.05.2015 : 07.26
perjalanan 30 maret 2015

Ikuti lebih lanjut ditunggu, ya :
Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem
lebih jelas tentang pemukiman: di balik tembok pecinan lasem
melihat pagi: mentari mesem dari lasem

20 thoughts on “9 trik (tidak) tersesat di Lasem

  1. Ah, saya baru saja terkesima dengan kota-kota Pantura, meski flash trip yang saya sedang selesaikan dalam bus yang menuju ke selatan Jawa ini cuma sampai Pati. Tapi dari Semarang, Demak, Kudus, dan Pati menyimpan ceritanya sendiri. Fajar di Gereja Blenduk, berpanas-panas di Masjid Agung Demak, tersasar sampai di depan Stasiun Kudus yang telah mati, dan heran gara-gara eks rumah Residen Pati sudah tidak punya kolam lagi di depannya… ah saya melewatkan Ungaran, kan! :haha. Bisnya baru saja lewat sana.
    Lasem pasti punya banyak rahasia akulturasi mengingat posisinya yang sangat strategis. Saya jadi membayangkan (dan setengah berharap), kapan ya saya diajakin jalan-jalan sama Mbaknya? :hihi.
    Dan ngomong-ngomong soal Bus Patas yang juga sedang saya naiki sekarang, apa kata Patas itu punya kepanjangannya sendiri? Cepat dan Pantas? Atau Cepat dan Tuntas?

    1. Ungaran nggak sejalur sih, ya? Iya, memang ada rahasia dibalik pantura (alah, kayak judul berita koran) menarik untuk tidak dilewatkan begitu saja.
      Ayo, jalan-jalan sama aku, itu celengan babi jangan diangrem terus, hahaha.
      Oke, jadi singkatan PATAS itu Cepat Terbatas, berarti nggak ada yang berdiri. 😉

  2. Duhh bikin penasaran nih Lasem, dulu udah jatuh hati pas baca e-book dari kak Fahmi sekarang ditambah postingan kece mba Indri.

    Setelah lostpacker dan lost in paradise, apakah ada lost in your heart? #eaaa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.