kepada singgalang bertanya aku
wahai gunung masa kanakku
di lututmu kampung ibuku
kenapa indahmu dari dahulu
tak habis-habis dalam rinduku?kepada merapi berkata aku
wahai gunung masa bayiku
di telapakmu kampung ayahku
kenapa gagahmu dari dahulu
tak habis-habis dalam ingatanku?:dua gunung kepadaku bicara ~ Taufiq Ismail
cerita sebelumnya : rendang minang #4: air sungai, air manis, air terjun, air hujan
Setiap aku bilang akan berkunjung ke Minangkabau, pasti semua orang menyarankan untuk berkunjung ke Bukittinggi. Kota dengan ketinggian sekitar 900 m dpl ini, yang diapit oleh Gunung Singgalang dan Gunung Marapi, terkenal dengan banyaknya penulis, pemikir, penyair yang berasal dari sini. Salah satu proklamator Indonesia, Moh. Hatta, lahir di kota bertingkat ini. Juga ada Tan Malaka, juga seorang politikus yang banyak membuat tulisan-tulisan pandangan kerakyatan dan kenegaraannya. Kota ini juga pernah dijadikan Ibukota negara sementara dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai presidennya selama 207 hari.
Marco Kusumawijaya, seorang ahli tata kota pernah menuturkan dalam satu kuliah umumnya, bahwa pusat kota Bukittinggi itu seluas Lapangan Merdeka di tengah Jakarta Pusat dengan Monas sebagai aksis tengahnya. Jika di Lapangan Merdeka di bidang datar dengan aktivitas tidak berarti kecuali di hari-hari tertentu ketika diadakan acara, pusat kota Bukittinggi dengan konturnya yang bertingkat naik turun, riuh oleh berbagai aktivitas manusia. Perbedaan yang bukan hanya jarak melainkan ketinggian tetap membuat suasana kota ini hidup dan berwarna. Di Lapangan Merdeka yang datar hanya ramai di seputaran Monas saja, sementara Bukittinggi ramai dengan aktivitas niaga di sepanjang jalan, pelancong di seputar Jam Gadang, Pasar Atas dengan kegiatan jual belinya, atau celah-celah pandang untuk sekadar bersantai melihat bagian bawah kota.
Bukittinggi juga dilindungi oleh benteng alami Ngarai Sianouk yang indah di sebelah barat, berupa gugusan patahan lempeng bumi raksasa yang membentang sebagai jurang sedalam kira-kira 100 m dan menjadi daya tarik pariwisata kota ini. Pola kotanya sirkular dengan kontur naik turunnya jalan, memusat di area Jam Gadang. Dengan arus transportasi yang selalu melewati monumen berumur 87 tahun ini, Jam Gadang sukses menjadi ikon kota. Bayangkan, lebih dari 4 kali kami melewati menara setinggi 26 m ini dalam perjalanan ke berbagai tempat di Bukittinggi.
museum bung hatta
Salah satu tokoh Indonesia kelahiran Bukittinggi yang amat terkenal adalah Drs. Moh. Hatta. Kebetulan kami menginap di dekat sekali dengan tempat kelahirannya yang kini dijadikan museum. Sayangnya skedul perjalanan kami membuat kami hanya bisa menengok gedung ini dari bagian luarnya saja, karena kami tiba di depan museumnya pada pukul 6 pagi. Sementara museum baru dibuka pada pukul 08.00. Kabut masih menyelimuti jalan Sukarno Hatta lokasi museum itu berada. Lampu-lampu jalan dan penerangan pun belum juga mati. Di dekat situ, terdapat pasar yang sudah membuka dagangannya dan membuat jalan tidak bisa dilalui mobil.

Bangunan ini adalah rumah kelahiran Bung Hatta yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902. Selama 11 tahun beliau tumbuh di bangunan kayu asri ini, dengan gaya tropisnya yang khas. Ada teras depan untuk bersosialisasi, baik di bawah maupun di atas sebagai balkon. Terdapat beberapa jendela ganda, sepasang jendela luar dengan papan masif, dan sepasang jendela dalam yang membingkai kaca. Untuk mengantisipasi hawa dingin di Bukittinggi, jendela bagian luar bisa dibuka dan jendela kaca tetap tertutup. Sistem ventilasi bangunan ini pun mengadaptasi gaya Rumah Gadang. Terdapat anyaman bambu yang disusun horisontal yang menutup dinding di sisi pendeknya, sehingga udara bisa menyelisip di antara bilah-bilah yang tersusun itu. Bahan dindingnya pun dari kayu, yang bisa menahan panas dalam bangunan untuk mengantisipasi hawa dingin. Di dalamnya terdapat ruangan-ruangan layaknya rumah tinggal biasa.

ngarai sianouk
Jika di kota-kota besar orang-orang berolahraga pagi di alun-alun, bahkan kalau di Jakarta di jalan raya, lain halnya di Bukittinggi. Di sini tempat jalan-jalan favorit untuk jalan pagi adalah ke Ngarai Sianouk. Beberapa bulan ini baru dibangun Great Wall of Koto Gadang, yaitu jalur berjalan-jalan mengelilingi kawasan Ngarai Sianouk. Jalur ini dibuat bermodel mirip tembok besar Cina, dengan tepian mirip benteng.
Ngarai Sianouk, berupa jurang besar berukuran luar biasa besar di sebelah barat Bukittinggi. Dari arah pusat kota Jam Gadang berbelok ke kiri dengan mobil selama 5 menit dan menyusuri jalan bisa ditemukan satu celah jendela pandang untuk memandang keindahan ngarai itu di dari kejauhan. Bila yang ingin menikmatinya dari dekat, dan fisik cukup kuat, bisa ke arah bawah dan berjalan ke Tembok Besar Koto Gadang sambil berolah raga. Di dekat Ngarai ini juga terdapat Goa Jepang yang juga ditawarkan oleh supir kami untuk dilihat. Namun kami memilih melewatkannya dan segera ke dekat Ngarai.

Dari awal jalan masuk ke arah Ngarai sudah cukup ramai. Kami maklum, karena itu hari Minggu sehingga banyak orang yang berolahraga. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, bahkan puluhan anak sekolah berjalan-jalan dengan pakaian olahraga di sini. Jalur mendekati ngarai selebar dua meter dengan perkerasan paving block arah menurun. Kiri dan kanannya adalah pangkasan bukit yang ditumbuhi hutan-hutan. Setelah 15 menit berjalan dan foto-foto, tampak bentang batu dengan puncaknya yang masih tertutup kabut. Lama-kelamaan kabut naik dan puncaknya bisa dilihat dengan jelas.


Di depan bukit batu tersebut ada sungai yang cukup besar dengan jembatan gantung di atasnya. Ramai orang mengantri jembatan gantung itu untuk menyeberang. Ada petugas yang menyilakan setiap beberapa orang untuk lewat di jembatan sesuai kapasitas yang diijinkan. Ketika mendapat giliran untuk menyeberang jembatan, aku dan Felicia berniat berfoto-foto ditengah jembatan, tapi ternyata banyak antrian sehingga kami baru berfoto-foto ketika tiba di seberang.


Baru setelah di ujung kami mulai mendaki Tembok Besar Koto Gadang yang didesain mirip dengan tembok Cina itu, namun setelah beberapa menit mendaki puluhan anak tangga, aku dan Felicia mulai lelah. “Di mana ini berakhirnya, Uni?” tanyaku pada seorang perempuan yang juga berjalan pagi di situ. Nanti di dekat pasar, jawabnya ramah. Berhubung perjalanan kami masih jauh, kami memutuskan untuk kembali lagi ke tempat kami diturunkan pak supir. Sesudah menyeberang kembali jembatan gantung, ternyata jalan ke atas yang menanjak cukup menguras tenaga. Lumayanlah untuk olahraga pagi, namanya juga di kota berbukit.



jam gadang
Jangan mengaku ke Bukittinggi kalau tidak ke Jam Gadang. Satu area seluas kurang lebih 1000 m2 berada di sekeliling menara putih yang menjadi ikon khas kota ini. Kami pertama kali ke Jam Gadang di sore hari, ketika tiba di Bukittinggi. Plaza sekitar jam ini penuh dengan pedagang yang menjajakan cinderamata dengan obyek Jam Gadang. Dari pedagang balon sampai tukang foto keliling menawarkan jasanya tak pernah sepi walau malam hari. Masih banyak muda-mudi bercengkrama di situ sambil tak lepas juga dari penjaja makanan yang berlalu lalang. Lampu-lampu taman yang kuning membuat tempat ini lebih menarik.

Menurut keterangan di situ, Jam Gadang sudah mengalami kemiringan sebesar dua derajat pada tahun 2010. Menara yang dibangun pada tahun 1926 ini dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih (sumber: wikipedia). Dalam puluhan tahun sejak berdirinya, memang dimungkinkan terjadi perubahan tumpuan menara jam ini. Jika tidak direstorasi sejak sekarang, bisa saja Jam Gadang bernasib seperti Menara Pisa di Italia.

Di sebelah timur Jam Gadang bisa dilihat pemandangan kota Bukittinggi di bagian bawah, dengan perbedaan ketinggian 10-15m. Ada satu restoran di situ yang bisa melihat pemandangan kota ini, namun sayangnya ketika kami ke sana restoran itu sudah penuh. Jadi kami menghabiskan waktu berkeliling Jam Gadang sambil melihat-lihat aktivitas.

Pagi harinya kami kembali lagi ke tempat ini sambil menunggu Pasar Atas buka. Masih banyak orang-orang yang berfoto dengan latar belakang Jam Gadang, dan juga pedagangnya tak sebanyak di sore hari. Mungkin jika ingin menikmati suasana yang lebih sepi, pagi hari ketika pedagang belum menggelar adalah saat tepat untuk menikmati plaza di seputaran Jam Gadang.
kampung cina tembok dan pasar atas
Sesudah dari Ngarai Sianouk, mobil parkir di belakang Pasar Atas karena kami ingin mencoba Nasi Kapau Uni Lis yang terkenal itu. Sayang sekali, ketika kami tiba jam 9 lauknya belum matang. Jadi kami memutuskan berjalan-jalan dulu sebelum sarapan di situ. Entah kenapa, selama berwisata di Minangkabau ini perut mudah sekali terasa lapar dan semua makanan terasa enak.
Di parkiran saja sudah bisa dilihat beberapa keunikan. Ada tangga besar turun menuju kawasan niaga di bawah pasar sehingga orang-orang bisa melalui tangga ini sebagai penghubung. Di ujung tempat parkir, ada barbershop kuno termasuk satu mobil Corolla 77, Kijang kotak yang terparkir di depannya. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.


Kami menyusuri kawasan niaga di jalan belakang Pasar Atas yang mirip dengan pertokoan di Jl Dalemkaum Bandung. Di tengah perjalanan ada plang yang menunjukkan arah ke Kampung Cina Tembok. Berhubung kami belum pernah mendengar, dan Felicia yang keturunan Cina ini juga penasaran, jadi kami berbelok dan menuruni seruas tangga berwarna merah bata. Di ujung tangga ini ada sederetan pertokoan gaya tempo dulu, ruko yang masih alami sebagai rumah toko, yang di atas untuk bertinggal, yang di bawah untuk berniaga.


Kembali ke Pasar Atas kami berharap masakan Uni Lis sudah matang. Ternyata, pegawai Uni Lis baru datang membawa masakan yang akan diletakkan dalam baskom-baskom besar tahan karat. Kami mengisi waktu dengan berkeliling rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Di dinding dipasang foto-foto orang terkenal yang pernah makan di situ. Kulihat foto Emil Salim pernah berkunjung di sini. Aroma masakan sudah menguar di sana sini. Kembali aku memesan teh talua dan Felicia mencoba kopi talua. Enak juga kopinya ketika aku mencicip sedikit.
Beruntung kami bisa menyaksikan bagaimana masakan ini disiapkan. Dengan telaten Uni menata dendeng kering di baskomnya dan disiram dengan sambal agak asin sehingga bernuansa merah. Baskom berisi makanan itu juga disusun bersilangan sehingga tidak menganggu antara masakan satu sama lain. Beberapa jerohan seperi usus, juga ikan yang besar diletakkan agak bawah. Setelah semua makanan tertata rapi di tempatnya, Uni mengambilkan pesanan kami dengan sendok besar panjang bergagang kayu dari tempatnya duduk.

Makanan yang terkenal di sini adalah dendengnya yang dibalur dengan sambal khasnya. Dendeng ini sangat kering, kres, agak asin, namun lezat. Kuah gulai yang menemaninya menambah lezatnya makanan yang kami lahap saat lapar sekali ini. Setelah kami berdua dan pak supir manandaskan makanan di piring, kembalilah energi yang tadi sempat terkuras di Ngarai Sianok. Sekarang kami siap melanjutkan ke Payakumbuh.
Perjalanan 30-31 Maret 2012
Ditulis 25-28 Juli 2013. Train. Office. Blue Room.

cerita selanjutnya : rendang minang #6: rumah gadang di tepi jalan
Kalau suka tulisan-tulisanku, bisa vote TindakTandukArsitek di Indonesia Travel Blogger Award sampai 17 Agustus 2013. Terima kasih. 🙂
[…] rendang minang #5: keliling hari di bukittinggi […]
hm… ditunggu tulisan transilvanianya…
ah dirimu percaya aja lagi, jo. kan aku lagi gak puasa, jd boong dikit.. :p
pret.. trus yg bener mau kemana lu?
timbuktu dehh 😉
baiklah. salam untuk kornelis prul.
Terakhir aku kesana belum ada Tembok Besar Koto Gadang. Tapi dari berbagai foto yang sempat aku lihat, aku koq merasa kalau bentuknya kurang pas ya. Rasanya akan lebih pas kalau dibuat dengan model bangunan khas Minang. Entah bagaimana menurut Mbak Indri yang sudah lihat sendiri ke situ.
aku juga nggak sreg dengan bangunan kebanggaan tiffy ini. kl bentuk gonjong mungkin agak sulit, juga belum ada jejakan khas minang untuk jalur pejalan begini ya?
Nah kalau begini bukannya expertise-nya Mbak Indri? Kira-kira memungkinkankah kalau diciptakan jejakan yang mengambil model bangunan khas Minang? Sorry, just curious sih 🙂
soalnya jejakan ini bukan bangunan sih, tapi jalur pejalan. mungkin dicari dari tipologi penghubung antar bangunan, semacam selasar gitu.. jadi yang tanpa atap..
Eh busyet … itu yg ngantri mau nyebrang jembatan segitu panjang nya 🙂
[…] rendang minang #5: keliling hari di bukittinggi […]
Hallo Indri, aku mau tanya sedikit boleh ya…
Ada referensi penginapan gak di bukittinggi?
Bisa share info kisaran rate rental mobil waktu itu? Ada referensi?
Sorry banyak nanya…
Thanks,
Ardee
penginapan sih sebaiknya jangan di tempatku waktu itu deh. dekat pasar, jelek banget dan gak bersih (makanya gak ditulis), padahal booking lewat agoda. tapi bukittinggi kotanya kecil kok, mau tinggal di mana juga gampang. kemarin lihat2 sih, kl mo ke bukittinggi lg sih pengen nyoba Nikita Hotel, di Jl Sudirman. gak terlalu jauh dari Jam gadang. ratenya juga cukup bagus. gak perlu AC, dingin banget kotanyaa..
rental mobil aku waktu itu rental taksi dari Padang buat 2 hari. jadi jalan dr Padang keliling bentar, ke Bukittinggi, besoknya ke Payakumbuh, Harau trus muter lah, balikin kita di Bandara Minangkabau. kl ratenya 300-350 rb / hari (kayak di Jkt).