…kuketahui bahwa pemandangan yang tertatap oleh mata bisa sangat mengecoh pemikiran dalam kepala: bahwa kita merasa menatap sesuatu yang benar, padahal kebenaran itu terbatasi sudut pandang dan kemampuan mata kita sendiri.
― Seno Gumira Ajidarma
Satu hal yang membuatku penasaran pada kota Lasem adalah tembok-tembok tinggi dan tebal yang mengelilingi pekarangan tempat tinggal mereka. Aku jadi teringat ungkapan orang-orang di masa kecilku dulu, kalau pagar tinggi tertutup selalu diidentikan dengan rumah milik orang Cina. Karena Lasem sering sekali disebut sebagai Little Tiongkok, tak heran jika suasana menyusuri jalan-jalannya seperti daerah pemukiman Cina yang didominasi tembok-tembok besar, karena kota ini adalah salah satu pelabuhan Mataram yang diizinkan didarati pedagang Cina pada masa perdagangan rempah dahulu.
Di kampung Karangturi didominasi oleh tembok-tembok dengan pintu-pintu yang sudah berusia tua yang menjadi aksen dominan dari deretan bata ini. Di beberapa bagian yang terkelupas tampak susunan bata yang berukuran besar, pertanda bangunan ini dibangun pada masa yang telah lampau. Warna cat kayu yang kusam tidak berkilat, menyembunyikan apa yang ada di balik tembok tersebut. Handel besar dari besi sering menjadi pajangan unik di jalanan.
Dengan ketinggian hampir tiga meter, butuh energi ekstra untuk mencoba melompati tembok tanpa pijakan itu. Di bagian pintu masuk, dibangun ambang besar serupa gapura, dengan daun pintu ganda di bawahnya. Sepasang daun yang besar dan masif membuka ke arah dalam, sementara sepasang lagi membuka ke arah luar berukuran lebih rendah dan beberapa bagian transparan. Agaknya ini karena keamanan berlapis, jika pintu besar dalam dibuka, masih bisa mengintip lewat pintu keluar yang masih tertutup berjeruji.
rumah desa
Rumah pertama yang dikunjungi adalah satu rumah di tengah desa Karangturi. Penghuninya sedang tidak ada, namun penjaganya mengizinkan kami untuk masuk. Di balik tembok besar itu, terdapat sedikit pekarangan dengan beranda yang cukup luas, ditopang oleh tiang-tiang dengan gaya kolonial. Mungkin ini sudah merupakan paduan selera dari pemiliknya yang sering bepergian ke luar negeri. Tegel cap yang menghiasi beranda ini tertata rapi dan bersih yang di atasnya terdapat dua set kursi tamu santai.
rumah opa oma
Di depannya, adalah rumah Opa Oma yang menerima kami dengan baik. Ternyata, di balik tembok besar yang mengelilingi rumah, terdapat pekarangan yang cukup besar. Posisi rumah berjarak sekitar 5 meter dari gerbang, dengan level yang ditinggikan. Tegel lama menghiasi halaman beranda yang cukup luas ini. Sepertinya beranda ini adalah tipologi yang selalu muncul di rumah, karena dipergunakan sebagai area menerima tamu, atau untuk sekadar berbincang sore dengan keluarga sambil menikmati kopi.
Kuda-kuda yang menopang beranda ini cukup unik karena merupakan satu bentang atap tersendiri, dengan konstruksi rangka yang menopang gording secara langsung, tanpa kayu miring penahan gording seperti yang biasa aku lihat di rumah-rumah. Konstruksi atap ini juga bukan perpanjangan dari atap rumah utama, melainkan bentang tersendiri yang dihubungkan dengan talang di antaranya.
Ketika melangkah ke samping rumah terdapat sumur tua yang masih dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Masuk melalui lorong sempit terus ke belakang, terdapat bangunan serupa beranda di depan dengan material yang menempel pada rumah utama yang difungsikan sebagai dapur. Ketika akan masuk rumah utama, tampak Oma yang sedang terbaring sakit sedang menonton televisi. Karena sungkan, aku hanya memberi salam dan melewati untuk kembali mengobrol dengan Opa di depan.
Kata mas Pop yang mengantar kami, Opa ini peramal. Dengan setumpuk majalah lawas di meja beranda, kami harus menghitung sampai angka tertentu dan kemudian mengambil majalah itu. Katanya, itulah kehidupan kami di masa lalu. Aku sempat tidak percaya, tapi ketika kudapat majalahku bersampul seorang penyanyi muda dengan rambut pendek gelombang yang kurang lebih memang mirip potonganku. Hi, mungkinkah aku akan menjadi seorang penyanyi kelak?
vihara karunia dharma
Satu area pekarangan yang kami hampiri di pagi perikutnya adalah yang sekarang dipergunakan sebagai Vihara Karunia Dharma. Menurut keterangannya, bangunan ini dihibahkan oleh pemiliknya Ong Kim Liang pada tahun 1991. Lokasinya di belakang Klenteng Cu An Kiong dan bangunan Lawang Ombo yang terdapat lubang candu itu. Dari luar, kami disambut oleh pintu ganda yang berukuran cukup besar dan berat, dengan engsel kuno dari besi yang kokoh. Gerendelnya yang sudah berkarat berpadu dengan sistem palang pintu di bagian dalam dengan pengunci yang unik.
Anjing-anjing yang menyalak memperingatiku untuk agak mundur. Sebenarnya mereka tidak mengganggu, hanya saja suaranya yang cukup riuh membuatku gentar. Dengan luas halaman terbuka yang cukup luas, tak heran hewan-hewan ini cukup bahagia berada di sini. Di samping kanan terdapat deretan panjang bangunan dengan kamar-kamar, yang dipergunakan untuk ruang tinggal sehari-hari keluarga yang mengurusi bangunan utama.
Terdapat dua beranda yang berhadapan di bagian depan. Beranda pertama yang terpisah dari bangunan utama, berbentuk ruangan luas yang polos dikelilingi oleh dinding dengan ruangan-ruangan di baliknya, dengan langit-langit dari batang-batang kayu yang dicat. Beranda kedua untuk bangunan Vihara Karunia Dharma, dengan struktur atap yang ditopang oleh satu tiang kayu berdiri di sisi luar, dan tiang lainnya tersembunyi di dalam. Di sini juga menerapkan gaya struktur yang sama, konstruksi rangka kayu yang langsung menopang gording, dengan detail sambungan di ujung yang menahan bilah ujung pada satu sisi, dan talang di sisi yang menempel dengan dinding bangunan.
Dindingnya sendiri tersusun dari bilah-bilah kayu dengan satu pintu utama dan dua jendela di kanan dan kiri. Dua ambang pintu lengkung kecil di kanan kiri, adalah jalan menuju halaman belakang tanpa melalui dalam rumah. Satu hal yang khas dengan beranda ini, adalah adanya lemari tanam dengan pintu kaca berbingkai kayu di sisi tembok beranda untuk meletakkan perangkat hiasan keramik, atau benda-benda lain yang akan dipamerkan pemilik rumah.
Masuk ke pintu utama, akan langsung berhadapan dengan altar untuk berdoa dengan pintu ke ruang dalam di sisi kanan dan kiri. Ruang dalam ini sekarang kosong, hanya ada meja dan kursi yang mungkin kelak akan dipergunakan ketika ada upacara ritual keagamaan. Mungkin karena ruang dalam adalah zona privat karenanya dipasang empat pintu menuju kamar-kamar yang dulu dipergunakan sebagai ruang tidur. Lantai tersusun dari bilah-bilah kayu hitam juga selebar 20 cm memanjang yang masih awet tak lapuk dimakan rayap.
Terdapat tangga kayu menuju bagian atas rumah, tepat di bawah atap yang membuatku bisa memperhatikan struktur atap yang menopang bangunan ini, tak berbeda jauh dengan yang sudah dilihat di beranda. Dari sini aku bisa memperkirakan posisi tiang kayu yang menyangga naungan bangunan ini, karena tidak tampak di lantai dasar tadi. Rupanya tiang-tiang disembunyikan dengan apik di dalam dinding-dinding kayu yang membatasi di antaranya. Ruangan di bawah atap ini dulu dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil bumi, dan bisa juga untuk bersembunyi.
Turun menuju beranda belakang, ada area selebar 1.5 meter dengan tegel berukuran besar dengan bersusun bata, dengan langkan besi bermotif organik. Simetris dengan ruangan altar ke arah belakang, dibangun ruang terbuka dengan tiang dan boeg, biasanya digunakan sebagai tempat produksi kegiatan bisnis khas masyarakat Tionghoa. Jika keluarga pembuat tahu, krupuk, roti atau yang lainnya, maka diolahnya di situ supaya mudah diawasi. Aku membayangkan aktivitas keluarga yang ulet bersama-sama menguleni adonan, mencetak, menggoreng, membungkus, yang dikerjakan secara tekun.
rumah batik
Kunjungan kami berikutnya ke rumah tempat memproduksi batik tulis khas Lasem ini sangat hidup. Rumah utama benar-benar dipergunakan sebagai ruang tinggal, dengan kursi dan meja tamu di beranda, dilengkapi foto-foto keluarga yang menghiasi dindingnya. Nampak bahwa beranda depan ini cukup sering dipergunakan sebagai ruang menerima tamu. Juga mempergunakan kaidah struktur atap, ambang pintu lengkung, juga lemari kaca yang tertanam di dinding berisi hiasan-hiasan yang dipamerkan pemilik rumah.
Dengan sisi kiri yang cukup luas, terdapat bangunan deret dengan pintu-pintu dan jendela yang menyesuaikan kebutuhan ruangannya. Konstruksi penyangga atap untuk teritisan pun unik dan khas hingga ujung atap yang tidak dilengkapi dengan lisplang.
Tujuan utamaku kesini adalah menilik bagian belakang, area yang dipergunakan sebagai ruang produksi bisnis keluarga. Delapan orang pembatik sedang tekun menghadapi kainnya masing-masing dengan canting di tangan kanan mereka, memainkan motif floral yang cantik. Mereka berkelompok empat lima orang, dalam satu baskom lilin yang sama, bergantian menorehkan warna pada motif di kain putih yang terkelantang di depannya.
Sambil bersenda gurau di antara mereka, mata-mata tua yang sudah kurang awas ini tetap menjelujuri garis demi garis dengan cekatan, seperti yang sudah dikerjakan bertahun-tahun ini. Bau lilin menguar di dalam ruangan terbuka di belakang rumah ini dengan hawa panas yang agak menyeruak. Untunglah tinggi langit-langit cukup memadai sehingga udara segar masih bisa menyelisip masuk. Di ujung sana, kain-kain baru yang kaku dibilas dengan air sumur, sementara kain batik yang sudah jadi ditumpuk jadi satu di ruang bersama di depan pengrajin batik tersebut.
Ternyata, rumah deret tidak hanya berada di sebelah kanan saja, tapi juga di sebelah kiri yang dipergunakan sebagai dapur. Perangkat-perangkat memasak sederhana tergantung di dinding dengan jendela berjeruji dan lantai tegel. Sementara lantai sebelahnya yang dijadikan kamar berlantai kayu menjadi unik karena dilihat dari luar, lantai ini naik dari permukaan tanah (raised floor) dan terlihat ada lubang-lubang kecil yang berjeruji seperti penghalang dari tikus atau binatang untuk menyelinap. Sepeda-sepeda ibu-ibu pembatik diparkir di samping rumah, yang masuk melalui ambang lengkung.
Desa Karangturi di siang hari sangat sepi dan panas menyengat, tak banyak orang berlalu lalang di jalanannya sekadar menikmati cantiknya pintu-pintu dan tembok-tembok besar ini. Mungkin di masa lalu cici-cici berjalan-jalan sambil memakai payung bertandang ke rumah temannya diiringi oleh dayang-dayangnya. Atau meungkin mereka hanya berada di rumahnya, dipingit sambil belajar memasak dan bermain kecapi. Kenangan masa lalu di Lasem selalu mudah menggeliat…
perjalanan : 2015.03.31
sentul city, 13 januari 2016. 11.12
Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem
mencapai Lasem? baca: 9 trik (tidak) tersesat di Lasem
melihat pagi: mentari mesem dari lasem: mentari mesem dari lasem
Deskripsi yang sangat baik, mbak Indri. Aku seolah berada sendiri di tengah Lasem, menghadapi bangunan-bangunan tua itu. Terus menulis tentang arsitektur ya 🙂
pasti dong. pasti akan lebih banyak lagi menulis arsitektur..
jadi makin penasaran ama lasem kak
hayuk ke siniiii…
[…] Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem mencapai Lasem? baca: 9 trik (tidak) tersesat di Lasem ada apa rahasia di balik tembok pecinan lasem? […]
[…] lanjut ditunggu, ya : Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem lebih jelas tentang pemukiman: di balik tembok pecinan lasem melihat pagi: mentari mesem dari […]
[…] Lasem? baca: 9 trik (tidak) tersesat di Lasem lebih jelas tentang pemukiman: di balik tembok pecinan lasem melihat pagi: mentari mesem dari […]
suka… aku yang asli lasem aja belum pernah memperhatikan sedetail ini…
makasih, waaa.. kapan2 kalau aku ke lasem lagi temenin jalan2 yaa..
nice post, banyak ilmu. salam dari arsitektur UGM 🙂
salam kenal juga. semoga bermanfaat ya.