“Each spice has a special day to it. For turmeric it is Sunday, when light drips fat and butter-colored into the bins to be soaked up glowing, when you pray to the nine planets for love and luck.”
― Chitra Banerjee Divakaruni, The Mistress of Spices
Bayangkanlah dirimu di masa lalu berdiri pada puncak Benteng Tahula Tidore, mengawasi kapal-kapal yang datang dan pergi dengan teropong sembari mencatat aktivitas yang terjadi, melayangkan pandang pada separuh badan pulau, mengira-ngira muatan rempah apa yang dibawa dalam kapal-kapal kayu yang kelak berlayar hingga Eropa. Kemudian seolah aroma pala, cengkeh, kayumanis, menguar dari geladak kapalnya.
Setiap orang yang belajar sejarah di masa sekolah dahulu, pasti menemukan nama Tidore yang bersanding dengan Ternate sebagai salah satu pulau penghasil rempah di Indonesia. Pulau dengan gunung Kie Matubu Tidore dengan ketinggian sekitar 5900 kaki ini memiliki garis pantai yang dipeluk oleh birunya laut Maluku Utara yang indah, dengan garis cakrawala yang seolah menghilang ditelan batas langit dan samudera.
Gunung berapi yang dahulu aktif ini tentulah yang memberikan lahan subur pada dataran di sekitarnya sehingga menjadi tanah tumbuhnya pala, cengkeh dan kayumanis yang menjadikannya sebagai komoditi andalan untuk diekspor hingga tanah Eropa. Rerimbun hutan pala dan cengkeh mendominasi lereng-lereng sejauh mata memandang ketika berkeliling Tidore.

Pulau ini cukup mudah dicapai dari Ternate, di mana bandara yang menghubungkan Provinsi Maluku Utara dengan daerah-daerah lain di Indonesia berada. Dengan naik speedboat dari pelabuhan Bastiong di Ternate, dengan ongkos Rp. 10.000,- selama 30 menit, aku menikmati udara laut yang segar beserta debur-debur ombak yang menerpa pagi. Sepanjang perjalanan, tentu didominasi oleh pemandangan Pulau Tidore dan Maitara yang hijau, seperti yang ada pada uang seribu rupiah dalam genggamanku.
Dalam perjalanan keliling pulau, sangat mudah ditemukan buah pala yang dijemur di tepi jalan. Menurut penduduknya, setiap pagi mereka memetik buah pala dari kebun di pegunungan sana, untuk kemudian dijemur untuk mengurangi kadar airnya. Karena tak banyak kendaraaan yang berlalu lalang di jalan utama Tidore, maka penduduk tak merasa cemas untuk meninggalkan hasil buminya itu di jalan. Benar saja, selama beberapa menit berlalu memang tak ada mobil yang lewat, hanya ada 1-2 motor berlalu dengan santai, seperti perjalananku dengan ojek carteran siang itu.

Dua tempat yang menjadi tujuanku hari itu adalah Benteng Tahula dan Benteng Torre. Peninggalan zaman penjajahan ini adalah salah satu penanda perdagangan rempah di masa lalu. Usai melintasi garis pantai yang begitu panjang dan biru, untuk mencapai Benteng Tahula harus mendaki ratusan anak tangga hingga puncaknya. Benar saja, di atas sana terlihat jelas seluruh kota Sia Sio juga sebagian lekuk Pulau Tidore. Benteng ini menjadi saksi ribuan pelayaran setiap harinya keluar masuk Pulau Tidore, bukan hanya angkutan rempah, namun juga pelayaran rakyat penghubung antar pulau-pulau di Maluku Utara. Sebagai salah satu titik transit menuju pulau Batchian (sekarang Bacan), Tidore menjadi titik strategis terhadap jalur pelayaran.
Menurut salah satu sumber sejarah, perdagangan Tidore yang dikuasai Spanyol di bawah Gubernur Cristobal de Azcqueta Menchacha (1610-1612) pada awal masa jabatannya memerintahkan pembangunan benteng di Tidore yang dinamai Santiago de los Caballeros de Tidore. Namun pembangunan benteng ini baru selesai di tahun 1615 di masa pemerintahan Gubernur Spanyol Don Geronimo de Silva (1612-1617), dan mengubah namanya menjadi Sanctiago Caualleros de los de la de ysla Tidore. Menjadi basis militer Spanyol hingga tahun 1662, garnisunnya terdiri dari 50 orang tentara yang dikomandani seorang kapten lengkap dengan artilerinya untuk mengawasi perairan antara Ternate dan Tidore.



Benteng Torre, yang tak jauh dari Benteng Tahula tidak berada di tepian laut, melainkan agak di belakang bangunan Kesultanan Tidore. Benteng yang dibangun tahun 1579 oleh Portugis atas perintah Sacho de Vasconcelos ini kemungkinan diadakan untuk mengawasi area istana yang bisa dilihat dalam selayang pandang dari situ. Nama Torre kemungkinan besar berhubungan dengan Kapten Portugis saat itu Hernando De La Torre.
Sebagian kawasan benteng Torre ini sudah runtuh, hanya dinding keliling bagian depan saja yang masih berdiri. Diduga ini akibat gempa yang seringkali terjadi di masa lalu, karena Pulau Tidore ini memang berdiri di atas jalurnya. Tumpukan bebatuan muntahan dari gunung masih ada di sekitar benteng yang berada di ketinggian ini. Pemugaran kawasan benteng ini beberapa waktu yang lalu menemukan bahwa dinding sisi Barat Laut harus direkonstruksi sebagian karena struktur penahan dinding tersebut terputus dan tidak ditemukan adanya struktur di area sekitarnya setelah dilakukan penggalian.




Karena waktu kunjunganku ke Tidore sewaktu itu cukup pendek, maka aku tak sempat mencapai Kampung Kalaodi di bagian utara Tidore, yang disebut sebagai kampung ekologi pelindung Tidore. Menurut sumber yang kubaca, kampung ini dikenal sebagai penghasil cengkih ditandai dengan pohon-pohonnya yang menjulang dengan petani yang bergelantungan memanen cengkih. Karena letaknya di ketinggian, harus ditempuh dengan motor dengan jurang yang menganga di kanan dan kiri. Dari kampungnya bisa memandang kota Tidore dan Pulau Halmahera di timur, atau Pulau Maitara dan Pulau Ternate di sebelah barat.
Kebun-kebun di kampung Kalaodi yang termasuk dalam kawasan hutan lindung Tagafura ini ditanam dengan memuliakan alam. Setiap jenis tanaman tumbuh pada siklus waktunya, tanpa keserakahan untuk mendapatkan hasil yang lebih berlimpah. Komoditas perkebunan ini adalalah pala, cengkeh, kayumanis, dan durian.



Dalam menjaga alam, warga Kalaodi memiliki budaya dan tradisi ketat yang jika dilanggar dipercayai akan mencelakai mereka. Tradisi yang dinamakan bobeto itu merupakan sumpah turun temurun, sehingga apabila merusak alam akan dianggap melanggar adat dan aturan, dan bisa berdampak negatif. Bobeto bermakna janji tak berbuat jahat, jujur, dan selalu menjaga alam. Selain itu warga Kalaodi juga memiliki ritual ucap syukur usai panen yaitu paca goya dengan istirahat selama tiga hari menyepi dari urusan keduniaan.
Hutan lindung Tagafura dan Kampung Kalaodi kaya dengan tanaman-tanaman produktif seperti cengkih dan pala. Sebagian besar penghasilan utama warga dari bertanam dua komoditas ini. Maka tak heran di sepanjang jalan petani menjemur hasil panennya yang menguarkan aroma harum yang menjadi khas. Di sela-sela tanaman rempah itu, warga juga menanam kenari, kayumanis dan pinang. Selain itu warga juga menanam bambu untuk bahan bangunan rumah, juga sebagai pelindung tebing dan lahan. Beberapa kerajinan dari bambu juga dihasilkan di sini, seperti saloi semacam keranjang ibu-ibu ketika ke kebun ataupun tolu sejenis topi lebar pelindung kepala dari hujan dan panas.

Di sisi utara dan barat laut Tidore juga mudah ditemukan rerimbun pohon pala dan cengkeh di tepi jalan. Usai berkeliling tepian pulaunya selama empat jam, sempatkan berhenti sejenak, mengambil buah pala seukuran jempol langsung dari pohonnya. Angin yang berkesiur pun membuat daun-daunannya gemerisik dari ujung-ujung batang yang tinggi.


Satu hari memang tidak cukup menikmati Tidore. Pantai yang ramah, orang-orang yang bersahabat, sejarah yang mengembalikan ingatan rempah. Menulisnya membuatku ingin kembali.
Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog Visit Tidore Island untuk memeriahkan Ulang Tahun Tidore ke 909 dengan syarat dan ketentuan dalam tautan.
Daftar literatur:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbmalut/2015/07/03/zonasi-benteng-tahula/
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbmalut/2014/06/10/pemugaran-benteng-torre-tidore/
http://www.mongabay.co.id/2016/10/02/mengenal-kalaodi-kampung-ekologi-pelindung-tidore/
Keren beud. Klo menang ajakin ya…bentengny kyk greatwall
wishlist sejak zaman dahulu kala euuyy..
Jangan heran kalau Belanda ingin menguasai Tidore & Ternate
sampai sekarang pun masih jadi pulau rempah
Wihh kerenn. Semoga menang ya mbak
amiinn, pulaunya memang indah
Tidore jadi rebutan Spanyol dan Portugis wajar ya soalnya selain kaya rempah juga cantik sekali pulaunya
Bener, biru lautnya itu mengharukan banget..
Wah cengkehnya banyak banget. Di tempatku juga ada cengkeh, tapi jarang
dulu waktu kecil aku pun suka main di kebon cengkeh. wangi sekelilingnya. terus harga cengkeh dimainin BPPC, lalu pamanku sepertinya mengubah kebunnya jadi yang lain..
[…] visit tidore island – rempah bersejarah […]