Life starts from a white hole and ends in a black hole.
― Santosh Kalwar
Mana yang lebih dulu ada? Keratonnya atau pasarnya? Pasti pemikiran itu muncul ketika mencari posisi Keraton Kanoman. Sejak aku lahir di Cirebon, belum pernah aku sampai ke Keraton ini, selain hanya kudengar lewat nama saja. Kanoman, di keluarga kami, hanyalah nama pasar yang berada di sebelah timur kota. Bukan pasar kering yang cantik, namun pasar benaran, seperti pasar-pasar yang umum ada di Pulau Jawa, lembab, becek, dan padat. Tidak ada bedanya dengan Pasar Pagi yang berada di dekat rumah kami.
Jadi selepas dari Keraton Kasepuhan, aku berjalan kaki ke arah Keraton Kanoman. “Lurus saja jalan ini, neng. Nanti ada jalan masuk di pasar, dilewati, nanti ketemu keratonnya,” kata mamang tukang tahu di ujung jalan Kasepuhan itu. Sambil berjalan di trotoar yang tidak terlalu bersih dan menguarkan bau amis itu (karena Cirebon kota Udang, kuterima saja aroma itu tanpa merasa terganggu), setelah lima belas menit aku menemukan pasarnya. Dan, jalan yang tadi disebutkan oleh tukang tahu itu ternyata cukup lebar, dengan gerbang besar bertuliskan : Pasar Kanoman. Lha?
Jadi interpretasiku begini, di zaman dahulu, seperti pola ruang publik pada umumnya, di depan keraton pasti ada tanah lapang yang dilalui oleh warga sebagai pusat keramaian. Di sisi luar tanah lapang ini mulai ada kegiatan niaga, sehingga dibuatkan tempat berjual beli, yaitu pasar. Tempat yang tadinya hanya ramai setiap pekan ini lama kelamaan ramai sepanjang hari, hingga menjadi permanen di pemerintahan sekarang. Imbasnya, keramaian pasar perlahan-lahan menyembunyikan bangunan keraton yang didominasi warna putih.
Dan ternyata, aku jatuh cinta pada keraton putih yang cantik dan anggun ini.

Setelah melalui pendopo kosong di sisi kiri, mata tertumbuk pada satu kompleks bangunan berwarna putih yang langsung bisa dikenali sebagai Siti Hinggil. Polanya sama persis dengan Kasepuhan, hanya saja semuanya berwarna putih dengan hiasan keramik-keramik Cina berwarna putih yang ditempel teratur. Bentuk gerbangnya juga sama seperti Candi Bentar, tinggi dinding keliling juga sama. Sepertinya, pewarnaan putih ini mengikuti warna pada bagian dalam Keraton Kasepuhan yang mendapat pengaruh Eropa.
Bangunan yang ada di sini ada beberapa buah, namun semua tiang-tiangnya permanen dari batu, bukan kayu-kayu langsing. Relung-relung lengkung seperti pengaruh dari Arab yang memang populasi keturunannya cukup banyak di sini. Bangunan utama yang berdinding tebal berada di pusat Siti Hinggil dan ditempeli banyak piring-piring kecil. Satu bangunan terbuka panjang terletak di tepi menemani bangunan utama tadi. Di sisi luar, terdapat gerbang besar segiempat dengan laluan lengkung, persis seperti yang ada di Kasepuhan. Bedanya, warnanya putih.
Di sini tenang. Rasanya jauh dari hiruk pikuk pasar tadi.







Pendiri Keraton Kanoman pada tahun 1678 M memang bersaudara dengan Kasepuhan. Jika ‘Sepuh’ berarti lebih tua, maka ‘Anom’ berarti lebih muda, merujuk pada Pangeran Raja Kartawijaya atau Pangeran Mohamad Badrudin pendiri keraton ini yang bergelar Sultan Anom I, adik dari Pangeran Raja Martawijaya, penguasa Kasepuhan. Tak heran, ornamen-ornamennya begitu mirip, hanya dalam beberapa prinsip terlihat identitas ikonik Kanoman yang memang berbeda dengan sesepuhnya.
Dinding benteng besar menghalangi Siti Hinggil dengan area istana dan tinggalnya raja-raja. Masuk dari lengkungan kecil, di dalam pekarangannya jamak terlihat anak-anak bermain. Sepertinya keluarga keraton sedang bercengkrama di halaman ini. Hm, kok seperti tamu masuk tanpa permisi begini? Ah, tapi tempat ini obyek wisata, kan? Atau ini tempat tinggal raja yang semestinya tak boleh seenaknya masuk? Bagaimana tidak ragu, tak satu pun menghampiri menawarkan jasa pemandu.


Gara-gara tak ada petunjuk, aku tidak tahu bangunan apa di satu sudut yang unik. Kalau dilihat bentuknya, seperti gereja atau kapel mini, apalagi ditambah dengan lonceng besi yang digantung di atas. Namun di belakangnya ada satu pendopo besar yang mungkin pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan.

Ternyata, kalau datang sore-sore ada kemungkinan bertemu dengan penjaga keraton yang menawarkan untuk mengantar berkeliling pendopo utama. Bangunan ini didominasi dengan warna biru langit, kontras dengan lantainya yang berwarna kuning cerah. Bangku-bangku untuk menerima tamu dipasang berderet hingga ujungnya kursi raja dengan panji-panji di belakangnya. Tirai-tirai berwarna keemasan menggantung di jendela.
Di balik pendopo itu terdapat ruangan tertutup yang di berisi berbagai perabot antik. Selain singgasana berwarna keemasan, backdrop berupa batu-batu karang ini juga dilapis warna emas. Yang menarik, ada dipan polos dengan warna kayu terletak di balik kursi. Dipan yang kupikir untuk istirahat raja ini ternyata berfungsi untuk menyemayamkan jenazah keluarga keraton yang mangkat. Iya, untuk ‘istirahat’ juga, sih.





Ternyata, halaman area keraton Kanoman ini masih luas sampai belakang. Di samping pendopo tadi, ada satu bangunan yang ramai anak-anak dan keluarganya, yang kupikir mereka adalah keluarga keraton. Jangan dibayangkan bahwa mereka menggunakan pakaian kebaya adat seperti di dongeng-dongeng, ya. Pakaiannya sama saja seperti kita, baju sehari-hari untuk di rumah.

Seperti pola di Kasepuhan juga, di bagian belakang terdapat petilasan tempat bertapa dan juga taman batu karang! Wuih, membuatku makin penasaran dengan batu karang ini. Lokasinya sih tidak terlalu besar dan sudah tidak digunakan juga, sehingga tampak suram dan sepi. Sayang sekali, padahal bisa ada cerita menarik di sini di tengah riuhnya politik internal di dalam keraton.


Untungnya Keraton ini cukup dekat pasar, sehingga keluar dari sini bisa mencari oleh-oleh aneka penganan kripik dan rengginang di kios-kios yang berada di bagian depan. Jika pada sore hari aktivitas pasar basah sudah mulai berkurang, untuk pasar keringnya masih melayani jual beli. Lumayanlah untuk membeli ikan asin untuk teman makan di ibukota. Ikan jambal roti yang diasinkan dari Cirebon, enak lho.
Tak perlu sulit juga untuk mencari kendaraan keluar dari area Kanoman ini. Menggunakan becak adalah salah satu pilihan, selain menghidupi masyarakat lokal, juga bisa menikmati kota dengan lambat, menyusuri kenangan toko-toko tepi jalan yang sudah kulihat sewaktu aku masih kecil dulu.
tentang keraton-keraton lain di Cirebon :
keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana.
keraton kacirebonan, ingatan muda sejarah keluarga.
cerita-cerita Cirebon :
cirebon : mudik dan perut yang manja
solo traveling at cirebon | bersendiri di kota udang
[…] tentang keraton-keraton lain di Cirebon : keraton Kanoman, tetap putih di tengah keramaian. keraton Kacirebonan, ingatan muda sejarah keluarga. cerita-cerita Cirebon : cirebon : mudik dan […]
Cirebon memang kota pelabuhan yang padanya terdapat banyak budaya yang teradon menjadi satu. Ada Eropa, Tionghoa, Arab, dan tentunya tak lupa asli Cirebon sendiri, yang ada juga peralihan Jawa dan Sunda di dalamnya. Semarak!
Dan yang identik dari serial Cirebon kali ini adalah batu karang… kenapa batu karang itu ada di tempat seperti itu? Apa Cirebon dekat dengan aliran sungai sehingga makin ke sini garis pantai makin maju ke laut, seperti halnya Jakarta yang dalam rentang waktu 1522 sampai sekarang garis pantainya sudah maju banget, Mbak?
Hee, keluarga keraton juga manusia seperti kita ya Mbak… *ya iyalah Gar, memangnya kau kira dia bukan manusia, gitu?* :haha.
nah, itu Gar. Nggak ada aliran sungai yang lewat di Cirebon. gunung pun hanya Ciremai. Landas kontinen pantai utara Jawa, tak banyak mengandung batu karang. Apa mungkin ada penguasa laut di jarak kedalaman yang agak jauh?
Nanti ada cerita karang yang lebih banyak lagi… 😉
Saya mencium Gua Sunyaragi… :hehe.
Seru juga keliling keraton, mbak 🙂
Seru, asal diseling wiskul?
Benar juga, mbak. Kan biasanya berhubungan erat antara main dengan kulineran 😀
wah cakep ya pas aku kesana yang ini malah penuh pasar
Kalau sedang sepi dan bersih emang enak dikunjungi..m
Tempatnya menarik sekali dan masih dijaga dengan baik ya kebersihannya. Gedung warna putih itu tentunya ada perawatan extra krn lbh gampang kotor. Yg bertanggung jawab membersihkan siapa? Oh ya berarti tempatnya aman ya. kamu bisa leluasa masuk ke dalam padahal di tembok keraton banyak menempel piring2 kuno dan gak ada yg nyolong. Hahaaha
Kalau piring-piring kuno itu kan diambilnya harus diketrik dulu. Bisa2 ketahuan kalau lama pengerjaannya.. Hehe.
Aku masih gak paham kak sama Siti Hinggil. Siti Hinggil itu tempat apa ya hehe ? Nama tempat tinggal para Keluarga keraton kah. Batu karang itu apa sudah ada dari dulunya atau buatan
siti hinggil itu area di depan keraton, artinya tanah yang ditinggikan. jadi ada bangunan-bangunan di atas pelataran yang lebih tinggi itu, tempat raja melihat langsung ke arah alun-alun di depannya.. 🙂
Oalaah itu toh artinya 😀
aku belum jadi2 juga ke cirebon, padahal pengen banget
[…] tentang keraton-keraton lain di Cirebon : keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana. keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian […]
[…] keraton-keraton di Cirebon : keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana. keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian. keraton kacirebonan, ingatan muda sejarah […]
[…] KERATON KANOMAN Sesuai dengan namanya, Keraton Kanoman ini berarti ‘Muda’ atau ‘Anom’. Letaknya tidak terlalu jauh dari Keraton Kasepuhan, hanya satu kilometer saja, dan masih terjangkau sambil naik becak. Di sinilah tukang becak benar-benar berfungsi sebagai pemandu, karena Keraton ini letaknya di belakang pasar! Jika sendirian dan tidak rajin bertanya kanan kiri, niscaya akan terlewatkan. […]
[…] keraton-keraton di Cirebon : keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana. keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian. keraton kacirebonan, ingatan muda sejarah […]
wah .. ceritanya lengkap … jadi terbayang jelas suasana di keraton sana …
kenapa ya .. selalu ada batu karang … apa filosofi-nya … ? #kepoo
batu karang sebagai penanda penguasa laut.. (kayaknya sih)
[…] traveling at cirebon : bersendiri di kota udang keraton kasepuhan : penanda masa cakrabuana keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian keraton kacirebonan : ingatan muda sejarah keluarga tamansari goa sunyaragi, persinggahan sepi […]