
Apa sih yang dibutuhkan orang kota? Apa iya orang-orang kota itu selalu membutuhkan mal? Tidak selalu. Mereka membutuhkan ruang gerak, ruang bernapas, berolah raga, eksistensi diri.
Halaman museum ini salah satu jawabannya. Walaupun museumnya tutup, aktivitas di lapangannya tetap semarak. Museum Fatahillah di kawasan Kota, Jakarta. Hanya selemparan batu dari Stasiun Jakarta Kota maupun halte busway Kota, suasana ramai seperti taman. Perkerasan yang dikelilingi oleh beberapa museum ini, Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik, sama sekali tidak bisa dibilang sepi. Ratusan orang tumpah ruah di sana.
Pernah suatu siang aku ke sana di hari libur. Aku terkejut, ternyata minat remaja sekarang ke museum sangat tinggi. Dilihat dari antrian di depan loket Museum Fatahillah yang banyak dikunjungi berombongan. Tampak juga sekelompok remaja dengan dandanan seperti mau ke mal, sebenarnya aku meragukan bahwa mereka akan studi sejarah di sini, karena lebih banyak kegiatan foto-fotonya.
Hiburan di sini murah, jelas. Ruang terbuka. Gratis masuknya dan hanya memanjakan mata. Terkadang berpikir, seperti inikah plaza di Eropa? Banyak orang berkumpul dan menikmati senja? Tidak seramai pasar malam yang berjualan aneka barang? Paling banyak adalah orang berjualan gelang. Gelang lilit warna warni. Ada juga pelukis tato temporer. Di samping banyak tukang jual minuman, dengan gerobak standar yang sama dengan di tempat-tempat lain.
Plaza dengan batu candi hitam sebagai penutup lantainya sangat ramai. Tenda-tenda bekas festival masih ada. Ini bukan pasar malam. Tempat ini pun tidak memusat. Bukan tengah orientasinya, tapi melihat ke pelataran teras museum fatahillah. Dari situ bisa memandang ke Cafe Batavia dan Gedung Pos.
Satu yang kutemukan di sini bahwa ada magnet yang menjadi pusat keramaian. Seperti terlempar ke masa dulu. Pandangan ke Museum Fatahillah ditinggalkan, dan melihat ke teriakan yang ramai dilingkari pengunjung. Keramaian pertama. Tukang obat? pikirku.

Ah, benar, itu tukang obat. Aku hampir tidak percaya melihatnya. Hari begini masih ada tukang obat? Bukan di pasar pula? Tukang obat itu dikelilingi pengunjung dengan diameter lebih kurang 10 m. Cukup banyak, dan unik menurutku. Beberapa bule yang melintas juga menonton tukang obat itu yang beraksi dengan suara keras dari mikrofon. Orang-orang sampai berlapis 3-4 melihatnya. Entah hanya sekadar ingin tahu saja atau benar-benar butuh bantuan orang ini. Dulu kabarnya, kalau tukang obat beraksi, anak buahnya selalu berada di antara penonton, sambil ikut bersandiwara berpura-pura jadi pasien mendadak. Sehingga aksi si tukang obat untuk mengobati pasien berhasil. Setelah ini, orang-orang yang tak tahu apa-apa memborong obatnya karena takut penyakitnya, baik yang sedang menderita atau belum untuk persediaan.
Selain tukang obat, ada kelompok pecut dari banten. Mereka bergantian mengayunkan pecutnya dengan suara menggelegar diiringi suara perkusi. Ada beberapa juga yang menari topeng. Setelah beberapa pemain, ada yang mengedarkan kantong mencari recehan dari penonton.

Beberapa makanan khas juga dijual di sini. Kerak telor betawi juga ada. Pedagang makanan bertebaran di pinggir-pinggir. Yang nampak sangat kasat mata adalah penyewaan sepeda. Kalau banyak yang bilang sepeda onthel, bagiku malah aneh. Bukannya semua sepeda (saja) memang di-onthel (dikayuh). Lain halnya dengan (sepeda) motor. Rupanya istilah onthel menjadi generik untuk sepeda tua ini. Kalau jamanku di rumah eyang dulu, namanya sepeda kebo.
Pembatas area terbuka ini dengan area luar dengan satu elemen unik. Bola-bola batu. Andesit hitam berdiameter 40-50 cm ini berjejeran di tepian taman. Sebagai pembatas supaya motor tidak memasuki area. Mungkin ada beberapa yang iseng menggulirkannya. Tapi rasanya tidak ada yang berani mengangkatnya dengan tangan kosong. Sambil melirik meriam yang berada di depan museum Fatahillah, ini bukan bola meriam kan? Ukurannya terlalu besar untuk bola meriam. Dan ternyata ia sangat dinamis. Tak terpatok. Kalau berdiri di atasnya, akan terasa goyangannya siap membuatmu terpelanting kalau tak seimbang.

Daasad Musin Building, yang menjadi setting novel Rahasia Meede ini, ternyata dalamnya dijadikan gudang dan area biliar. Terlihat lusuh tak berdaya menghadapi ancaman bangunan minimalis. Sayang sekali, peninggalan secantik ini hanya untuk dijadikan reruntuhan tontonan dan latar belakang foto senja berwarna sephia. Seandainya ia jadi culture center atau perpustakaan dengan cafe, akankah ada pemodalnya? Pengunjungnya sudah pasti ada. Khalayak ramai ini yang memadati taman setiap hari libur. Entah siapa, entah kapan, apakah hanya menunggu hingga lapuk menggerogoti?
Untunglah, di sebelahnya bangunan kantor pos yang terawat dengan baik. Catnya bersih dan terlihat ia difungsikan sehari-hari. Sebagai penyambung tangan untuk banyak dokumen, kepercayaan jelas menjadi modal utama. Karena itu, di salah satu truknya, jelas tercantum seperti kita lihat di ponsel berbahasa Indonesia.
PESAN TERKIRIM.
KRL, manggarai-depokbaru, texting on shaking train..
2010.06.17. 18.40-17.25
Ideas kita ternyata banyak yang sama ya.