Seperti manusia, setiap individu orangutan memiliki kepribadian unik. Orangutan punya kompleksitas dan kerentanan emosi seperti manusia. Mereka juga bisamenunjukkan trauma, gangguan jiwa, juga afeksi terhadap yang dicinta. Itu yang selalu diceritakan orang-orang di sini tentang orangutan, dan meskipun baru empat hari melihat langsung, aku melihat kebenarannya.
Dewi ‘Dee’ Lestari – Supernova : Partikel
Apa sih yang dipikirkan Zarah Amala ketika ia melintasi jalur kayu di Camp Leakey ini? Pasti ia tidak berpikir apa-apa, masih menghitungnya sebagai pengalaman baru. Sepertiku, yang berjalan dengan santai, sambil menengok kaki-kaki kayu adakah orangutan di sana sedang bergelantungan?
Dan di ujung jalur kayu itu. Ada.



Siswi, seorang betina dominan duduk dengan santai di pertengahan jalan. Beberapa orang mengerumuninya namun tetap menjaga jarak. Sorot matanya teduh dan keibuan. Sepertinya Siswi sudah beberapa kali punya anak yang sudah mandiri. Umurnya saja sudah 40 tahun.
Mungkin sudah sejak diselamatkan Siswi berada di sini. Karena kasih sayang yang diterimanya, pasti ia begitu menganggap bahwa kompleks ini adalah rumahnya. Camp Leakey ini, yang didirikan Birute Mary Galdiknas secara sederhana tahun 1971 dan kemudian berkembang menjadi seperti sekarang, begitu saja menjadi kediamannya, tempat ia merasa aman dan mendapat apa yang dibutuhkan.
Orangutan betina mengandung selama 9 bulan, dan membesarkan anak dalam pelukannya sepanjang 6-8 tahun. Lihat sebelumnya, anak orangutan begitu dekat dengan ibunya. Karena itu, orangutan baru bisa punya anak lagi setelah asuhannya lepas.
Ada lagi cerita Tom, jantan dominan di kawasan ini. Alkisah dulu ada seekor jantan yang menguasai tempat ini hingga Tom datang. Berantem memperebutkan wilayah, si kalah pergi meninggalkan area, masuk ke hutan. Tinggallah Tom yang kadang sering ditemui di sekitar camp. pejantan yang menjadi penguasa.
Begitu hukum rimba berlaku, yang terkuat lebih menang.


Aku mengayunkan kaki ke sudut di mana terdapat satu bangunan yang kayu. Di dalamnya terdapat banyak informasi tentang orangutan. Bahkan aku bisa mendapatkan silsilah Siswi, yang kutemui di persimpangan tadi. Berturut-turut di garis keturunannya dinamai dengan huruf awal ‘S’. Hm, semoga tidak berkembang menjadi sulit.
Masih di jalanan yang tadi, Siswi dikerubuti beberapa orang yang ingin tahu dirinya lebih dekat. Petugas khawatir, apakah ia merasa nyaman? Kerumunan semakin banyak, dan aku pun tak ketinggalan ikut mengamatinya.
Tiba-tiba GRAP! Siswi meraih tangan salah satu turis bule. Hwaaa, kami kocar-kacir bertemperasan melihat kejadian itu. Jagawana langsung bersiap, melepaskan tangan Siswi dari bule tadi. Deg-degan dibuatnya. Ya, berat Siswi mungkin tiga kali lipat badanku, bisa jadi ia sanggup menggendongku kalau ada kesempatan.
Mungkin ia hanya ingin berkenalan. Menyapa setiap orang yang datang ke rumahnya. Tidak sekadar dijadikan tontonan.

Hutan hujan tropis kembali memanggil-manggil untuk dijelajahi, dalam jalan tapak yang cukup untuk berjalan bersisian. Di tempat ini, selalu datang orangutan untuk diselamatkan. Ada ruang tersembunyi untuk mereka yang masih trauma, belum percaya lagi pada manusia. Ada ruang transisi untuk yang mengenal hutan kembali, dan ada batas menuju alam luas tempat mereka seharusnya hidup.
Selama manusia berpikir bahwa orangutan adalah hama, sejauh itu pula selalu ada upaya untuk memburu dan memutus tali generasinya. Padahal jika ia diperlakukan sama, habitatnya tidak diusik, tentu ia tidak akan merusak area manusia. Demikian kodrat hewan, bukan seperti manusia yang serakah ingin segala-galanya lahan. Dengan tetap menjaga hutan, maka habitat orangutan akan tetap terjaga, dan berdampingan dengan manusia tenang di tempatnya masing-masing.
Sst, berhenti. Ari diam dan menunjuk atas perlahan. Ada orang hutan betina di pucuk sana. Tangannya memeluk batang pohon erat. Ini baru beberapa langkah keluar dari area rehabilitasi, dan mamalia besar itu seperti dekat. Ia merasa nyaman di sana, tak tahu ada tiga manusia di bawah yang penuh rasa ingin tahu, menunggunya turun.
Tanpa menarik perhatian orangutan yang di pucuk pohon, kami terus menuju feeding ground tempat orangutan itu mendapat jatah makanannya. Ternyata yang lebih dulu muncul adalah babi hutan yang berarak-arak mencari remah makanan di bawah feeding table. Seperti pemain pembuka dalam satu pertunjukan, para babi hutan ini sepertinya sadar kedatangan mereka hanyalah selingan. Di satu pohon, seekor owa mengamati makanan dengan iri, seperti menunggu giliran untuk menyikat sisa makanan orangutan.




Satu per satu orangutan datang. Saat melihat ada babi hutan di tanah, mereka berusaha mencari celah dan jarak aman untuk melalui tanah menuju feeding table. Orangutan datang dari berbagai arah. Ada yang dari pohon kejauhan bergelantungan pada dahan hingga tiba di hadapan kami. Ada yang tahu-tahu muncul dari gerumbul di sisi kanan. Bahkan ada yang tiba-tiba turun dari pohon yang sedang disenderi Putri.
Di sini, yang merupakan titik awal perawatan orangutan, di mana mereka yang terluka baik badan maupun hatinya direhabilitasi, ditenangkan, dibuat serasa ‘rumah’, dipertemukan lagi dengan kelompok baru, memulai lagi mencari teman. Raut wajahnya kadang terlihat sedih dan pasrah, membuat iba yang melihatnya. Mungkin mereka berpikir akan masa lalu yang lebih indah, ketika hutan-hutan belum dijadikan jajahan manusia, dan mereka masih bebas bermain. Atau mereka teringat pada masa-masa mereka dikurung dan dijadikan bahan kebanggan.
Lalu kita ini, manusia. Yang ikut menonton aktivitas orangutan seperti seorang penakluk.
Dan cuma bisa berdoa semoga mereka bisa cepat pulih dari traumanya.
Orangutan berangsur-angsur kembali ke hutannya, beradaptasi lagi dan bertahan untuk hidup, merentangkan tangannya selebar-lebarnya. Bergelantungan, berayun dari satu dahan ke dahan lainnya, berputar-putar, jungkir balik apa pun yang mereka mau. Mencumbu pucuk-pucuk dedaunan, menjadi sebebas-bebasnya yang mereka mau. Menjauh dari manusia, atau tetap berteman.
Tetap berteman, jangan lepaskan.
Begitu kami berjalan menyusuri lagi jembatan kayu yang panjang itu, dan Siswi ikut. Orangutan yang sudah berumur 40 tahun itu memutuskan mengikuti kami yang sudah pamit hendak pulang. Ia berjalan santai di jalur yang hanya selebar satu meter itu. Tak seorang pun berani menyalip jalannya yang terseret-seret pelan.
Siswi berhenti. Lalu semua yang ada di belakangnya berhenti. Yang di depannya, yang tadinya ia ikuti pun berhenti. Menunggu apa yang selanjutnya akan ia lakukan. Seseorang berseru, Siswi ayo jalan terus! Ia bergeming. Ia hanya duduk diam dengan malas sementara kami semakin mendekat. Tiba-tiba Siswi berbalik arah! Kami yang di belakangnya kontan panik. Ia memeluk satu kaki pria bule yang sudah agak tua. Pria itu kaget sementara kami menjerit-jerit. Pemandu tak hilang akal, digandengnya Siswi untuk melepaskan cengkeramannya. Dengan halus diajaknya bicara sehingga Siswi meneruskan perjalanannya terus ke dermaga.
Siswi mau mandi.
Ia turun ke bawah dermaga dan mencelupkan badannya. Oh, rupanya udara panas sekali hari ini, sampai-sampai Siswi memutuskan untuk mendinginkan badan sejenak. Air itam membasahi rambut-rambut coklatnya.
Ketika kami semua naik ke kapal, raut wajahnya tampak sedih, seperti tak rela ditinggal. Seperti ia kehilangan teman-teman bermainnya. Seperti ia cuma hendak berkata bahwa ia tak berniat menakuti, melainkan cuma bercanda saja. Seperti ia sendirian karena teman-temannya sudah kembali ke hutan, dan ia tetap merasa nyaman di sini. Seperti ia merindukan seseorangutan.
Mungkinkah Zarah Amala mendapat pandangan ‘jangan tinggalkan aku’ seperti ini juga?
Air Itam mengiringi perjalanan kembali lagi ke Kumai. Sekonyer Kanan nama jalur percabangan ini, panjangnya hanya 3-4 km namun hampir keseluruhan airnya berwarna hitam seperti teh yang pekat. Warna hitam ini akibat zat tanin dari pohon dan humus tanah gambut di sekitarnya. Biru langit, awan berarak, dan pepohonan menjadi kontras ditambah dengan keheningan alami yang muncul perlahan. Dari deretan tanaman rawa, terus masuk tengah hutan sedikit demi sedikit. Rasanya, waktu seperti berjalan lambat sekali di sini, seperti gerbang masuk ke dimensi lain.





Di ujungnya, berbatasan dengan Sekonyer Kiri yang rusak dan menangis, ketika warna hitam bercampur dengan kecoklatan lagi, keruh akibat daerah yang pernah tidak menghargai. Terus, meninggalkan hutan-hutan yang harus menjadi lebih rapat, dedaunan yang harus lebih hijau, burung-burung, (mungkin) buaya, biawak dan semua mamalia itu, orangutan, bekantan, owa. Terima kasih sudah menjadi tuan rumah kami.


trip 14-17 Mei 2015 oleh tourtanjungputing.com
kenapa kepengen ke tanjung puting? sebuah mimpi dari partikel supernova
penghentian pertama : tanjung puting, lintas alam demi orangutan
penghentian kedua : pondok tanggui, cerita tanjung puting dan tapak hijau
Seru rasanya bisa melihat orang utan di habitat alisnya, semoga tidak terjajah oleh pemukiman warga dan lainnya.
orang utan di sini yang masih masa rehabilitasi, semoga mereka bisa kembali ke hutannya, dan semoga hutannya masih ada, yaa..
Waaaaaaah seru yaaaa…
Btw, kok pada takut sama orangutannya sih mbak? Emangnya galak gitu? Gigit? Atau parno doang? Hehe
Soalnya badannya gede, mungkin gigit juga. Kan nggak tahu cara berkomunikasi sama mereka, jadi nggak tahu suasana hatinya bagaimana. Coba berhati-hati saja..
jadi makin mupeng ke tanjung puting nih~~ kalian nggak ada rencana bikin trip kesana episode ke dua? *nanti aku ikutan*
Kamu bikin aja sama geng Asia Got Talent ituuhhh :p
Saya tak tahu kenapa, tapi membaca ini rasanya agak terharu. Dirimu memang pandai sekali memainkan kata dan tanpa saya sadari, saya sudah tiba di penghujung cerita. Ingin rasanya bertandang langsung ke rumah orang utan itu, kemudian mengulurkan tangannya, menggandengnya, mengajaknya berjalan-jalan dan sembari dia mandi, mungkin saya bisa duduk di tepi jembatan sambil mengayunkan kaki :haha. Ibarat kata, kita datang ke rumahnya, dengan semua penghuni yang ada di sana, orang utan, owa, babi hutan, bahkan pepohonan tinggi itu, jadi kita mesti menghormatinya :hehe. Semoga mereka semua sehat selalu ya, Mbak. Perjalanan ini sangat menyentuh :)).
Aku berkaca-kaca sewaktu menulisnya lagi. Raut muka Siswi ketika kami meninggalkannya begitu menyentuh. Afeksi mereka begitu nyata, ingin dijadikan teman dan haus kasih sayang. Ah, mereka kan makhluk hidup yang sama dengan kita, jadi harus sama-sama dihormati…
Owh, bahkan binatang pun sebenarnya punya perasaan, jika saja kita cukup peka dan berkenan merasakan apa yang mereka rasakan :)).
wah, melihat mereka bergelantungan begitu menyenangkan sekali, ya.
aku liat orang utan baru di bukit lawang karena dulu masih kecil sering ke sana.
tapi, miris banget karena kemarin itu nyebar foto orang utan yang dibakar sama pembalak hutan atau apalah itu. sediiiih. :((
nama lokasinya agak sedikit porno, tapi kayaknya asik banget buat adventure nih ya :DD
banget! sangat direkomendasikan untuk keluarga.
[…] Indri Juwono – Berburu kasih sayang di Camp Leakey, Tanjung Puting […]