terminal : titik silang ganti yang gagal di depok

terminal1

Cab Driver: Where you wanna go?
Viktor Navorski: I am going home.
~ The Terminal [movie-2004]

Dulu, tahun 2002, ketika aku masih rutin sebagai pengguna bis Patas AC 84, hampir setiap hari aku memasuki Terminal Depok. Ketika itu, terminal Depok dibagi menjadi dua, bagian depan dan belakang. Bagian depan untuk tujuan antarkota, bagian belakang untuk tujuan dalam kota. Karena Depok bukan bagian dari Jakarta, maka berbagai bis dari beberapa tujuan terminal di Jakarta akan memasuki terminal Depok di bagian depan. Penumpang yang sampai terminal Depok bisa turun di pelataran terminal kemudian berjalan kaki ke terminal belakang untuk naik kendaraan umum dalam kota Depok ke tempat tujuannya.

Kendaraan umum ini yang biasa disebut angkot, akan keluar melalui pintu terminal yang sebelah utara. Di sini sering terjadi titik macet yang luar biasa. Rute-rute angkot ke arah Depok bagian timur akan berbelok kanan memotong jalur jalan Arif Rahman Hakim untuk menuju persimpangan Ramanda. Sedangkan rute-rute angkot yang ke arah Depok bagian Barat akan berbelok kiri dan langsung dihadang oleh persimpangan kereta KRL yang tertutup hampir setiap 5 menit sekali. Dengan kemacetan ini, orang lebih suka naik angkot di ujung dekat persimpangan kereta, atau yang ke arah Timur akan menunggu di seberang jalan sesudah angkot tersebut menyeberang jalan Arif Rahman Hakim. Praktis fungsi terminal sebagai titik silang ganti gagal karena tidak ada kegiatan menaikkan penumpang di dalam terminal, karena menunggu penumpang akan tertahan lama di dalam angkot untuk berusaha keluar dari terminal.

terminal depok dan sekitarnya tahun 2002
terminal depok dan sekitarnya tahun 2002

Setiap aku turun dari bis, aku berjalan ke arah terminal belakang. Alih-alih menaiki angkot bernomor D04 ke tujuanku yang banyak berderet di terminal, aku memilih untuk berjalan kaki ke arah stasiun supaya aku naik angkot paling depan yang berhasil melalui kemacetan itu dan sedang mengantri tepat sebelum palang kereta stasiun Depok Baru. Jalur jalan kakiku melalui stasiun hanyalah lorong selebar 1.5 m dengan pedagang kios berjejalan di kiri kanan. Tak jarang orang kecopetan atau disiket tasnya di lorong ini. Tak heran, lorong ini satu-satunya penghubung dari Stasiun Depok Baru ke Terminal Depok. Bagi pengguna jasa kereta rel listrik yang akan menggunakan bis atau angkot, harus melalui lorong ini jika tidak memutar menyusuri tepi jalan Arif Rahman Hakim yang tidak bertrotoar, berhati-hati agar tidak tercium angkot.

Saat itu aku berpikir, tidakkah terpikir kerjasama antar pengelola terminal dan stasiun untuk membuat penghubung yang aman bagi ribuan pejalan yang bolak balik di antaranya setiap hari? Tentunya bisa dipikirkan sebuah penghubung yang menguntungkan keduanya dan membuat ruang gerak ini menjadi lebih fungsional. Aku yakin pasti ada pemikiran ini, tapi tidak ditindaklanjuti.

Tahun 2005, berdiri sebuah pusat perbelanjaan ITC Depok tepat di samping Terminal Bis. Tentu saja bangunan ini pun berdekatan dengan Stasiun Depok Baru. Area parkirnya di belakang pun berbatasan langsung dengan muka stasiun. Tahun itu juga aku mulai jarang naik bis dan menjadi pengguna kereta. Keluar dari stasiun, aku langsung menuju angkot D04 yang ngetem di depan pintu Stasiun.

Apabila sewaktu-waktu aku perlu ke terminal, dari stasiun aku memilih berjalan di lapangan parkir yang besar itu, dan berjalan melipir tepi bangunan lalu melintasi tangga penghubung area ITC dengan terminal, baru masuk ke kawasan terminal depan yang banyak berisi bis. Lorong tersebut mulai jarang kulewati.

Adanya ruang terbuka sebagai penghubung antara stasiun, terminal dan ITC cukup menyenangkan. Tak perlu bersesak-sesakan dalam lorong untuk berpindah-pindah lokasi. Namun aku tidak suka ketika hujan tiba. Di lorong, meskipun tidak permanen, kita bisa berjalan di bawah terpal biru yang jadi peneduhnya. Di ruang terbuka itu, mau tak mau harus memakai payung. Aku yang tidak suka membawa payung ini seringkali lebih suka mengurungkan niat melintas daripada berlari menembus hujan.

terminal depok, ITC, dan stasiun tahun 2005
terminal depok, ITC, dan stasiun tahun 2005

Setahun sesudahnya, mulai dibangun jalan layang untuk mengatasi kemacetan akibat perlintasan kereta. Karena aku naik kereta dan jarang melintasi persimpangan dengan kendaraan pribadi, aku tidak terganggu dengan pembangunannya yang membuat kemacetan. Aku lebih sering lewat jalan tikus di belakang daripada harus melintasi Margonda.

Jalan layang yang jadi 6 bulan sesudahnya itu membuat masalah baru. Walaupun berhasil mengurai kemacetan dan memperlancar perjalanan kendaraan di atas perlintasan kereta, tetapi tidak dengan samping dan bawahnya. Ruko-ruko yang terletak di sisi jalan layang mati kehabisan konsumen karena sebagian besar kendaraan pribadi tidak lewat situ lagi. Mereka (termasuk aku) memilih untuk lewat jalan layang yang jelas lebih cepat, daripada mampir-mampir dulu. Di bawah dan samping jalan layang, ruang usaha yangterletak di arah keluar stasiun masih cukup hidup, karena masih seing dihampiri oleh konsumen yang baru turun dari kereta. Namun sebaliknya dengan ruang usaha yang menuju stasiun, kondisi penumpang yang terburu-buru mengejar kereta membuat tempat ini hanya dilewati begitu saja. Satu per satu ruang usaha di sisi ini pun tutup.

Dengan adanya jalan layang, sirkulasi kendaraan umum menjadi semakin ruwet lagi. Penumpang tetap tidak mau naik angkot di dalam terminal, sehingga kini kegiatan turun naik selalu di luar terminal! Angkot-angkot ke bagian timur Depok yang dulu memotong jalan Arif Rahman Hakim kini keluar dari terminal melipir ke kiri dan berputar di sebelum rel kereta. Tepat di kolong itulah mereka menaikkan penumpang yang biasanya berhamburan dari stasiun.Yang tidak menaikkan penumpang terus sampai lampu merah Margonda, angkot itu berbelok ke kanan sampai mal Ramayana depan seberang terminal, dan penumpang pun baru naik dari situ.

Tahun 2013, masih kurang ada perubahan. Penumpang dari luar kota pun enggan turun di terminal. Tepat sebelum lampu lalu lintas persimpangan Margonda dan Arif Rahman Hakim di depan gang yang kerap disebut STM, kendaraan umum sering menurunkan penumpangnya di situ. Puluhan angkot ke arah Depok Timur asyik ngetem mencari penumpang yang baru turun ini. Sementara di seberangnya, tepat di ujung jalan Arif Rahman Hakim di pangkal jalan layang, banyak juga angkot tujuan Kukusan, Parung, atau Depok dalam yang mengetem berderet di situ, menunggu penumpang yang baru turun dari kendaraan antar kota. Termasuk aku. Apabila aku baru pulang entah naik bis atau angkutan, aku selalu turun di titik ini dan menyeberang jalan untuk naik D04 yang jarang-jarang ada. Kalau sedang naik kendaraan pribadi, sering merasa kesal pada titik ini, karena angkot ngetem itu sering memakan badan jalan.

terminal depok, stasiun, masih tanpa penghubung, 2013
terminal depok, stasiun, masih tanpa penghubung, 2013

Di bawah jalan layang malah terjadi ekspansi dari pasar Kemiri Muka, sehingga banyak juga orang berjualan di situ. Mulai dari tukang ayam, sayur, ikan, hingga buah-buahan dan makanan kering mudah ditemui dalam lapak-lapak kecil. Sasaran lapak ini mungkin ibu-ibu yang turun dari kereta yang sekalian mampir. Tapi pasar ini sering sampai meluber ke tepi rel kereta sehingga terasa berbahaya. Bahkan dengan keberadaan lapak-lapak ini, jalur jalan kaki menyeberang dari timur ke barat rel sering tidak nampak dan harus dicari-cari. Kemudian perlahan menyeberangi tiga jalur rel dengan harap-harap cemas.

Lalu apa gunanya terminal jika semua fungsinya sebagai titik silang ganti malah melebar ke jalan dan tidak lagi di dalam area? Tidak ada juga penghubung antar beberapa bangunan penting di sekitarnya. Ada stasiun, ada mal, ada pasar, ada terminal itu sendiri, semua dibiarkan tercerai jalan sendiri-sendiri tanpa sinambung jelas. Akhirnya yang ada cuma penghubung darurat seadanya yang lagi-lagi terpaksa digunakan dan tidak nyaman, apalagi aman.

Menurutku, selama masih banyak orang yang menggunakan kendaraan umum, jalur sirkulasi antar beberapa fungsi bangunan ini harus diperhatikan. Perpindahan dari satu moda transportasi ke moda transportasi lain jangan sampai berbahaya karena jalur-jalur penghubung yang tidak layak untuk digunakan namun terpaksa dilalui karena tidak ada pilihan. Jadi pengen tahu, rencana apa yang akan dibuat oleh pemerintah kota Depok untuk titik terpenting dengan tingkat pergerakan tertinggi di Depok ini?

2013, lorong sempit dari terminal ke stasiun sudah hilang. Ruang terbuka tertata di belakan g ITC juga sudah hilang. Cuma ada hamparan kosong antara stasiun hingga tepian sungai di terminal dan ITC. Puing bongkaran masih berserakan, rencana perbaikan area tidak sinambung dengan pembongkarannya. Masih kosong.
Lapak masih menyesak di kolong itu. Tidak imbang rasanya melihat lapangan kosong itu dan lapak padat di luaran.
Tetap kutunggu penghubungnya.

Depok, 19.09.2013.
between office, atamerica, and home

10 thoughts on “terminal : titik silang ganti yang gagal di depok

  1. Polisi yang semena-mena
    Hari ini tanggal 28 May 2014 di depan terminal ITC Depok. Saya naik angkot 105 saat mau masuk terminal depok ada seorang penumpang yang mau turun, sisupir pun menghentikan mobilny dipinggir dekat trotoal sebelum masuk terminal, namun datang seorang polisi berkumis yang berkata kamu tidak boleh menunggu penumpang disini, sisupir bilang saya bukan nunggu penumpang tapi menurunkan penumpang,tapi sipolisi bilang gak boleh disini, sopir bilang disini saya berhenti dipinggir supaya gak nganggu yang lain. tapi tetep saja tuh polisi buat surat tilang. saat itu saya juga bilang kepolisi bahwa supir ini cuma nurunin penumpang dan angkot2 yang lain juga nurunin penumpang sebelum masuk terminal kenapa gak ditilang dan malah ditenggah2, tapi tuh polisi gak peduli terus nulis surat tilang negok aja gak tuh polisi. Polisi seperti itu harus diberi efek jera biar gak semena2 menilang.
    catatan : dari dulu semua angkot memang nurunin penumpang dibibir terminal (sebelum masuk terminal).

    1. kalau mau rapi, ya harus adil semua pergerakan di dalam terminal. ITC juga ada jalan langsungnya ke terminal.
      di dalamnya juga semrawut sih, makanya orang lebih suka keluar masuk di bibir terminal.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.