tanjung puting, lintas alam demi orangutan

0-cover-orangutan

“Jangan pisahkan dirimu dari binatang.”
“Biar apa, Ayah?”
“Biar kamu tidak sombong jadi manusia,” ujarnya sambil tersenyum.”
Dewi ‘Dee’ Lestari, Supernova: Partikel

Suara motor kapal mengiringi perjalanan kami meninggalkan Pelabuhan Kumai. Sejujurnya, aku lebih suka jika tidak ada suara menderu-deru di belakang itu. Rasanya lebih asyik jika pengarungan ini cuma ditemani semilir angin, kemerisik dedaunan dan kicau burung yang beterbangan. Tapi jika begitu, pasti butuh tenaga ekstra untuk mendayung sekuat tenaga. Kapal ini dinamakan kelotok, karena suara mesinnya yang berisik berbunyi klotoklotoklotok itu bertingkat dua, bagian bawah kabin, dan bagian atas ruang bebas tempat kami bisa duduk-duduk bercengkrama memandang sungai.

Dari Pelabuhan Kumai hanya dibutuhkan waktu 10 menit sampai muara Sungai Sekonyer tempat kami akan mengarungi sungai sebagai satu-satunya jalan menuju Taman Nasional Tanjung Puting, tempat pelatihan orangutan sebelum dilepas ke alam bebas. Kelotok kami cukup luas, dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 20 meter, sehingga kami bisa gegoleran di setiap pojok, menikmati perjalanan lewat air ini. Selain Putri, Felicia, Ima, dan Lanny, kami juga berkenalan dengan mbak Elvi, mbak Rotua dan mas Dion di kapal. Jadi total pesertanya 8 orang ditambah dengan guide dan kru. Seorang petugas di pelabuhan tadi menjelaskan pada kami, “Masuk Taman Nasional Tanjung Puting harus didampingi guide, selain untuk alasan edukasi juga untuk keselamatan pengunjung sendiri.”

pelabuhan kumai
pelabuhan kumai
silo bbm di tepi pelabuhan
silo bbm di tepi pelabuhan
lepas sungai kumai, memasuki sekonyer
lepas sungai kumai, memasuki sekonyer

Ada tiga tempat yang akan kami darati di Taman Nasional Tanjung Puting, yaitu Tanjung Harapan, Pondok Tanggui dan Camp Leakey. Setiap lokasi ini berjarak lebih dari 20 km dan harus ditempuh di antaranya sekitar tiga jam dengan kelotok. Tidak perlu khawatir bosan, karena vegetasi yang akan dilalui bervariasi, dan pemandangannya pun akan berubah-ubah, begitu pesan Ari, guide yang menemani kami.

“Nanti jam 2 kita sampai di Tanjung Harapan. Feeding timenya jam 3 sore,” jelas Indra Setiawan, seorang teman blogger yang mengelola tourtanjungputing.com yang giat mengompor-ngompori kami untuk datang ke taman nasional yang sebenarnya tak dekat juga dengan tempat tinggalnya di Palangkaraya. Pemilik akun @bpborneo ini beberapa kali ke Tanjung Puting, juga menyusuri beberapa sungai-sungai lain di Kalimantan. “Mungkin di sini ada buayanya, lho,” katanya sambil menunjuk air yang kecoklatan. Sungai ini menelan limbah tambang emas yang terus menerus, sehingga airnya yang dulu berwarna seperti teh berubah menjadi keruh.

Sepanjang sungai selebar 20 meter itu kami beberapa kali bertemu dengan kapal-kapal lain, baik kapal wisata seperti yang kami tumpangi, atau kapal kecil sebagai alat transportasi penduduk di desa-desa di dalam Sungai Sekonyer. “Orang sini kalau punya perahu seperti punya motor. Setiap keluarga punya, karena memang cara mereka ke kota satu-satunya ya pakai kapal,” cerita Indra. Sesekali ada kapal dari arah berlawanan yang penumpangnya melambaikan tangan pada kami. Kebanyakan mereka adalah bule cantik dan ganteng.

Seperti di jalan raya, di beberapa tempat terdapat rambu-rambu belokan kanan dan kiri. Deretan pohon-pohon nipah berjejeran, menjadi tanggul alami bagi sungai. Tak berapa lama kemudian, kami bertemu satu persimpangan sungai yang menuju ke desa. Oh, ternyata benar-benar mirip di darat, hanya saja ini di sungai.

nipah yang rapat di kanan dan kiri
nipah yang rapat di kanan dan kiri
kelotok yang baru kembali dari tanjung puting
kelotok yang baru kembali dari tanjung puting
persimpangan jalur
persimpangan jalur
pemberhentian di desa, lengkap dengan shelternya
pemberhentian di desa, lengkap dengan shelternya

Sebenarnya kami agak takut hujan akan turun lagi mengingat langit yang sudah begitu kelabu, dan hujan deras sempat mengawal perjalanan darat tadi dari Pangkalan Bun hingga Pelabuhan Kumai. Memang sempat gerimis tipis, namun terang lagi di langit. “Kalau hujan, nanti jalan kakinya nggak terlalu nyaman,” pikirku.

Sesudah makan siang yang disajikan dengan enak, kapal merapat di dermaga Tanjung Harapan. Untunglah udaranya cerah dan terang. Beberapa kapal lain juga menyandarkan kapalnya di situ. Kami berlompatan turun sambil membawa kamera masing-masing, mengelilingi satu museum yang agak tidak terawat, baru memasuki hutan satu demi satu. Aku berdebar-debar, apakah hatiku akan tertawan di sini seperti Zarah Amala di buku Partikel itu?

ini pria ganteng yang meracuni kami agar datang ke tanjung puting
ini pria ganteng yang meracuni kami agar datang ke tanjung puting
kapal sandar dulu sementara penghuninya melintasi alam
kapal sandar dulu sementara penghuninya melintasi alam
indra, ima, putri, lanny, aku dan felly
indra, ima, putri, lanny, aku dan felly
kalau berjalan kaki sampai camp berikutnya, 22 km saja.
kalau berjalan kaki sampai camp berikutnya, 22 km saja.

Sesudah melewati satu hutan dan menyeberangi jembatan, ternyata ada satu dataran terbuka yang berpasir putih di tengah hutan! Wah, pantas saja dari tadi jalan yang kami lalui walaupun agak becek ternyata berpasir putih juga di balik dedaunan kering yang jatuh. Aku sempat berhenti agak lama mengamati air hitam yang mengalir di bawah jembatan tadi. “Nanti kita akan lewat sungai yang airnya hitam seperti ini,” kata Ari. Wah, pasti menarik banget, nih!

Dari kejauhan mulai terdengar suara berseru-seru nyaring. “Itu suara-suara untuk memanggil orangutan,” kata Ari yang menemani kami. Pemandu muda ini pun sudah kerap masuk hutan di Tanjung Puting dan bertemu orangutan di habitatnya. Orangutan di hutan ini diberi makan pisang dan minum susu untuk menjaga kesehatan mereka. Tentu saja makanan utama mereka adalah buah-buahan di hutan, namun ternyata meraka cukup mengenal pola waktu sampai ada yang selalu datang ke feeding ground pada jam tertentu seperti ini.

jalur trekking yang agak becek
jalur trekking yang agak becek
jembatan di atas aliran air berwarna hitam
jembatan di atas aliran air berwarna hitam
pasir putih di tengah hutan
pasir putih di tengah hutan
sebelum masuk petualangan selanjutnya
sebelum masuk petualangan selanjutnya
tanah sudah berubah menjadi merah
tanah sudah berubah menjadi merah
makin ke dalam, makin tinggi dan rapat tanamannya
makin ke dalam, makin tinggi dan rapat tanamannya
menunggu feeding duduk berjejer-jejer
menunggu feeding duduk berjejer-jejer

Sesudah kira-kira 20 menit berjalan kaki, kami tiba di dalam hutan hujan tropis yang pohonnya tinggi-tinggi sehingga sinar matahari hanya sedikit menembus hingga jalan setapak yang dipijak ini. Uh, rupanya nyamuk sudah mulai berkeliaran di sekeliling. Benar juga kata Indra, pakai lotion anti nyamuk sebelum masuk hutan. Sambil menghalau nyamuk mendekat, kami tiba di depan feeding ground, tempat orangutan itu akan ‘diberi makan’. “Ini sedang musim buah di hutan, jika musim kering lebih banyak lagi orangutan yang akan datang,” Ari menjelaskan.

Kami semua berkumpul duduk di batang-batang kayu yang sengaja dibentangkan sebagai bangku. Ada besi panjang untuk menghalangi pengunjung biasa masuk ke area feeding ground. Jarak dari tempat kami duduk hingga ke panggung kayu yang berisi pisang-pisang itu sekitar 20 m. Cukup aman untuk kami mengamati tanpa takut mendadak orangutan itu lari menyerbu. Lagipula pemandu maupun jagawana berkumpul di sekitar, sehingga ketakutan ini agak tereliminir. “Orangutan suka memeluk kaki, mbak. Pokoknya tenang aja kalau ketangkap, nanti kita bantu bebaskan,” satu pemandu yang di sekitarku menjelaskan. Eh, lha. Koq malah jadi agak panik begini. Iya sih, orangutan itu kan besarnya dua kali badanku.

Lamat-lamat terlihat pepohonan bergoyang di kejauhan. Wih, apakah orangutannya mendekat? Kemresek! Tiba-tiba ada bayangan berkelebatan dan whaaa.. Seekor orangutan dewasa dan anaknya mendekat menuju feeding table dan menyambar buah pisang yang disediakan di situ. Anak orangutan itu menempel erat pada badan ibunya, takut jatuh dan terlepas, dan malu-malu. Matanya bulat melihat sekeliling.

16-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

18-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

19-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

21-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

22-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

23-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

24-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

26-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

27-tanjungputing-tanjung-harapan-feeding-time-orangutan

Lepas dari Tanjung Harapan, kapal berjalan dengan tenang menuju satu tempat yang kami sebut Bekantan Spot. Bagaimana tidak? Di pohon sebelah terlihat banyak mamalia dengan hidung besar itu bertengger begitu saja. Bentuk wajah bekantan yang mengingatkan pada Rastapopolous itu, salah satu tokoh antagonis di komik Tintin, adalah ciri khas binatang yang juga digunakan sebagai maskot Dunia Fantasi ini. Jeritan-jeritan mereka memekakkan udara, demikianlah caranya berkomunikasi satu sama lain.

Sesudah berjalan kaki di tengah hutan Tanjung Harapan tadi, memang badan agak berkeringat karena udara juga lembab yang membuat baju dan badan lengket. Bergantian mandi yang airnya pun dari sungai itu, kemudian leyeh-leyeh di depan kelotok mendengar suara bekantan dan owa yang bersahut-sahutan.

Ditemani burung-burung beterbangan di langit kelabu, tak ada sinar matahari indah yang menemani terbenamnya. Sisa gerimis tadi siang masih menyisakan awan menggantung. Perlahan-lahan gelap tiba dan menutupi segala pandangan kami ke hutan. Pekat.

30-tanjungputing-tanjung-harapan-bekantan

29-tanjungputing-tanjung-harapan-bekantan

31-tanjungputing-tanjung-harapan-bekantan

32-tanjungputing-tanjung-harapan-river

trip 14-17 Mei 2015 oleh tourtanjungputing.com

kenapa kepengen ke tanjung puting? sebuah mimpi dari partikel supernova
sejanjutnya orangutan di mana? pondok tanggui, cerita tanjung puting dan tapak hijau

23 thoughts on “tanjung puting, lintas alam demi orangutan

  1. Kok saya kesannya, ketika orangutan suka memeluk kaki, saya seperti memandangnya sebagai pelukan pengharapan kasih sayang. Mengharapkan belas kasih manusia agar melindungi habitatnya… Terharu lihat polah mereka di hutan Mbak, meskipun hanya melihat lewat foto Mbak indri saja di sini 🙂

    1. Iya, memang mereka seperti manusia yang haus kasih sayang. lihat saja anaknya itu yang menempel lekat pada ibunya. Kalau kamu baca Partikel tahulah bahwa orangutan suka memeluk.
      Mereka punya afeksi juga seperti manusia. Melihat tatapan matanya itu meluluhkan hati..

      1. Saya belum baca Partike Mbak, saya telat mengikuti karyanya Dee, dan baru beli yang Gelombang. Itu memang benang merahnya nyambung ya Mbak?

  2. Perjalanan yang seru dan sangat kaya dengan pengamatan-pengamatan luar biasa tentang kehidupan di pulau terbesar ketiga di dunia itu (eh betul kan ya :haha). Memang jalan di Indonesia ini tidak harus melulu diartikan sebagai tanah diaspal, karena arteri sungai pun adalah saluran transportasi penting di suatu daerah :hehe.

    Orang utaaaaan! Wawawa lucu sekali anaknya itu, semoga ia bisa tumbuh dewasa dan berkembang biak sampai banyak agar binatang ini bisa lestari. Kok ya saya kepengin meluk satu bekantan itu terus saya bawa pulang :haha, hidungnya lucu banget :haha.

    1. Menarik ya melewati sungai yang tenang itu. Ini baru sebagian, nanti ada sungai yang lebih indah lagii. Jangan bawa pulang bekantan, kecuali kamu punya hutan tempat ia bisa hidup bebarengan kawanannya. :p

      1. Iya menarik… kecuali ada buaya yang siap menerkam #eh.
        Saya bawa bonekanya saja deh, jadi teman di kantor *laaah?*.

  3. Sering lihat acara di KompasTV yang mengulas tentang orangutan di Kalimantan maupun Sumatera. Semoga rumah mereka tidak terjajah oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

  4. Jauh juga ya mbak mau ketemu orangutan sampe ke Tanjung Puting. Tapi prosesnya itulah yang menyenangkan mulai dari bertemu dengan teman lain, pemandangan sungai dan pepohonannya yang khas, lebih tahu kebiasaan/aktivitas orangutan di sana

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.