Langkah menjadi panutan. Ujar menjadi pengetahuan. Pengalaman menjadi inspirasi.
Aku suka mengajar anak-anak. They are some magnificent creatures that always happy and ‘want-to-know’ face that made me love them so much. Sayangnya, aku tak punya cukup waktu (dan kerelaan) untuk mengajar terus menerus sepanjang tahun. Makanya, ketika ada penawaran ikut Kelas Inspirasi Depok Oktober tahun 2014 lalu (iya, tahun lalu, saking sibuknya baru ditulis sekarang), kenapa tidak? Pasti dekat dengan tempat tinggalku, nih.
Mengajar juga sebagai pembuktian sebagai perempuan yang baik, sanggup menghadapi tantangan dan kodrat, yaitu mendidik anak-anak. Yakinlah bahwa banyak sekali yang berpendapat bahwa isi kepala dan tingkah laku anak-anak dibentuk oleh pendidikan yang mereka terima di masa kecil. Apalagi mengajar di kelas yang tidak dikenal, ketika anak-anak yang tidak bertemu setiap hari, dan kita harus memberi suatu motivasi, hendak seperti apa mereka kelak.
Jadi sebelum mengajar aku membuat persiapan yang agak berbeda dengan tahun lalunya lagi (bisa dibaca di sini), sekarang temaku mengajar di SD Pancoran Mas 4 ini adalah arsitektur tradisional. Berhubung aku suka sekali jalan-jalan, jadi aku kepingin bercerita tentang rumah-rumah adat di daerah-daerah yang belum pernah maupun ingin aku kunjungi.
Nah, sehari sebelum mengajar, aku masih di Bandung, dengan kondisi semua bahan ajar belum ada yang fiks. Berbekal flashdisk, aku sengaja mampir ke Dipati Ukur untuk mencetak gambar-gambar koleksiku serta kak Firsta dan Wisnu, sebagai media ajar ke anak-anak nanti. Lalu jam delapan malam aku masih menyetir kembali ke Depok masih diseling dengan tidur di salah satu tempat istirahat supaya tidak mengantuk di jalan. Syukurlah jalanan cukup ramai itu bisa dilalui dengan lancar hingga Depok.
Sebenarnya, aku kepingin datang ke SD Pancoran Mas 4 itu dengan naik sepeda, karena hanya berjarak sekitar 3 km dari rumah. Tapi karena bangun pagi rasanya seperti zombie, jadi aku minta ayah untuk mengantarku ke sana. Waduh, mana muka ini masih gosong karena terpapar panas di Kawah Putih sehari sebelumnya, tapi aku harus pede untuk ketemu anak-anak, nih.
Untunglah aku kebagian kelas empat dan lima, grade kelas yang seharusnya lumayan bisa ‘diatur’. Aku sih membayangkan kalau aku tinggal bercerita tentang bangunan-bangunan ini dan mereka akan duduk manis mendengarkan penjelasanku. Beneran deh, dari pengalaman tahun sebelumnya, mengajar kelas empat itu paling enak. Mereka sudah cukup kritis, bisa dikasih tahu, interaktif mau bertanya, dan yang penting, bisa ditenangkan (kalau perlu).
Sesudah mengikuti upacara bendera bersama-sama, kami bergabung di ruang guru. Ada berbagai macam profesi di kelompokku kali ini. Ada kak Dea yang dokter gigi, kak Eddi yang bekerja di stasiun televisi, kak Irma yang ahli burung dan biologi, kak Arie yang guru bahasa Jepang, kak Arwin si electrical engineer, kak Diah yang bekerja di bidang public relation, dibantu oleh kak Joseph sebagai fotografer dan kak Ashari yang mendokumentasikan kami lewat video. Beberapa hari sebelumnya kami sudah survey bebarengan untuk mengenali lokasi. Asyiknya, semangat yang sama dari kami semua membuat kami cepat ‘nyambung’ dan mudah bekerja sama.
“Kak Indri, karena ada jadwal kak Irma yang bentrok, mau nggak ngajar kelas satu juga?” tanya kak Eddi, koordinator kelompok kami. Hm, aku nggak punya persiapan untuk mengajar di kelas paling awal tersebut, tapi… “Oke, kak. Aku coba, ya,” jawabku optimis. Tahun sebelumnya aku mengajar di kelas dua dan hasilnya agak,… melelahkan. Kelas-kelas pemula biasanya anak-anaknya sulit berkonsentrasi dan banyak teriak-teriakan serta lari-larian. Butuh energi dan kesabaran ekstra di sini.
Seperti perkiraanku sebelumnya, kelas empat manis-manis sekali muridnya. Mereka duduk berkelompok dan mendengarkan penjelasanku yang riang gembira tentang perjalanan ke rumah-rumah adat. Beberapa dari mereka sudah melihat juga bangunan tradisional di koran attau televisi, sehingga diskusi tentang tempat-tempat ini menjadi menarik. Aku bercerita tentang berbagai pepohonan yang harus dilestarikan supaya bahan bangunan alami ini tetap ada sehingga rumah-rumah adat tradisional ini tetap terjaga.
Sementara itu di kelas-kelas lain teman-teman asyik mengajar kelasnya dengan penuh semangat. Berbagai alat peraga dikeluarkan untuk menunjang kegiatan mereka. Tidak seperti kegiatan belajar mengajar biasa, kali ini lebih riuh dan bersemangat karena ditimpali dengan tebak-tebakan, nyanyian dan olah gerak yang membuat suasana lebih meriah. Kak Dea dengan model giginya, Kak Eddi mengajari latihan wawancara, Kak Irma memperlihatkan macam-macam burung, Kak Arwin dengan perangkat elektronika mini, dan kak Arie yang membawa teman orang Jepang asli untuk menemaninya mengajar, kak Diah dan poster-poster inspiratifnya. Sementara itu kak Ashari tetap mondar-mandir mengambil gambar video dan kak Joseph mengintip-intip lewat lensa kameranya. Kak Lilik, fasilitator kami siap membantu apabila ada kesulitan.







“Oke, kak Indri, habis ini ke kelas satu ya,” pesan kak Eddy lagi. Aku mengintip kelas pemula itu yang sedang asyik bernyanyi bersama kak Arie. Ia mengenakan kimono di kelas dan mengajari anak-anak itu bahasa Jepang sederhana. Wuih, aku berdoa supaya bisa menguasai kelas ini beberapa menit ke depan.
“Halo anak-anak, saya bu Indri. Ayuk, pada duduk semua,..” sapaku ramah melihat anak-anak ini mulai berantakan ketika baru saja ditinggal kak Arie. Mereka memandangiku dengan penuh rasa ingin tahu, namun ada yang berdiri dan duduk di mana pun. “Ayo tepuk meja!” sambil aku mencoba menarik perhatian mereka.
Brak, brak, brak, Kelas Satu.
Brak, brak, brak, Pancoran Mas.
Brak, brak, brak, Juaraa..
Berhasil! Mereka diam dan duduk tenang lalu mulai memusatkan perhatian ke padaku. Baru saja aku mengangkat gambar yang akan kutunjukkan pada mereka, terdengar suara dari ujung belakang.
“Bu, istirahatnya kapaaaan?”
Glek, kulihat jam di ponselku, sudah jam 9 rupanya. “Nanti ya, sebentar. Kita main dulu, yuk!”
“Bu, pulangnya kapaan??”
“Bu, bajuku ditarik-tarik sama diaaa…” seorang anak perempuan maju dan mengadu.
“Bu, aku mau ke kamar mandi..” anak perempuan kecil lainnya yang berwajah sendu meminta izin.
“Bu, si A nakal..” terdengar suara lain di ujung sana.
Sesudah anak kuantar ke pintu, aku kembali lagi melihat kelas yang sudah berantakan bukan main. Anak lelaki bandel yang tadi diadukan temannya hanya cengengesan bandel. Aku menasehatinya supaya tidak mengganggu temannya. Sementara di lorong bangku lainnya, anak-anak berbicara sambil berteriak-teriak.
“Bu, istirahat, Buuuuuu…” Heih, dalam hati aku merutuki yang membuat jadwal.
“Bu, ada yang pingsan!” teriak beberapa anak di depan.
Hah, di kelasku? Aku ke depan dan melihat seorang anak lelaki terbaring di lantai dengan mata terpejam. Dengan panik aku menepuk-nepuk pipinya, dan… BLAA, ia melek sambil menjulurkan lidahnya usil. OH, MY GOD! Kelas apa iniiiii… Aku menghela napas, menahan gejolak di dada.
Aku meraba helm yang ada di kepalaku, dan berusaha menarik simpati mereka. “Tahu nggak benda ini untuk apa? Ini untuk melindungi kepala, supaya kalau kejatuhan benda keras, kalau terpukul, kepalanya nggak apa-apa. Ada yang mau coba?”
Beberapa anak maju, berbaris untuk mencoba helmku. Kupakaikan di kepala salah satu anak yang berdiri paling depan, berharap mereka akan segera tenang. Tapi yang terjadi adalah, anak-anak lain malah ‘mengetes’ kekuatan helm tersebut dengan memukul-mukul kepala anak tadi. Sementara di belakang, anak perempuan tadi berantem dengan teman lelaki yang mengganggunya lagi. Plak, bletuk, klotak!
I wish there is panic button, here. Berharap supaya guru sebenarnya datang.
Baru 15 menit aku masuk kelas ini dan tidak bisa mengendalikan sama sekali. Aku keluar dan berlari ke ruang guru dan bertemu kak Arwin. “Please, bantu aku di kelas…. I have no idea, kelasnya berisik bangeetttt..” rengekku meminta engineer yang hari inspirasi ini mengenakan wearpack merah sesuai pakaian kerjanya.
Bersama-sama kami masuk kembali ke kelas satu yang sudah riuh. Anak-anak bertemperasan dan berteriak-teriak di dalam kelas. Mereka sedikit terpana melihat aku dan Arwin masuk. Engineer muda itu mengeluarkan baterai dan lampu untuk diperlihatkan proses kerjanya ke anak-anak. Seketika mereka merubung Arwin dengan antusias yang menyambung dan memutus kontak ke baterai dengan bergantian, mengakibatkan nyala atau matinya lampu.
Setelah menemani Arwin sebentar, aku kembali ke ruang guru dengan wajah pias. Ya Tuhan, sebegitu beratnya menjadi guru kelas satu, harus sabar luar biasa menghadapi anak-anak yang sedemikian berbeda-beda dan aktif. Baru saja 15 menit aku mengajar sudah kehabisan energi begini, sambil menghempaskan diri di sofa.
Lima menit aku duduk di situ, Arwin datang dengan ekspresi wajah yang tak jauh berbeda,“Sudah dipulangkan, mereka.” Huahahahaa, kami terbahak-bahak mentertawakan diri sendiri. Dear kid, mungkin kalian tidak ingat bahwa kami mencoba menginspirasi hari ini, tapi terima kasih, pengalaman ini everlasting banget! Mengajar itu melatih kesabaran kami!
Setengah jam kemudian, aku masuk ke kelas lima dan memberikan lagi materiku untuk mereka pahami. Aku berharap semoga di antara tunas-tunas muda ini ada yang mau mengikuti jejakku jadi arsitek yang suka berjalan-jalan. Atau menjadi apa pun juga yang mereka inginkan, sesuai dengan passion masing-masing.
Hari itu ditutup dengan cap tangan di spanduk oleh anak-anak yang bersedia menerima sehari bersama kami, para guru yang berbagi profesi. Semoga cita-cita yang dituliskan dan ditempelkan menjadi motivasi yang kuat untuk membangun negeri.
Aku berbisik pada Arwin, “Tahun depan kalau ikut lagi, aku mau jadi fotografer saja!”
Tapi ternyata aku tidak kapok menjadi pengajar, karena tahun berikutnya walaupun ada lowongan fotografer maupun fasilitator, aku tetap memilih menjadi relawan pengajar. Iya, mengajar lagi. Nggak lelah? Nggak, karena setiap senyuman mereka adalah energi.
Aku tak pernah lupa pada persahabatan kami sesama relawan pengajar. Berbagai lelucon lucu hingga garing kami bagi setiap hari. Setiap ada ajakan untuk ikut Kelas Inspirasi di kota lain selalu diinfokan (bahkan relawan yang cakep dan manis-manis pun rutin dibicarakan di percakapan via WA ini). Apalagi tentang upaya-upaya menghabiskan malam minggu.
Tahun ini aku mendaftar untuk kota sebelah. Si penghujan dengan kebun raya raksasa.
Hallo, KI Bogor, wait for me soon!
Karena memberi inspirasi itu memberi motivasi pada diri sendiri, supaya menjadi sebaik-baiknya manusia menurut kemampuannya.
tonton juga video kelompok kami oleh kak Ashari
semua foto oleh Josef Wattimena
20.10.2014. Kelas Inspirasi, bangun mimpi anak indonesia.
Untuk ambil bagian, cek di kelasinspirasi.org.
ditulis setahun kemudian 05.10.2015 dengan rindu teramat sangat pada anak-anak ini, juga geng pengajarnya yang super sibuk dan nggak pernah kopdar lagi beramai-ramai.
Wah keren dan menhinspirasi..aku tiap hampir tiap hari ngajar mbk..kelas mahasiswa tapi..merasa senang ketika mereka mampu memahami dan feedback dengan apa yang kita sampaikan.. 🙂
waah, mahasiswa sih lebih nurut-nurut yaa, pasti nggak ada yang pura-pura pingsan ini.. :)))
Memang bajunya mas arwin keren banget hahaha…. Gak hanya anak kelas 1 SD, aku aja terkesima….
apalagi mas arwin jomblo looh.. #eh #kemudianditimpukhelm
Saya doakan smoga lekas mendapatkan helm eh pendamping…. 🙂
Hihihi kelas 1 itu amat sangat disaster. Cuma yaa itu ngangenin bgt. Kepolosan mereka itu loh 🙂
Waaah gutlak buat KI Bogornya ya, Mbak. Relawan sekelompokku di KIS 2 jg ikutan nih. Ada dokter Arlette, mba Chiki dan Ayah Hadi ^^
kelas satu itu TANTANGAN TERBESAR buat pengajar-pengajar KI! :)))
semoga yang mengajar selalu mengisnpirasi generasi muda masa depan 🙂
salut
semoga ya mas. amin do’anya..
Jd inget belum ngasihin sertifikat ke sekolah #ngacir
heh! sana dikasihin. ketua kelompok macam apa kau iniii..
Seru banget kegiatannya 😀
kids always have some fun!
ini acara CSR ya?
bukan, ini acara sama-sama. di kelasinspirasi.org
Waw ini keren banget. BIsa memperkenalkan berbagai disiplin ilmu yang nyata ke anak-anak SD. Saya dulu pernah punya pengalaman ngajar anak SD juga. Kalau ditanya apa cita-citanya, mereka menjawab “pemain bola, supir (paling kerennya pembalap lah), penyanyi”. Soalnya mereka mengacu ke apa yang mereka lihat di lingkungan sama televisi. Semoga kelas inspirasi ini bisa menginspirasi cita-cita mereka beneran 🙂
ini asyik banget! bener2 belajar banyak dari anak-anak ini.. memang sih cita-cita yang mereka inginkan masih terpatok apa yang lama juga, yang mudah digapai, tapi kalau ada variasi pekerjaan begini, semoga jadi lebih variatif.
ngangeni lho momen kaya gini… di batam anak2 kInya aktif2 kak tiap minggu ada aja kegitanannya, dari promo di car freeday , reading class, dongeng di jalan dll… tapi sayang, denga kesibukansebagai kuli , kadang nga bisa selalu ikutan
bener2 ngangenin banget! aku jatuh cinta sama anak2 inii…
Sama kak…. ngajar tanggal berapa kak
tanggal 28 oktober kak. pas lagi segala acara sibuk inii..
Betapa menyenangkannya bisa berbagi. Kak Indri keren banget! ^^
🙈🙈🙈🙈
wah seru banget kelasnya. walaupun anaknya bandel, tapi kita yang ngajar tetap senang melihat wajah lugu dan ceria mereka.
anak-anak itu bawa energi bangeettt..
Eh ada Mbak Irma juga. Ah, bisa gila gue ngajar anak begini hahaha. good job, In!
Ahahaa, mb Irma emang famous ya? Cobalah tunggu anak lo gede dikit.. Pasti bisa!
Aku juga pengen deh jadi guru, kuliah lagi ah terus jadi dosen biar banyak liburnya ahaha
Daftar aja buat KI sehariiii..
Waaah dokter giginya…
Cakep?
Eh cantik deng cantik hehehehe. Salah deh…
[…] waktunya di Maluku Utara dengan ke Morotai. “Wah, keren ya ikut RUBI. Aku baru seringnya ikut Kelas Inspirasi saja,” obrolan kami tiba-tiba nyambung karena ternyata kami semua punya hobi mengajar dan […]