Sepertinya langit baru membuka kerannya, ketika rintikan banyu turun satu per satu dari atas. Perempuan itu berlari, menyeberang jalan dan membuka pintu mobilnya, lalu duduk terdiam. Ia bisa saja langsung menyalakan mesin dan berlalu supaya tidak habis dimakan tarif parkir yang menggila.
Bebannya pecah. Satu per satu air mata mengalir di pipinya seiring hujan yang semakin menderas. Mungkin ia memilih menangis di tengah rinai supaya tak ada yang mendengar suaranya. Toh, pelan saja.
“Terkadang ia terlalu keras terhadap dirinya sendiri.” Begitu dialog yang tadi didengarnya. Mungkin benar. Mungkin selama ini ia terlalu menuntut sempurna untuk dirinya, sehingga ia pikir orang-orang pun bisa bersikap yang sama. Everything must be right. In order.
Mobil melaju keluar dari pelataran. Tangisnya tak berhenti. Ia tidak sedih, hanya marah. Mungkin pada kehidupannya. Atau ketiadaan telinga yang mendengarnya. Tapi ia memang sudah tidak peduli, karena ia takut teman-temannya sudah bosan apa yang akan ia keluhkan. Maka ia putuskan untuk diam, dan memendam seperlunya. I bertengkar lagi, mungkin salah paham, atau ketidakmengertian.
Bukan satu dua kali ia gagal berteman, karena mempertahankan prinsip. Atau mungkin ego. Atau karena ia selalu berusaha menepati janji untuk melakukan sesuatu, tapi akhirnya ia lelah sendiri. Mungkin ia memang lebih cocok bekerja sendiri daripada dalam tim. Atau lebih pantas sebagai pimpinan yang lalim.
Ia teringat pada satu wajah tenang yang baru dikenalnya. Kadang-kadang bertegur sapa, membahas tentang Indonesia, atau hal-hal penting lain. Rasanya ia ingin menumpahkan cerita padanya. Tapi ia tak tahu di mana pemilik wajah tenang itu. Dan tak berani untuk berusaha menghubunginya. Ia hanya takut gagal berteman lagi. Karenanya ia tak mencoba untuk berbincang tentang hal-hal tak penting, supaya tidak menjadi canggung keduanya. As ordinary as it can be.
Lalu ia menangis lagi. Mungkin bodoh. Tempat favoritnya menangis. Di antara laju ban dan derum kiri kanan, ketika otaknya separuh konsentrasi sementara emosinya berantakan. Di tengah marahnya ia bisa puas menekan klakson mobil sambil mengumpat. Dan air mata berurai di pipinya.
Ia meninggalkan mimpi yang pernah dibangunnya, namun rusak oleh sebuah ingkar. Ketika mulai melangkah, kebohongan tiba di depan matanya dengan bertopeng wajah baik hati. Ia melarikan diri, mengira dirinya sedang merangkai jembatan yang indah ketika sadar bahwa itu hanya ilusi. Satu tamparan untuk menjauh membawanya kembali ke kenyataan. Ia ingat, kala itu ia juga menangis di dalam taksi yang dihentikannya segera sesudah ia berlari keluar dari kafe.
“Berjalanlah sekarang. Jika nanti kamu bertemu seseorang yang tidak sama, kamu sudah cukup.” kata seorang teman.
Ia tak lagi bisa nyenyak, ketika memejam mata malam-malam. Tidur tidak lagi memberikan damai, tapi hanya transit sejenak sebelum memulai hari lagi. Sulit untuk benar-benar istirahat sementara pikiran masih melanglang. Setiap hari. Berbulan-bulan. Bertahun. Mungkin ia belum berhasil mengendalikan diri.
Menangis adalah ekspresinya. Untuk menunjukkan manakala ia sedih, marah, atau bahagia.Dan hujan favorit, menyembunyikan semua dalam derasnya. Semoga hujan meluruhkan ingatan kelabu. Tentang yang lalu, supaya ia bisa kembali mengumpulkan keberanian.
Kalibata. 02.04.2016. 22.20
Menangis, siapa yang tidak? nah, siapa nih yang didalam cerita? si ceria Indri kah?
Ceritanya ngena banget kak. Semua imaji tampak jelas di pandangan maya.
Butuh pukpuk, Mbak? *pukpuk*
Sudah… don’t be too hard on yourself :hehe.
Mendayu-dayu, mbak. Pas banget di hati 🙂
Mbak Indri, jangan sedih dong.. Semangat 😀
Eh, tapi kalau hujan emang bawaan rada melooowww..
Di Bali mendung dan hujan terus sudah beberapa hari, jadi pengin males-malesan dan sedih-sedihan. Haahahaha. Alhamdulillah hari ini cerah!
kak indri jago banget merangkai kata, jd terasa pas bacanya jd ikutan merasakan emosinya
yuk jalan-jalan aja mba, aku ikuuuut 🙂
ehhhm … nonton lagi yuk trus kalo hujan makan tahu telor deh