“To be creative means to be in love with life. You can be creative only if you love life enough that you want to enhance its beauty, you want to bring a little more music to it, a little more poetry to it, a little more dance to it.”
― Osho
“Rumahmu ini Sandri banget, ya!” ujarku dalam satu kesempatan kesekian kalinya ke kediaman teman kuliahku di kawasan Cipete ini. Sandri yang kukenal sejak masa kuliah dengan gayanya yang ajaib dan unik dengan berbagai asesoris menempel di badannya, masih tidak berubah sampai kini. Masih berprofesi sebagai arsitek dan menikah dengan Didit, seorang desainer grafis, mereka mendesain rumahnya dengan nyaman sesuai dengan karakter masing-masing. Walaupun mengusung gaya yang agak mirip, tapi baik Sandri maupun Didit punya ciri khas masing-masing.
Kebetulan Ciki dan Ayu dan Vanessa sepupunya juga sedang berkunjung ke rumah Sandri ketika aku ke sana. “Jadi memang gue ngedesain rumah ini sebagai tempat nongkrong, soalnya kan selama ini suka kalau ketemu, ngobrol-ngobrol di cafe yang asyik gitu. Nah, kenapa nggak suasana ini dipindahkan ke rumah, sehingga selain nggak banyak nongkrong di luar lagi, teman-teman juga betah main ke sini,” jelas Sandri. Benar juga sih, apalagi kami bukan lagi gadis-gadis belia yang bisa begitu saja berkumpul dengan teman-teman, tapi sekarang ada buntut yang sering minta ikut.
Sementara kami berbincang di taman depan, anak-anak berkumpul ramai-ramai di ruang bermain di dalam. Taman ini salah satu lokasi yang ikonik sekali, karena hampir semua teman yang mampir pasti berfoto-foto di sini. Dinding yang ditumbuhi sulur-sulur tanaman merambat menjadi latar belakang taman mungil yang dilengkapi dengan satu bangku taman dari besi tempa. Satu tutup drum dari besi bertuliskan “Don’t fill Your HEAD with Worries” berwarna hijau kuning, kontras tertempel di dinding.
Kalau sedang berkumpul, memang taman ini tempat pemberhentian yang pas sebelum masuk rumah. Kadang-kadang Sandri mengeluarkan peralatan melukisnya supaya anak-anak bisa asyik menuangkan kreativitasnya di situ tanpa mengotori rumah. “Makanya, anak-anak betah main di sini. Bahkan Ayu juga sering menitipkan anak di sini kalau ia hendak rapat selama beberapa jam. Anak-anak sudah akrab banget, sih,” katanya sambil tertawa lebar.
Kami memasuki ruang tamu lewat satu pintu berwarna putih yang menurut Sandri sudah sering berganti karakter. “Kalau gue mau nyoba finishing apa di tempat klien gitu, gue coba dulu di rumah. Kalau hasilnya bagus, baru diterapkan yang benar,” ia bercerita.
Ruang tamu adalah satu tempat yang paling menyita perhatian pertama. Satu sepeda motor tua parkir di situ, dengan dinding berlapis kayu yang berasal dari limbah pabrik gitar. “Waktu gue main ke sana, mata gue liat kayu-kayu ini. Teksturnya kan unik tuh, jadi gue beli aja. Ternyata keren juga ya dipasang di dinding,” Sandri berkisah tentang dindingnya yang juga dipenuhi aneka pernik antik. “Nggak sengaja diniatin juga nyarinya, kadang gue pas lagi jalan-jalan, atau lihat garage sale, nemu yang lucu, dibeli aja,” sambungnya.
Sofa merah, meja lipat dan piano juga ikut mendominasi ruang tamu ini. Kalau tidak berkumpul di luar, teman-teman Sandri suka menghabiskan waktu di sini sambil bersenda gurau. Memang suasana di sini terasa santai dan akrab apalagi sambil mata tak bosan memandang aneka koleksi Sandri dan Didit yang tertempel di dinding.
Ruang berikutnya di balik ruang tamu adalah ruang makan yang dibatasi oleh dinding dengan rangka cable tray. Itu lho, rak tempat meletakkan kabel yang biasanya terletak di mal. Kalau sesekali lewat tempat parkir dan menengok ke atas, cable tray ini pasti kelihatan. Rangka besi ini dilapis karton kardus sebagai sekat antara ruang makan dan ruang tamu. “Supaya aman, ketabrak anak-anak juga nggak apa-apa. Lagipula kalau rusak, murah koq gantinya, ini cuma kardus,” cerita ibu muda dari tiga anak, Arka, Sachi, dan Sabia ini.
Di ruang makan ini juga menjadi pusat kegiatan rumahan, tempat yang dilewati sehari-hari. Selain meja makan besar, juga dilengkapi dengan meja makan kecil untuk anak-anak, lemari buku yang tinggi hingga langit-langit, dan rak tempat menyimpan pernik-pernik dan hiasan rumah.
“Nah, kalau sekat ke kamar anak dan dapur, gue pakai polycarbonat, soalnya kan transparan juga kayak kaca, tapi aman. Ketabrak anak-anak juga nggak masalah,” Sandri menjelaskan dua pintu di ruang makan yang satu menuju dapur dan satu lagi menuju area beristirahat.
Dapur rumah Sandri cukup luas namun simpel, terdapat satu meja panjang berisi kompor, lemari makan, heater, microwave di satu sisi, dan mesin cuci serta papan setrika di ruangan berukuran 4×5 meter itu. Karena dinding-dindingnya yang transparan, cahaya matahari masuk dengan mudah dan menerangi seluruh ruangan.
Di sisi lainnya, aku menemukan ruang bermain anak yang begitu guyub. Satu rak besar dan panjang berisi boneka dan mainan, membuat anak-anak betah memainkan aneka ragam permainan yang merangsang saraf motorik maupun ide-ide kreatif mereka. Pantas saja kalau anak-anak bermain di sini riuh rendah sendiri. Kalau kami sedang berkumpul satu angkatan, anak-anak walaupun baru kenal juga langsung akrab karena permainan-permainan ini.
Sandri menunjukkan kamar anak-anaknya, “Kalau di kamar anak-anak, gue juga pakai dinding dari rangka cable tray dengan penutup polycarbonat. Simpel dan cepat, mudah dibongkar lagi juga.” Satu tenda dome berada di dalam kamar anak beserta tempat tidur susun menjadi satu keunikan lagi dari kamar anak-anak ini. Di ruangan sebelahnya, terhampar satu bed rendah untuk anak-anak tidur juga. “Supaya ada pengalaman tidur yang bermacam-macam,” kata Sandri.
“Rumah ini kan didesain berdua, San. Sempet rame nggak memutuskan maunya siapa?” tanyaku kembali di taman. “Yah, pasti ada berantem-berantem dikit kalau memutuskan apa mau ditaruh di mana. But it just fine, masing-masing punya karakter sendiri dan ternyata bagus juga dikompromikan satu sama lain.”
“Berarti rumah ini semacam dialog antara kalian berdua?”
“Yaaa, that’s it! Rumah ini kan didesainnya tumbuh, ada dialog-dialog di antara kami berdua sejalan dengan perkembangan keluarga kami. Dari ruang waktu kami masih berdua saja, kemudian lahir anak-anak satu demi satu, menjadi dialog yang berbeda-beda yang menjawab kebutuhannya. This is looks like my conversation with my husband,” Sandri menjawab dengan riang tentang rumah yang ditempatinya hampir enam tahun ini. “Didit itu kadang-kadang bisa baca pikiran gue. Waktu ulang tahun, dia kasih gue lemari papan dart game yang keren banget, dan akhirnya gue pakai sebagai tempat naro make up di kamar mandi.”
“Kalau sudut yang Sandri banget dan Didit banget, mana San?”
“Nah, kalau Didit itu yang di ruang kerjanya dia ada lemari mobil-mobilannya, yang nemenin dia kerja juga. Kalau gue itu lemari sepatu-sepatu gue, dan koleksi CD yang di ruang tamu ini.”
“Kadang-kadang memang kami dapat barang, terus dimodifikasi buat jadi apa, di pojok lucu yang bisa dijadikan benda bermanfaat. Nah, ini salah satu sudut favorit buat kalian foto-foto, di bawahnya kursi sutradara, siamese merah dan tahu nggak lampu atas itu tadinya roda becak!” ceritanya makin seru.
Ah, mengasyikkan sekali bincang-bincang dengan Sandri sore itu. Rumah yang hidup beserta penghuni-penghuninya yang begitu mencintai kediamannya, dibangun bagian per bagian dengan penuh rasa. Rasanya tak salah kalau menyebut rumah ini : a happiness conversation.
chitchat at 31.01.2016
written between varanasi-agra-jodhpur-delhi | 26.03.2016
itu rumah yg pernah kamu ceritain ya kak?
koq kek tempat nongkrong yang seru ya
ini rumah temen yang seru banget kak. makanya ngumpul2 juga di sini.
Wah rumahnya rame, banyak cantolan di sana-sini, tapi tetep rapi dan unik. Itu barang2 DIY semua ya kayaknya?
beberapa DIY, atau memang nyari dari sekitar kalau ada sale. tapi yang punya emang kreatip sih..
asik banget nie rumahnya.. kalo boleh tahu ukuran rumahnya berapa kak?
sekitar 200 m2 an lah.
Aku suka banget kamar anaknya ada tendanya. Sama kayak impian rumahku nanti Kak 😀
ihi, aku juga pengen masang tenda di kamar..
Interior rumahnya asyik yaa..
Iya, lucu dan kreatip yaak. Jadi menarik ditulis..
setiap sudut yang punya cerita, love it 😀