“Behind every beautiful thing, there’s some kind of pain.”
– Bob Dylan
Mungkin banyak yang nggak tahu bahwa beberapa tahun yang lalu, ketika aku sedang dalam kondisi unemployed, aku sempat memasang iklan baris di beberapa tabloid yang berkaitan dengan properti, menawarkan jasaku sebagai desainer salon dan spa. Iya, SALON kecantikan maksudnya, walaupun beberapa kali meluruskan rambut tetapi kembali keriting lagi, tapi tetap saja aku suka ke salon untuk sekadar creambath atau lulur.
Bermodal keluar masuk mengamati salon, beberapa kali mendesain spa, dan hasil kursus 3D Studio Max plus rendernya, sebagai lulusan sekolah arsitektur, maka aku nekat pasang iklan baris sebagai desainer interior khusus salon (karena kalau nawarin jasa arsitek banyak banget saingannya). Lumayanlah, pertama dapat klien yang mau aku desainkan meja salon dengan kaca super besar sepanjang dinding (suka banget kaca ini, jadi luas), dan bathub gede dari keramik mozaik yang unyu. Kemudian dari kerabat yang ingin membuka klinik kecantikan di Bogor juga kubantu untuk mendesain dan menata ruangan ruko menjadi sekat-sekat perawatannya. Dan klien berikutnya yang ditangani lebih dari tiga bulan, seorang artis sinetron yang biasa-biasa saja membangun salon tiga lantai di daerah timur Jakarta. Mulai dari penataan ruang, pemilihan material motif kayu, urusan listrik, air, hingga printilan beli hairdryer, hingga akhirnya aku mundur pelan-pelan karena masalah tagihan yang seret (serta kepikiran 24 jam sehari 7 hari seminggu). Dan ketika kantor lama menelepon mengajakku bergabung kembali, aku langsung iyakan.
Dengan demikian berakhirlah karirku sebagai desainer salon.
Nah, walau demikian, aku nggak kapok untuk mencoba-coba salon rumahan yang desainnya agak-agak lucu gitu, sembari mencari capster yang oke (untuk rambut kriting-agak-gede-berombak-kalau-tanggung-aneh), lulur yang nyaman pijatannya (karena kerja sering begadang itu melelahkan, dan perawatan kaki (yang sering berantakan kalau habis naik gunung). Nggak perlulah perawatan super eksklusif ala Krisdayanti atau serbuk emas seperti Rossa. Syukurlah, akhirnya menemukan tak jauh dari rumah yang sekarang, untuk perawatan yang simpel-simpel itu.
Bukan, aku bukan hendak bercerita tentang salonnya.
Jadi, dengan kesibukanku yang luar biasa ini dari proyek ke kampus dan rapat-rapat lainnya, tetiba aku merasa harus menjaga kelembutan tangan dan kaki yang katanya bisa dicapai dengan wax. Apa itu? Yaitu salah satu proses pengurangan rambut-rambut halus pada badan dengan lilin panas (sebenarnya nggak panas, hanya hangat saja). Karena aku belum pernah di-wax, jadi aku kepingin mencobanya di salon yang memang mengkhususkan untuk proses ini, jadi nggak digabung dengan creambath atau lainnya.
Nah, pas menemukan Waxtime, yang berlokasi di Pasar Santa. Asyik kan, sambil gaul sambil nyabutin bulu. Ternyata belum sempat aku ke sana, lokasinya pindah ke Cisanggiri I no 1 di lantai dua, tepat bersebelahan dengan galeri batik. Wah, berhubung pertama kali wax, aku agak deg-degan juga sih.
Waxtime ini menempati salah satu sudut mungil dengan dua bed yang bersebelahan. Ruangannya didominasi warna putih dengan bata ekspose dicat dan warna hijau lembut untuk perabot kayu dan tirai-tirainya. Memang pilihan warna ini menentukan bagaimana pelanggan bisa relax dalam sekat-sekat perawatan ini.
Aku diminta untuk ganti baju dengan kemben sebelum mulai prosesnya. Terapis yang menanganiku sangat terlatih dan membuatku santai. Pertama daerah underarm alias ketiak, dioleskan wax warna hijau lembut dan hangat. Wah, ternyata proses di sini cepat sekali, hanya 10 menit masing-masing kanan kiri. Kukira bakal sakit, tapi ternyata tidak tuh, semacam geli-geli sedikit mungkin karena posisinya saja di situ. Untuk underarm ini memang menggunakan hardwax dari Perancis, jadi bukan karamel begitu, sehingga nggak terlalu sakit.
Berikutnya untuk wax kaki, dengan softwax berwarna ungu muda yang dioleskan melalui semacam tube panas ke kaki. Sesudah cocok dengan suhunya, dan ditunggu kering 1-2 menit, barulah dicabut sreetttt.. Eh, nggak terlalu sakit juga sih, mungkin karena rambut kaki yang agak lembut-lembut ini, nggak seperti rambut yeti yang gondrong dan keriting. Nyeri-nyeri biasalah, tapi demi melihat sesudah itu halus dan licin, jadi perawatan lanjutan selama 20 menit itu memuluskan kakiku. Untuk wax tangan sepertinya lebih cepat lagi, karena luas permukaan tangan lebih sempit dari kaki bukan?
Catatan: sewaktu aku disitu, diputarkan lagu New Kids on The Block yang pastinya earworm banget, bikin suasana makin santai. Ups, ketahuan generasinya.
Jadi total waktu yang dibutuhkan untuk wax ketiak, kaki dan tangan sekitar 60 menit, kira-kira dibagi 3 masing-masing jadi 20 menit. Cukup kan untuk yang kantornya berada di sekitar sini untuk keluar di jam makan siang, balik-balik sudah mulus kakinya? Kalau nggak punya waktu datang ke sini? Masih bisa WOTG alias Wax on the Go, dengan terapisnya yang datang ke rumah kamu asal jaraknya tak lebih dari 15 km dan terjangkau ojek online. Tenang saja, perawatan wax ini ternyata nggak seserem ketemu dokter gigi apalagi ketemu dokter obsgyn.
Lokasi salon wax tidak memerlukan tempat yang terlalu besar, hanya harus nyaman dan dengan pencahayaan yang cukup. Karena treatment-nya pun serius dan bersih, loh. Apalagi Waxtime ini berada di atas Kedai C1n01 yang cukup asyik buat nongkrong-nongkrong. Soalnya, perawatan di sini kan khusus perempuan, jadi kalau misalnya mengajak yayangnya, bisa sambil ngemil atau ngopi di bawah.
Waxtime
Waxing & Relaxing salon for girls
Jl Cisanggiri 1 no 1 Lt. 2 Samping Butik Lelaina, di atas Kedai C1n01
Jakarta Selatan | 08788 0999 209 | 081 991 048 331
Mon-Thur : 9-19, Fri-Sat : 9-20
Sunday: WOTG only
Don’t let the hairs beat u!
Twitter: @waxtime_id
Aku udah lama enggak ngewax. Hahaha. Jadi terinspirasi untuk waxing setelah baca postingan kak indri
wahaha..tambah mulus dong mbak 🙂
Wuaaaa kece bangett foto2nya kakaaak. Boleh bagi fotonya yaaa x))
Btw thanks for sharing ur experience. Can’t wait to see u again! 😘😘😘
boleh banget kak tiwww… moga makin rajin merawat buluuu….