jati meranggas #3 : warna warni ijen

cover

Bagiku waktu selalu pagi. Di antara seluruh potongan 24 jam sehari, bagiku pagi adalah waktu terindah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan, ketika harapan-harapan baru merekah seirng kabut yang mengambang di pesawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan.
~Tere Liye

cerita sebelumnya : jati meranggas #2 : pesisir, jati, dan kopi

Bagi kebanyakan orang, pemandangan yang paling dicari ketika mendaki gunung adalah saat matahari terbit. Saat berada di ketinggian ribuan dpl dan melihat saat sang bagaskara muncul di timur perlahan-lahan benar-benar membuat terpana dan hanya diam, mengagumi kebesaran-Nya. Sinar matahari pagi dengan pemandangan yang indah memberikan perasaan haru dan energi positif yang menyeruak ke seluruh tubuh.

Gunung Ijen dengan puncak 2386 mdpl, salah satu gunung tertimur di pulau Jawa, sebagian masuk di Banyuwangi dan sebagian di Bondowoso, menyongsong fajar lebih dulu daripada daerah-daerah lain di Jawa. Sebenarnya tidak terlalu sulit mencapai tempat ini. Jika memiliki kendaraan pribadi, lewat Bondowoso bisa melewati jalan tengah hutan kami lalui yang sudah aku ceritakan. Kalau melalui Banyuwangi, bisa naik dari daerah Licin terus ke atas sampai Paltuding, start point tempat kita harus mulai berjalan kaki sampai kawah. Kondisi jalan cukup bagus tidak banyak lubangnya, naik mobil biasa (tidak perlu jeep) atau motor bisa terus sampai Paltuding. Apabila tidak naik kendaraan pribadi, bisa ikut dengan truk pengangkut belerang dari Banyuwangi yang akan naik ke Paltuding, atau naik ojek selama hampir 2 jam juga tersedia di desa Licin, Banyuwangi.

Ada beberapa alternatif menginap sebelum naik ke gunung Ijen. Apabila ingin lebih dekat ke starting point, di Paltuding juga tersedia wisma yang bisa diinapi oleh tamu dari jauh, juga ada tanah lapang apabila ingin menggelar tenda di situ. Atau di kawasan perkebunan PTPN XII di wisma Arabica atau di wisma Catimor tempat kami tinggal yang juga bisa melihat proses pengolahan kopi dari dekat. Apabila wisma ini penuh, pihak penginapan akan mendistribusikan tamu-tamu untuk homestay di rumah penduduk, yang merupakan rumah pegawai PTPN XII juga. Pilihan kami menginap di Catimor karena ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi di dekat situ, seperti air panas, pengolahan kopi, melihat pemukiman perkebunan, juga air terjun Belawan yang tak jauh dari situ.

mengejar merah fajar
Di Catimor pagi itu kami terbangun oleh suara alarm kukuruyuk pada jam 3 pagi. Sesudah saling guncang mengguncang tubuh, cuci muka, memakai baju hangat, kami beringsut menuju mobil yang sudah dipanaskan oleh mas Gitar. Anehnya, tak ada tamu yang berangkat juga pada pagi jam setengah empat itu. Apa kami yang pertama berangkat? Ah, sudahlah, begitulah seperti sehari sebelumnya di Bromo, kembali kami berencana memandang sunrise di puncak Ijen.

Setelah sempat salah jalan sekeluar dari pos, kami pun meluncur menuju Paltuding di tengah sepinya pagi dini hari itu. Beberapa kali kami bertemu musang di tepi jalan di tengah hutan itu. Hanya satu pos penjagaan tempat kami sholat subuh tempat kami lapor sebelum sampai di start point Gunung Ijen itu.

Akhirnya kami sampai di jam 04.20 pagi. Titik awal pendakian Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen terletak di Paltuding, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Setelah membayar retribusi masuk sebesar Rp 2000,- per orang, aku menanyakan pada petugas, ”Bisa melihat Blue Fire, Pak?”, karena juga ingin sekalian berkunjung ke sumber api abadi di Ijen itu. Namun sayang sekali, karena Blue Fire hanya bisa dilihat saat gelap gulita, maka seharusnya kami jalan jam 1 pagi. Kalau sekarang sudah terlambat, karena matahari sudah hampir terbit, katanya. “Cuma boleh sampai crater-nya saja ya, nggak boleh turun ke kawah,” paparnya sambil melanjutkan bahwa perjalanan ke puncak Ijen kira-kira 2 jam berjalan kaki. Menurut papan petunjuk, jaraknya hanya 3 km, namun tanjakannya cukup lumayan.

papan penunjuk arah di Paltuding
papan penunjuk arah di Paltuding

Kami berjalan bersama beberapa penambang belerang yang hendak ke kawah juga. Ada satu yang menemani kami, bercerita bahwa ia tinggal di Banyuwangi. Setiap hari ia ke Paltuding naik motor untuk menambang belerang. Pikulannya masih kosong. “Berapa rit sehari, mas?” tanyaku penasaran. “Bisa dua tiga rit naik turun mbak, tergantung kekuatan,” jawab mas yang mengaku sudah menambang di sini sejak remaja. Karena aku belum tahu seberat apa sepikulan belerang itu, maka aku hanya mengiyakan jawabannya. Udara masih dingin menusuk. Aku yakin, dengan banyak berjalan akan lebih menghangatkan badan. T-shirtku berlapis sweater dan ditutup raincoat di luarnya. Cukup hangat untuk menahan hawa dingin.

patok ketinggian, dan penambang belerang yang menemani.
patok ketinggian, dan penambang belerang yang menemani.

Samar-samar langit yang tadinya kelam mulai tampak terang. Kami mulai curiga, nggak bakal dapat sunrise di puncak ini, sih! Rupanya benar, kami kena kutukan Bandung Bondowoso. Lokasi Ijen yang lebih timur dari Bromo membuatnya menerima mentari pagi lebih dulu. Jam belum menunjukkan pukul 5 pagi. Kami masih sepertiga perjalanan menuju puncak. Warna jingga mulai bersemburat di balik bukit di timur. Jam 04.56, langit benar-benar sudah terang benderang. Jika ini tantangan Loro Jonggrang untuk Bandung Bondowoso, ini sudah kalah. Jika saja ini legenda Sangkuriang, ia pun sudah menendang perahunya. Dua legenda laki-laki yang kalah oleh ayam berkokok pemanggil terbitnya matahari.

Agak kecewa karena salah perkiraan waktu, akhirnya kami memutuskan untuk berfoto-foto di jalan. Lagi pula, kondisi jalan yang berpasir dan terus menanjak cukup menguras stamina. Mas Gitar yang asyik mengobrol dengan penambang batubara sudah tak nampak batang hidungnya. Padahal dia hanya bersandal jepit saja. Kok jalannya bisa cepat, ya? Ya sudah, karena tak ada lagi sunrise yang akan kami buru-buru, jadi kami berjalan-santai-santai saja.

track jalan menuju puncak yang cukup lebar
track jalan menuju puncak yang cukup lebar

Namun karena aku merasa nafasnya masih ada, (maksudnya masih kuat jalan), maka aku minta ijin pada yang lain untuk jalan duluan. Takutnya kelamaan istirahat bikin tenaga drop lagi. Di jalan bertemu juga dengan dua orang yang mendaki dan terpisah dari rombongannya karena kecapekan. Lebih depan lagi, ketemu dengan serombongan ABG yang sedang terengah-engah dengan perlengkapan seadanya, bahkan ada yang memakai flatshoes untuk jalan ke gunung begini.

Track menuju kawah cukup lebar, kira-kira tiga meter lebarnya, sehingga memudahkan untuk menyusul menyalip orang yang berhenti di tepian. Sesekali kami bertemu pikulan kosong yang entah di mana penambangnya. Kadang juga bertemu dengan penambang berpikulan penuh hendak turun ke pos Paltuding.

Tak lama aku berhasil menyusul Mas Gitar. “Ini dua kalinya Bromo ya, Mas?” senyumku melihat wajahnya yang sudah memerah kecapekan. “Wah, ini sih empat kalinya, Mbak!” sambil tertawa. Penambang belerang yang bersamanya mengatakan kalau sebentar lagi kita akan sampai di ‘kantin’. Owh, senangnya hatiku, berarti di situ ada tempat istirahat, “Kalau mau ngopi-ngopi juga bisa, Mbak.”

Ternyata yang disebut ‘Kantin’ itu adalah pos penimbangan belerang yang diangkat dari kawah Ijen sebelum dibawa turun. Di sini belerang ditimbang dan penambangnya diberi nota. Di bawah, di Paltuding, jumlah belerang itu ditimbang lagi untuk dan dicocokkan beratnya dengan yang ada di nota. Belerang ini berwarna kuning cerah, hampir sewarna dengan jaketku. Terdapat timbangan dacin yang dipakai untuk menimbang belerang-belerang tersebut. Kucoba mengangkat pikulan yang tergeletak di tanah. Ough, tak sedikitpun bergerak. Aku meringis.

“Mbak Indri, mbak Indri!” Terdengar sapaan seorang perempuan dari atas. Hwah, siapa yang memanggil, ya? Masa iya aku seterkenal itu sampai ada yang mengenali? Kawan-kawan kan masih di bawah. Aku melihat sosok yang memanggilku, ternyata… ”Fitri! Ngapain di sini?”

Itu Fitri Rosdiani, seseorang yang kukenal di acara bedah buku di Bandung beberapa bulan sebelumnya, sesama tukang jalan juga sepertiku. Ia berada di Ijen bersama teman-temannya untuk menghabiskan long holiday juga. Kemarin ia baru dari Pulau Sempu, dan akan melanjutkan perjalanan ke Baluran. Benar juga kata seorang teman, dunia ini sempit untuk seorang petualang. Nggak menyangka ketemu seorang teman di lokasi yang sejauh dan setinggi ini. Kami sama-sama tidak tahu akan menuju titik yang sama dan akhirnya bisa bersilangan di sini. Tertawa-tawalah kami yang terakhir ketemu di Socmedfest Senayan, sebulan sebelumnya dan tidak bercerita apa pun tentang rencana perjalanan di long holiday ini.

ketemu Fitri, timbangan dacin, dan bongkahan belerang.
ketemu Fitri, timbangan dacin, dan bongkahan belerang

Usai berfoto-foto dengan Fitri sebagai tanda bukti pernah bertemu di ketinggian itu, tak lama Herdian datang sendiri, disusul Sansan dan Adhib. Herdian langsung masuk ke kantin dan memesan kopi karena mengantuk katanya. Aku sumringah melihat Sansan yang membawa perbekalan kami sehingga langsung meminta sebotol air minum karena sudah kehausan. Ini sebenarnya contoh yang tidak boleh. Seharusnya kami membawa perbekalan minum sendiri-sendiri supaya tidak mereporkan yang lain. Namun sisa ruang di tas kameraku malah terisi penuh oleh lensa 50-200 mm yang baru kubeli beberapa waktu sebelumnya.

Dasar PNS yang masih hobi upacara, melihat bendera merah putih Sansan dan Adhib berpose menghormat bendera. Aku dan Herdian terkikik geli mengambil gambar-gambar dari berbagai posisi. Kemudian kami juga berfoto bersama di depan gedung kantin itu yang bertuliskan PT Candi Ngrimbi, Unit I Belerang Banyuwangi.

Penambang belerang mulai berdatangan dari atas. Beberapa turis bule sontak memotret mereka. Penambang dengan pikulan belerang penuh, sepatu boot, topi kupluk, dengan wajah kemerahan ditimpa sinar matahari itu mendaratkan hasil pekerjaannya di sebatang kayu melintang setinggi kira-kira 100-an cm. Mereka beristirahat menunggu giliran menimbang. Ada beberapa bangunan di sini. Selain kantin juga ada beberapa rumah jagawana yang bertugas di titik ini. Kabarnya, di Ijen ini masih ada harimau kumbang yang masih berkeliaran. Kalau masuk pelosok-pelosok hutan, masih mungkin melihat kijang yang juga jadi sasaran buruan pemburu yang kami temui tadi malam.

Sansan mencoba mengangkat satu pikulan belerang. Wah, ternyata cowok berbobot 80-an kg ini kuat mengangkat sepikulan belerang dan bertahan berpose selama kira-kira…. 1 menit. Waktu aku dan Adhib minta ia untuk berpose lagi, ia langsung menolak dengan keras. Tak lama istirahat kami dirasa cukup, lalu kami mulai berjalan lagi. Mas Gitar sudah menghilang lagi ke atas seusai memotret kami berempat. Jam baru menunjukkan pukul 6 pagi.

PNS teladan dan PNS jagoan
PNS teladan dan PNS jagoan

hijau danau
Jalanan dari pos penimbangan sampai kawah ijen sudah tak terlalu jauh lagi katanya. Lebar track menyempit menjadi hanya 1.5-2 m, sehingga tak mungkin lagi kami berjalan berderet, harus satu-satu. Aku membiarkan Sansan, Adhib, dan Herdian jalan duluan karena aku banyak mengambil foto. Eh, tapi tak lama kemudian aku berhasil melewati mereka juga dan malah berjalan berdua dengan seorang turis cewek bule berasal dari Polandia. Dia bercerita bahwa ia dari Bali, dan sore ini berangkat ke Bromo. Ia gembira mengetahui bahwa aku baru dari Bromo kemarin. “Bromo is easier than this,” ceritaku. Matanya berbinar, “Oh, really? That’s good!” Ia terengah-engah mendaki tanjakan ke atas. Sudah ada beberapa orang yang turun dari atas. Mungkin mereka yang naik sejak jam 1 pagi dan sudah menikmati sunrise. “Sudah dekat mbak, di atas jalannya datar,” sapa mereka. Fiuuh, senang mendengarnya. Jalanan sudah agak mendatar. Berulang kali kami bertemu dengan penambang belerang yang sudah mulai turun gunung membawa hasil kerjanya.

jalan mulai mendatar
jalan mulai mendatar
penambang belerang turun
penambang belerang turun

Benar, tak lama jalanan sudah mendatar dan kami bisa berlarian dengan riang sambil berfoto-foto. Di kejauhan tampak punggungan Ijen Crater yang melengkung. Sekitar jam 06.30 kami sudah sampai di tepian danau belerang di tepian kawah Ijen. Pemandangan di sini sangat luar biasa indah. Di depan kami adalah kaldera dengan danau berwarna hijau toska yang berasap menyemburkan panas belerang. Terkadang ada gelembung-gelembung dari danau, pertanda ada panas uyang tersimpan di dalamnya. Langit biru membentang di atas, di belakang ada pemandangan pegunungan Ijen dengan hijaunya hutan membentang. Bukit-bukit batu kapur cadas berwarna putih membingkai sekeliling danau tersebut dengan cantik. Gunung Ijen ini termasuk gunung berapi yang masih aktif. Meskipun letusan terakhir sudah terjadi hampir setengah abad yang lalu, namun dengan peningkatan aktivitas vulkanis di beberapa gunung di Pulau Jawa membuat harus selalu memantau gunung ini juga.

dataran ijen crater
dataran ijen crater
punggungan kawah
punggungan kawah
kawah hijau dan danau belerang
kawah hijau dan danau belerang
jalur  penambang belerang
jalur penambang belerang

Aku dan Sansan teringat film Rayya, salah satu film terakhir yang dibintangi Titi Sjuman dan syuting di tepian kawah ini juga. Di situ, Titi Sjuman berpose dengan gaun off shoulder membaca puisi di tengan bebatuan cadas tersebut. Haduh, apa tidak dingin, ya? Pikirku sambil merasakan angin pegunungan yang berhembus sejuk cukup kencang. Aku sudah melepas sweaterku dan hanya melapisi T-Shirt yang kupakai dengan raincoat berwarna kuning cerah. Sempat juga aku berfoto dengan sweater yang bertuliskan kamuka parwata itu, organisasi alam yang aku ikuti di kampus dulu.

Lagi-lagi terinspirasi gaya Rayya, aku dan Sansan mencoba membacakan cerita dari buku karya Seno Gumira Ajidarma yang kubawa. Beberapa orang menontoni kami yang asyik berdeklamasi bergantian. Tapi sesudah melihat hasil rekaman dan tidak terlalu bagus (suara kami, maksudnya) jadi akhirnya kami duduk-duduk saja di batu-batu cadas itu sambil menikmati angin yang lebih dari semilir. Setermos coklat panas yang dibawa dari bawah menemani kami yang bergantian minum dari tutupnya.

membaca cerpen
membaca cerpen

bongkah kuning belerang
Penambang-penambang belerang mulai berlalu lalang di atas tepian kawah 3-5 m itu. Beberapa di antara mereka menawarkan suvenir berupa pernik-pernik kecil dari belerang. Tak seperti di Bromo, tepian kawah ini sangat lebar sehingga nyaman berfoto-foto. Dasar, bakat narsis memang susah hilang.

Kami berjalan sampai agak ke ujung tempat turunan menuju kawah penambang-penambang belerang itu bekerja. Dasarnya tampak kekuningan menghampar. Beberapa penambang menawarkan jasa mengambilkan foto blue fire yang ada di kawah belerang. Beberapa dari mereka juga memperlihatkan foto blue fire yang ada di ponsel yang mereka bawa. Namun kami tidak tertarik. Herdian mulai mengeluarkan lensa tele super panjangnya untuk memotret aktivitas penambang di jauh di bawah sana.

dasar tambang belerang jauh di bawah
dasar tambang belerang jauh di bawah
tambang, danau dan kawah
tambang, danau dan kawah

Ketinggian antara tempat kami duduk dengan lokasi tambang belerang tersebut sekitar 100 m. Penambang-penambang itu terlihat menyemut di bawah sana. Di bawah sana penambang masih harus turun lagi untuk mendapatkan belerang yang berbongkah-bongkah, maupun belerang cair yang mereka cetak untuk dijadikan souvenir. Beberapa dari mereka mengenakan masker untuk menahan bau sulfur yang begitu menyengat.

penambang yang baru naik
penambang yang baru naik

Di ujung sebelum turunan, ada penjaga yang tidak mengijinkan wisatawan untuk turun ke kawah belerang. Memang baunya mulai menyengat sekali. Kalau turun nanti dikhawatirkan tidak kuat naik lagi karena tingginya tanjakan. Hebat memang penambang-penambang itu, bisa naik lagi ke atas dengan beban penuh. Berarakan mereka muncul dari ujung jembatan, membawa pikulan berisi bongkahan-bongkahan kuning itu. Sesampai di atas mereka beristirahat sejenak dua jenak, baru melanjutkan perjalanan lagi sampai pos penimbangan dan pos Paltuding.

bercengkrama
bercengkrama

turun
Sewaktu sedang mengobrol-ngobrol dengan beberapa pemandu turis bule di tepian kawah, salah satu memberitahu kami bahwa kalau ingin ke Meru Betiri sebaiknya jalan jam 10 supaya tidak kemalaman, karena jalannya masuk hutan. Waduh, kami saja belum tahu jeep mana yang bisa membawa kita ke Meru Betiri. Dan jam sudah menunjukkan pukul 08.40, padahal kami masih di puncak. “Yuk, balik deh,” ujar Sansan. Aku mengambil foto dulu sebelum akhirnya kami meninggalkan tempat yang indah itu.

kenangan indah
kenangan indah
punggungan tepi
punggungan tepi
goodbye (foto oleh sansan)
goodbye (foto oleh sansan)
menuju pulang
menuju pulang

Di jalan yang yang masih datar itu kami berjalan cepat. Aku dan Herdian duluan sementara Sansan dan Adhib di belakang. Kami tidak banyak berfoto-foto lagi karena sudah banyak di perjalanan berangkat tadi. Mas Gitar sudah turun sejak tadi rupanya. Rupanya, aku dan Herdian terlalu cepat sehingga kami menunggu cukup lama di pos penimbangan. Lumayan sih buat istirahat. Di situ banyak penambang belerang yang menggelar jualannya berupa suvenir-suvenir lucu. Sementara aku memilih-milih, Sansan dan Adhib tiba. Aku minta mereka jalan duluan karena kupikir pasti aku bisa menyusul. Aku memilih dua suvenir untukku dan Adhib. Sebenarnya harga yang ditawarkan Rp. 3000,- tapi karena tidak tega melihat betapa lelahnya mereka naik turun membawa belerang, aku berikan Rp. 10.000,- untuk dua buah suvenir motif kura-kura.

suvenir belerang
suvenir belerang

Menyusul mereka, aku setengah berlari turun menyisiri medan berpasir itu. Untung sepatu gunung yang kukenakan cukup nyaman dan lentur untuk berlarian seperti ini. “Hei, hei, be careful!” seru seorang bule yang sedang beristirahat di satu tikungan. Aku berhenti dan tersenyum padanya. Ia bertanya apakah aku orang Indonesia dan kuiyakan. Ketika aku bilang bahwa aku tinggal di Jakarta dan baru pertama kali ke Ijen, ia heran.
“But you’re Indonesian. Is this your first time here?”
Aku mengernyitkan dahi. Pertanyaan macam apa itu?
“Jakarta is more than 1000 km from here,” ujarku agak gondok. Mungkin ia tak tahu kalau Indonesia ini memang luas sekali, dibanding negaranya. Jadi ia kira ke tempat-tempat wisata selalu mudah dicapai.

Aku melambaikan tangan padanya karena harus segera menyusul teman-teman yang sudah di depan. Tak berapa lama Sansan dan Adhib tersusul. Namun karena kakiku rasanya masih gatal berlari, aku lanjutkan sampai bawah. Sepuluh menit kemudian aku bertemu Herdian. Lalu karena capek, akhirnya kami jalan santai saja sampai pos Paltuding. Di sana mas Gitar sudah asyik beristirahat di mobil, ditemani alunan lagu dangdut yang cukup keras.

“Mbak, tadi tanya-tanya ke sekitar sini, kalau mau ke Banyuwangi, jalannya putus di Erek-erek. Sedang diperbaiki, digali sedalam 15 m,” info dari mas Gitar. Sambungnya, ”Kalau mau sampai sana, terus sambung jalan kaki di hutan 1 km, baru di ujung jalan yang diperbaiki itu ada jeep yang mau membawa ke Meru Betiri. Kalau tidak lewat situ, kita kembali lewat jalan yang kemarin, terus ke Banyuwanginya memutar dari Situbondo.”

Waduh, jauh juga ya memutarnya. Sesudah Adhib dan Sansan turun dan kita rembukan sejenak, akhirnya diputuskan untuk ikut alternatif pertama saja. Jalan kaki satu kilometer, apa susahnya, sih. Lagipula, ngapain kita bawa-bawa ransel kalau nggak ada acara berjalan menggendong ransel itu. Kami kan nggak mau manja.

“Oke, mas Gitar. Kita pilih nanti jalan kaki saja satu kilometer!”

perjalanan tanggal 18 November 2012
ditulis di mana-mana, diedit di rumahkentang.
12.58. 14 Februari 2013. valentine’s day.

bersambung ke jati meranggas #4 : air terjun sampai ke laut

18 thoughts on “jati meranggas #3 : warna warni ijen

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.