jati meranggas #5 : meru betiri, surga bersembunyi

cover

The beach is not a place to work; to read, write or to think.
― Anne Morrow Lindbergh, Gift from the Sea

cerita sebelumnya : jati meranggas #4 : air terjun sampai ke laut

Sebenarnya aku agak malu mengakui, bahwa Meru Betiri yang menjadi impianku adalah semacam ‘penaklukan’ atas Pulau Jawa karena sudah menjejak dari barat sampai akhirnya timur. Walau ternyata aku salah, karena masih ada Pantai Plengkung di semenanjung timur sana, namun memang sepertinya Sukamade bisa menjadi awalan.

Ketertarikanku lebih dengan lokasi ini ketika tahun 2005 naik pesawat menuju Bali. Beberapa menit sebelum mendarat di Bandara Ngurah Rai, tampak garis pantai Jawa Timur bagian selatan, dengan pasir putihnya yang indah. Saat itu timbul di hati kecilku yang sudah sering melintas jalan-jalan di Pulau Jawa sejak kecil, satu saat aku akan ke Meru Betiri untuk melengkapi peta perjalananku. Awal timbulnya sudah sejak kuliah aku sudah ingin ke sini, untuk alasan itu, bahwa kaki menaklukan Pulau Jawa ujung ke ujung.

Info tentang lokasi ini di kalangan teman-teman minim sekali. Dari milis, forum, teman dekat, alumni pencinta alam, tak satu pun yang kukenal pernah ke sana. Tak kusangka, ketika aku sedang merencanakan perjalanan ini, aku menulis di twitter whislistku di Pulau Jawa adalah Meru Betiri, kak Nungki Prameswari, seorang dokter gigi yang kukenal lewat twitter me-reply : mampir Pantai Sukamade..

Uwaaah, ternyata ada juga yang tahu di mana Meru Betiri itu berada. Tapi berhubung baru kenal lewat twitter, maka aku tak berani rese dan bertanya-tanya lebih jauh. Namun, reply singkat itu makin menguatkan tekadku untuk tetap fokus pada tujuan Meru Betiri. Biarpun kiri kanan menawarkan ke Pulau Sempu atau Pantai Papuma di Baluran, aku tetap kekeuh ingin ke Meru Betiri. Uci, salah satu temanku yang ternyata pernah ke sana mengingatkan bahwa ke Meru Betiri harus menyewa jeep yang cukup mahal karena supirnya harus yang tahu medan.

Ketika membuka situs http://www.merubetiri.com aku mendapati bahwa begitu banyak hal menarik yang bisa kudapat di tempat ini. Ada pantai Bandealit yang ada hutan dengan bunga Raflesia Arnoldi, dan wisata susur sungai dengan perahu, juga ada pantai Sukamade tempat panangkaran penyu. Setelah sempat melongok-longok beberapa situs agen travel di Malang, lebih banyak yang menawarkan ke Sukamade. Teringat reply kak Nungki dan pertimbangan waktu jalan yang lebih mudah dijangkau, akhirnya kutetapkan Sukamade sebagai titik yang ingin kukunjungi di Meru Betiri.

meru betiri

kontak
Di situs resmi Taman Nasional Meru Betiri maupun agen travel dijelaskan bahwa di Pantai Sukamade terdapat wisma tamu untuk pengunjung yang datang. Masalahnya adalah, mana kontaknya? Tidak ada nomor di Sukamade yang bisa dihubungi. Tidak ada teman juga yang berlokasi di sana untuk mencari-cari info. Satu-satunya nomor kontak adalah kantor Taman Nasional yang berlokasi di Jember.

Akhirnya aku memutuskan harus benar-benar mulai membuka jalur kontak. Tiket sudah dibeli, itinerari Bromo – Ijen – Meru Betiri sudah disiapkan, mau tak mau harus diusahakan bagaimana menginap semalam di situ. Mulailah aku menelepon kantor Taman Nasional di Jember. Ternyata mereka cukup ramah dan antusias, kemudian menyambungkanku dengan Pak Ali, salah seorang ranger yang bertugas sore itu ke Sukamade. Pak Ali mengatakan benar bahwa ada wisma tamu di sana, dan akan dicek ketersediaan kamarnya. Ia berkata bahwa di Sukamade tak ada sinyal ponsel, makanya tak ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Ia berjanji minggu depan akan memberi kabar sekembalinya dari Sukamade.

Namun setelah ditunggu-tunggu lama tak ada kabarnya, akhirnya aku menelepon lagi ke Jember dan mendapat nomor kontak lain yaitu Pak Zulkadri yang tinggal di Sarongan, kira-kira 1-2 jam sebelum Sukamade. Akhirnya, atas pertolongan beliau kami mendapat kepastian soal kamar yang akan ditempati di Sukamade. Sebenarnya kualitas kamar tak jadi soal, asal bisa untuk istirahat saja. “Di pos ranger pun nggak apa-apa kok, Pak,” ujarku mengingat pokoknya kami bisa menginap. Namun ternyata kami berhasil dibookingkan 2 kamar ekonomi seharga masing-masing Rp. 100.000,- semalam, dengan kasur untuk 2 orang.

foto0a

foto0b

penyu malam
Karena banyak halangan ketika turun dari Ijen, kami baru sampai di wisma Sukamade sekitar jam 8 malam, dengan jeep sewaan dari Banyuwangi seharga Rp. 1,4 juta pulang pergi. Penjaga wisma tersebut sudah menunggu kami sejak sore rupanya. “Kirain nggak jadi datang, mbak. Sudah kemalaman, makanya ditinggal oleh rangernya,” jelasnya pada kami ketika kami tiba dan ranger baru berangkat 15 menit sebelumnya. Tapi bisa disusul, kan? Ternyata bisa, apabila kami menyusur pantai, pasti ketemu dengan ranger-ranger ini.

Ya sudahlah, sambil menunggu masakan bisa dimakan, aku, Adhib, Herdian dan Sansan memutuskan untuk berjalan ke pantai. Sesudah membereskan barang-barang kami di kamar yang tak ber-AC itu, kami berjalan ramai-ramai ke pantai bersama dengan serombongan penumpang Toyota Land Cruiser yang mengikuti mobil kami sejak Pesanggaran.

Sebelum berjalan ke pantai yang berjarak sekitar 700 m dari wisma itu, kami dipesan untuk tidak menyalakan senter atau lampu apa pun di pantai, karena akan membuat penyu takut mendarat. Jadi aku menyalakan senter pun diarahkan ke bawah, supaya tidak menyorot depan kalau tahu-tahu sampai pantai. Rombongan Land Cruiser itu ternyata terdiri dari seorang bapak dan istrinya yang masih nampak muda, dua orang anak lelaki remaja, bayi 1 tahun dan pengasuhnya. Ternyata bapak itu menyetir sendiri mobilnya sejak Surabaya sampai Pantai Plengkung, di timur Sukamade, kemudian di perjalanan pulang, kepengin mampir Sukamade. “Saya dinas di Papua dan biasa nyetir mobil di tengah hutan,” ceritanya, ketika Herdian mengomentari hebatnya ia bisa membuntuti cara menyetir supir kami yang lincah di hutan beberapa jam sebelumnya.

Sayup-sayup terdengar suara ombak memecah pantai. Kami mematikan semua senter dan lampu ponsel dan mulai membiasakan mata dengan remang malam. Langit sedang cerah dan ada ribuan bintang berserakan di langit. Perlahan sandal jepit mulai menabraki pasir. Di ujung jalan setapak itu, ada belasan orang yang duduk-duduk di tepi pantai menunggu kemungkinan penyu datang bertelur. Mereka semua duduk di atas terpal dan berjaket menunggu panggilan dari ranger apabila kemungkinan ada penyu yang mendarat untuk bertelur.

Tadinya kami mau ikut duduk-duduk, tapi karena takut bosan, ketika ditunjukkan bahwa ranger ke arah timur, kami memutuskan untuk menyusuri pantai ke arah timur saja. Tampak lampu senter berkelip di kejauhan. Jadilah kami berjalan kaki di atas pasir yang dingin itu untuk menyambangi ranger penyu yang sedang patroli. Mendengar deru ombak di kanan memecah pantai dan siluet hutan di kiri, membuat agak jeri. Karena cuaca cerah maka tidak surut langkah kami untuk terus berjalan di pantai yang gelap gulita itu.

Malam itu pantai selebar kira-kira 20 m sepi. Kami mencoba melihat pasir adakah jejak yang ditinggalkan oleh ranger tersebut. Kira-kira selang 10 menit ada lampu senter yang berkedip di ujung pantai. Apakah ranger itu di sana? Kami terus berjalan menyusur sambil agak cemas, kalau kembali nanti, apakah kami bisa menemukan bukaan jalan setapak untuk kembali ke wisma? Ada pohon besar sih sebagai penandanya, tapi bukankah pohon besar itu ada di mana-mana? Ah, sudahlah. Kami tidak memikirkan lagi, kalau ketemu ranger, tentu kami tidak akan tersesat.

Sesekali kami lihat jejak panjang di pasir seperti dari batang kayu yang digoreskan. Ah, belum terlihat orang lain, mungkin juga ini jejak ranger. Kedip lampu di ujung timur pantai masih sesekali terlihat. Terlihat kapal pencari ikan dengan lampu-lampunya di laut. Kami masih berjalan santai. Rasanya sudah setengah jam lebih ini berjalan kaki di atas pasir. Tahu-tahu kami melihat dua sosok berbaju hitam yang sedang duduk-duduk di pantai sambil merokok membelakangi laut. “Ranger ya, mas?” tanya Sansan.

Ternyata benar mereka ranger yang sedang patroli menyusuri pantai ini. “ Kok menyusul ke sini? Nggak menunggu saja di sana sama yang lain? Kalau ada penyu naik bertelur, nanti dikabari,” katanya. Loh, memangnya sempat? Begitu tanyaku karena kupikir waktunya pasti pendek. “Penyu kalau bertelur sekitar tiga jam. Kalau dia naik ke darat ia akan menggali pasir untuk sarang bertelurnya, baru kemudian berdiam untuk bertelur yang banyak,” jelasnya. Oo, ternyata lama. Pantas masih ada waktu untuk duduk-duduk menunggu si penyu.

“Sekarang agak jarang penyu bertelur di Sukamade. Penyebabnya karena banyaknya kapal-kapal nelayan yang mencari ikan di sekitar teluk ini. Karena kapal-kapal itu memasang lampu yang sangat banyak di kapalnya, lokasi perairan menjadi terang. Penyu menjadi takut untuk mampir karena ia tidak suka cahaya. Karena itu di pantai dilarang menyalakan lampu supaya kondisi pantai diharapkan tetap gelap gulita untuk membuat kondisi sealami mungkin untuk penyu mendarat,” sambungnya.

“Kalau telur penyu itu dibawa ke penangkaran buat apa, mas? Kenapa tidak dibiarkan menetas alami di pantai?”

“Di sini banyak babi hutan atau nelayan bertangan jahil yang suka mencuri telur-telur penyu. Karena itu kami selamatkan dengan membawa ke penangkaran. Sekali bertelur bisa 100 telur, namun kemungkinan hidupnya kecil sekali. Setelah ada penangkaran, jumlah persentase telur penyu yang berhasil ditetaskan menjadi bertambah.”

Lamat-lamat di timur masih terlihat lampu senter berkedip. Ternyata lampu yang sejak tadi kami lihat bukanlah lampu senter para ranger ini. Seharusnya memang tidak ada cahaya supaya memperbesar kemungkinan penyu mendarat, sambil mengira-ngira, ”Mungkin itu nelayan atau pencari udang di karang-karang di ujung sana.”

Tak lama dari walkie talkie terdengar bahwa ada penampakan penyu di sektor pantai yang dijaga Pak Wartono, ranger kepala di pantai Sukamade. Kami berjalan kembali ke arah datang bersama dua ranger penyu itu sambil masih mengobrol dengan mereka. Biasanya mereka tinggal di Sukamade seminggu kemudian kembali ke Jember untuk beristirahat 2 hari, lalu kembali lagi. Kami ditunjukkan jejak penyu yang berupa lintasan melengkung dari laut ke darat dan ke laut lagi. Tak lama kami berjalan, kami bertemu Pak Wartono. Ia mengabar kalau di sektor barat ada penyu yang terlihat naik ke darat.

Kedua ranger itu meneruskan perjalanan ke darat sementara Pak Wartono beristirahat bersama kami. Ia menjelaskan, bahwa pantai Sukamade ini panjangnya 2,3 km dan dibagi-bagi menjadi sektor-sektor untuk ranger berpatroli menunggu penyu bertelur. Rupanya tadi ia melihat penyu naik ke darat dan mungkin mencari tempat bertelur. Karena jalan penyu lambat maka ia memutuskan untuk berjalan-jalan dulu. Aku melanjutkan mengobrol dengan Pak Wartono tentang kemungkinan untuk kelompok Pencinta Alamku ke sini dan kegiatan apa yang mungkin dilakukan. Katanya, ada banyak yang bisa dilakukan, bisa menanam bakau, pelatihan penangkaran penyu, mengeksplorasi hutan tepi pantai, dan kegiatan dengan warga pekebun kopi di permukiman Sukamade.

Pak Wartono pamit untuk meneruskan patrolinya ke arah timur. Kami sempat beristirahat sejenak di situ sambil tidur-tiduran di pantai mendengar suara ombak. Namun badan gatal-gatal dan udara dingin beserta perut yang mulai lapar agak mengganggu kenyamanan itu. Untunglah Pak Wartono tidak lama perginya. Ketika ia kembali, ia mengabari bahwa penyu yang tadi naik sudah kembali lagi ke laut, dan tidak bersiap bertelur. Meskipun kami agak kecewa karena malam itu tidak beruntung menemukan penyu, tapi kami senang karena mendapat banyak cerita dari ranger tersebut.

Karena kami berjalan dengan ranger, tidak sulit menemukan bukaan jalan di pantai untuk kembali ke wisma. Kembali kami memasuki hutan sejauh 700 m tanpa menyalakan lampu. Tak lama kami sudah sampai pekarangan wisma dan masuk ke warung menanyakan pesanan makanan tadi. Sudah jam 11 malam rupanya. Mbak penjaga warung memasakkan kami tumis kangkung dan telor dadar beserta tempe goreng. Karena lapar karena terakhir makan di jam 3 sore, kami makan dengan semangat sambil mengobrol dengan Bapak pemilik Land Cruiser yang baru tiba juga 10 menit sebelum kami di wisma. Ia menginap di kamar VIP di seberang kamar kami. Tak lama masuk ke kamar, kami beres-beres dan bersiap tidur, sambil janjian untuk melihat sunrise di timur pagi hari nanti.

tukik pagi
Pagi harinya, seperti sudah diduga, kami bangun kesiangan lagi. Sebenarnya kami bangun tepat alarm berbunyi jam 5 pagi, tapi lagi-lagi matahari mendahului. Tentulah aku dan Adhib yang cewek dengan rajin bangun duluan, kemudian menggebah Sansan dan Herdian di kamar sebelah yang masih terkantuk-kantuk.

Usai sholat shubuh dan cuci muka, bergegas kami berjalan ke penangkaran penyu untuk mengikuti acara pelepasan tukik (anak penyu). Tampak beberapa grup yang semalam tidak kami temui karena gelap beramai-ramai berdiri di samping bangunan yang dijadikan tempat pengeraman telur penyu.

Setelah Pak Wartono datang, ia membawa kami masuk untuk melihat pengeraman telur. Ada ratusan telur terkubur pasir di bak rendah yang dibangun di dalamnya. Terdapat beberapa burung rangkong yang juga ditangkar di tempat ini. Burung-burung bersuara cukup berisik ini hanya berjalan-jalan di tepian bak pasir telur.

telur penyu yang masih dikubur
telur penyu yang masih dikubur
tukik muda yang baru menetas
tukik muda yang baru menetas
burung rangkong
burung rangkong

Kemudian kami berpindah ke bangunan sebelah. Terdapat bak-bak berisi tukik dengan usia yang bermacam-macam. Tukik dijadikan satu dalam satu periode penetasan. Bak terakhir yang kami lihat adalah tukik-tukik yang siap dilepas ke lautan. Aku mencoba mengangkat tukik-tukik mungil itu, terasa lunak di bagian dadanya, namun cangkang punggungnya sudah mulai mengeras.

tukik yang beradaptasi dengan air
tukik yang beradaptasi dengan air
tukik siap dilepas
tukik siap dilepas

Pak Wartono memberi kami seember tukik yang akan dilepas. Sansan sudah girang setengah mati melihat tukik-tukik itu memanjat-manjat dinding ember menuju kebebasannya. Ia menenteng ember sambil mengajak ngobrol tukik-tukik tersebut.

seember tukik
seember tukik
sumringah menenteng tukik
sumringah menenteng tukik

pantai ombak
Ketika berjalan menuju pantai, kami baru menyadari bahwa jalanan yang kami kira setapak semalam ternyata cukup lebar, hampir dua meter. Kiri kanannya hutan yang cukup rapat. Tak lama kami tiba di tepi pantai dan sudah banyak rombongan dan anak-anak yang ramai-ramai melepas tukik juga. Kami agak memisahkan diri dari rombongan, lalu mulai berfoto-foto.

jalan menuju pantai
jalan menuju pantai
pohon kolang kaling
pohon kolang kaling
informasi penyu
informasi penyu
ramai-ramai melepas
ramai-ramai melepas

Sebenarnya bisa saja tukik itu kami lepas beramai-ramai, namun supaya lebih epik, maka kami melepasnya satu per satu. Giliran pertama yang melepas adalah Sansan. Dinasihatinya satu-satu dua tukik yang akan ia lepas yang dinamai Prita dan Dewi itu. Persis seperti seorang ayah yang akan melepas putrinya pergi sekolah ke tempat yang jauh. Pertama diturunkan ke laut, Prita dan Dewi sempat terhempas ombak lagi ke daratan namun mereka cepat menggerakkan tangannya untuk beradaptasi berenang. Tak lama ikut menyurut ke laut, kedua tukik itu juga sempat kembali ketika ombak kecil datang. Namun di hempasan berikutnya, tukik-tukik itu sudah menghilang bersama air laut yang membawa mereka ke alam bebas. Selamat jalan tukik! Semoga kelak engkau kembali sebagai untuk bertelur di sini, ya!

berdoa sebelum dilepas
berdoa sebelum dilepas
menyemangati tukik yang baru bertemu laut
menyemangati tukik yang baru bertemu laut
berjuang!
berjuang!
ini duniaku!
ini duniaku!

Tukik-tukik berikutnya yang kami beri nama Sandra, Maya, Puspa, dan lainnya andaikata kami hafal semua nama di lagu Mambo no 5 dinamainya, kami lepas satu per satu, sambil diberi pesan-pesan pembangkit semangat berenang mereka. Begitu menyentuh air laut, tukik-tukik ini refleks langsung menggerakkan kakinya sehingga bisa berenang dan seolah berlari menyongsong kebebasannya. Hingga kami tidak menyadari bahwa pantai sudah kosong dan hanya tinggal kami berempat. Akhirnya karena kasihan melihat mereka meronta-ronta dalam ember, kami melepaskan lima yang terakhir sekaligus. Sampai beberapa saat kami di sana, tak ada satu pun tukik yang kembali. Semoga mereka nanti kembali sebagai penyu yang pemberani!

adhib melepas 'asuhan'nya
adhib melepas ‘asuhan’nya
aku berenaaangg!!!
aku berenaaangg!!!
menyusul teman-teman
menyusul teman-teman

Kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bermain-main air laut di pantai Sukamade. Sejauh mata memandang, hanyalah kami empat manusia yang tampak terdampar di pantai ini. Laut, yang bisa menghempaskan segala gundah, menghilangkan semua resah, melemparkan gelombangnya ke daratan dan kembali lagi. Macam-macam kami lakukan, guling-gulingan, kejar-kejaran dengan ombak, menulis-nulis di atas pasir, melompat-lompat, apapun yang menyiratkan kebebasan.

foto17a

foto18

foto19

foto20

foto21

foto22

Panas matahari yang masih terasa hangat pagi tak terasa panas, sehingga betah untuk tidur-tiduran di pasir. Lagipula, kalau di pantai tak kepanasan, apa artinya? Jangan takut hitam apabila main ke pantai.

lintasan penyu
lintasan penyu
just the four of us!
just the four of us!

Menjelang jam 9 kami merasa puas bermain di air dan kembali ke Wisma. Ternyata semua tamu sudah check out dan yang tersisa hanya kami saja. Kami berkemas, sarapan dan ke kantor Pak Wartono untuk mengurus administrasi. Masuk Taman Nasional Meru Betiri ini per orang dikenakan biaya Rp. 2500,- dan mobil Rp. 6000,-. Selain itu kami juga membayar biaya ranger penyu dan pelepasan tukik sebesar Rp. 200.000,- per rombongan. Setelah berfoto-foto sejenak di depan Wisma, kami kembali ke arah kemarin tiba. Berat sekali meninggalkan tempat ini, sebuah surga bersembunyi yang ingin selalu kami jaga kelestariannya. Semoga suatu saat nanti kalau kami kembali lagi, keadaannya masih seperti sekarang. Tak apa sulit dijangkau, asal penyu-penyu itu terlindungi.

foto24

bukan epilog
Mobil kembali menyusuri hutan yang kemarin kami tembus dalam gelap. Jalan hanya cukup satu mobil dan berbatu-batu. Tak berapa lama, kami sudah sampai di tepi sungai lagi. Setelah mengamati keadaan sungai, Pak Yono kembali menceburkan jeep ke dalam sungai. Di tengah-tengah ia berhenti memberi kesempatan pada kami yang ingin turun dan mengambil foto dari seberang. Sayang ketika dilihat di luar air sepertinya hampir sepaha sehingga kami memutuskan untuk membuat foto-foto dari dalam mobil saja. Apalagi tak lama kemudian di seberang ada seseorang berdiri di tepi sungai dengan kamera lensa tele, pertanda ada mobil lain di seberang sana. Pak Yono kembali mengambil ancang-ancang untuk keluar dari air dan buurrr.. kami sampai lagi di darat.

mobil masuk sungai
mobil masuk sungai

Setelah sempat berpapasan bergantian dengan mobil itu dan sebuah truk kayu, perjalanan kami lanjut lagi sampai menemukan pantai yang aku lupa namanya, namun cukup indah dengan banyak pandan laut sebagai tanggul alami antara pasir pantai dengan hutan. Garis pantai ini pun cukup panjang dengan pasir selebar hampir 30 m, lebih lebar daripada di Sukamade, dan ombaknya lebih tenang. Namun karena cuaca sudah bertambah terik akhirnya kami tidak mampir lama-lama di situ.

Di perjalanan yang kemarin kami lewati malam ternyata tanaman di kiri dan kanan cukup rapat menaungi sehingga jalan yang kami lalui tidak terasa panas. Sekitar jam 12-an kami tiba di Sarongan. Di sini baru kami dapat sinyal ponsel lagi sehingga aku bisa menelepon Pak Zulkadri. Sayang sekali, beliau hari ini sedang pulang ke rumah keluarganya di Jember, sehingga kami tidak bisa mampir dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya selama ini, jadi aku hanya bisa mengucapkannya lewat telepon.

jalan di hutan
jalan di hutan
sungai yang lebih dangkal
sungai yang lebih dangkal

Kami melewati kembali rumah-rumah perkebunan, namun berbeda dengan di Ijen yang berdekatan, di sini jarak antar rumah lebih renggang sehingga banyak terdapat halaman-halaman di antara rumah-rumah penduduknya. Jalanan masih terguncang-guncang sampai Pesanggaran lagi, dan sepertinya memang siang lebih cepat daripada kemarin malam.

rumah di Sarongan
rumah di Sarongan

Menuju Banyuwangi, kami sempat tersesat lagi ke salah satu pantai yang merupakan tempat korps marinir latihan, lalu Pak Yono berputar lagi mencari jalan yang benar sampai akhirnya kami melihat tanda panah Jajag – Banyuwangi. Kami sempat tertidur beberapa saat, namun karena lapar, kami celingukan mencari rumah makan. Tetapi karena sering kelewatan, akhirnya kami baru makan di Jajag, tepat sebelum kami berpisah.

pantai marinir
pantai marinir

Di terminal bis Jajag, Herdian, Sansan dan Adhib turun. Herdian melanjutkan perjalanannya naik bis untuk kembali ke rumah orang tuanya di Malang, Sansan dan Adhib kembali ke Surabaya untuk naik kereta ke Jogja. Sementara aku harus ke Banyuwangi karena memutuskan pulang lewat Denpasar yang lebih dekat untuk terbang ke Jakarta. Aku memeluk mereka bertiga. Jam dua siang dan hujan turun deras. Empat hari ini, kami yang tidak saling mengenal baik sebelumnya, hanya pernah mengenal lewat dunia maya, berbagi kursi, berbagi kasur, debu, ombak hingga pantai. Kami berbagi kegembiraan, pengalaman tersesat, jalan berbatu, uluran tangan, makanan, coklat hangat, dan pastinya patungan kendaraan.

Di perjalanan berdua dengan Pak Yono kembali ke Banyuwangi, untuk mengantarkanku ke pelabuhan Ketapang. Jalanan cukup padat imbas dari digelarnya Banyuwangi Ethno Festival sejak pagi. Aku merenungkan kebetulan perkenalanku dengan kak Nungki. Daerah-daerah yang kami kunjungi adalah daerah masa kecilnya. Banyak info yang aku dapat darinya, padahal sebelum berangkat aku hanya bertemu satu kali dengannya. Mungkin memang sudah takdirnya untuk berkenalan untuk mempermudah perjalananku.

Sekitar jam setengah lima mobil baru masuk Pelabuhan Ketapang. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi tip, aku setengah berlari masuk ke bangunan Pelabuhan dan membeli tiket ferry penyeberangan ke Bali. “Kapalnya sudah mau berangkat, Mbak!” seru petugas sambil menunjuk kapal. Aku berlari memasuki kapal ferry yang sedang merapat itu. Persis setelah aku naik dan sedang menaiki tangga ke geladak atas, ferry mengangkat jembatannya dan mundur menjauhi pelabuhan.

Senja turun di barat. Goodbye, Jawa! Terima kasih, sahabat! Hiduplah sehidup-hidupnya!

foto7c

See the sunrise
Know it’s time for us to pack up all the past
And find what truly lasts
If everything has been written, so why worry, we say
It’s you and me with a little left of sanity
If life is ever changing, so why worry, we say
It’s still you and I with silly smile as we wave goodbye
And how will it be? Sometimes we just can’t see
A neighbor, a lover, a joker
Or a friend you can count on forever?
How happy, how tragic, how sorry?
The sun’s still up and life remains a mystery

“grow a day older” ~ Dee

perjalanan 17-18 Nopember 2012, sebelum menyeberang ke Bali.
23.43 : 26/02/13 : rumah kentang. 3 days after tooth excavation.

9 thoughts on “jati meranggas #5 : meru betiri, surga bersembunyi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.