Mimpi tentang tidur adalah seindah-indahnya mimpi. Maka: tidurlah. Niscaya engkau akan tidur dalam mimpimu.
~ kata seorang teman
cerita sebelumnya : rendang minang #2: ber-google maps raun-raun padang
Tidak ada yang terlalu istimewa dari hotel Hangtuah ini, selain harga yang ditawarkan lewat agoda.com cukup bersahabat. Yah, namanya juga hotel bintang satu. Dengan rate Rp 260 ribu semalam, kami mendapat kamar standar di bagian belakang lantai 3, dengan jendela hanya sistem nako dengan kain korden dan vitras tipis.
Hal pertama yang menarik perhatianku adalah lantainya. Di sepanjang tangga ke lantai tiga anak tangga ditutup dengan teraso hitam dengan berbintik emas dan putih. Demikian juga lobby lantai 3 juga menggunakan teraso warna hitam. Terbit rasa ingin tahuku, sudah berapa lama hotel ini berdiri? Jika dilihat dari material penutup lantainya, aku memperkirakan bangunan ini sudah ada sejak tahun 80-an. Saat itu memang ubin teraso sedang marak digemari.

Melihat ke sisi bordes tangga, terdapat lubang ventilasi dengan pola-pola dari kayu untuk mengalirkan udara ke dalam ruang tangga. Satu bahasa bangunan tropis yang membuat banyak bukaan untuk mengalirkan udara sebanyak-banyaknya untuk menjawab hawa panas yang melingkupi kota. Di tahun 80-an lebih banyak diterapkan prinsip hemat energi pada bangunan. Sayangnya, kebanyakan bangunan yang dibangun dalam dekade masa kini hanya memberikan pengudaraan buatan bahkan di ruang-ruang servis dan area penghubung.
Di tengah antara bangunan depan dan belakang terdapat void atau bukaan langsung ke taman yang terdapat di bawah. Batu-batu pecah tempel yang dipasang pada dinding-dinding bangunan mengingatkan pada tempelan dinding di rumah-rumah pada masa kecilku dulu.

Turun ke bangunan depan lantai 2, aku menemukan 4 kamar yang menghadap satu ruang bersama yang cukup besar menghadap balkon yang mengarah ke jalan raya. Ruang itu cukup sepi, mungkin karena penghuni kamar-kamar tersebut terbiasa dengan kamar dengan muka koridor alih-alih sebuah ruang besar, sehingga tidak ada kebutuhan berkumpul antar penghuni kamar yang tidak saling kenal ini.

Pintu menuju teras keseluruhannya bermodel krepyak sehingga apabila ditutup pun udara luar tetap bisa mengalir ke dalam ruangan. Satu lagi bahasa arsitektur tropis dipakai di sini. Jendela-jendela kaca yang besar memasukkan sebanyak-banyaknya sinar matahari ke dalam ruang sehingga tak diperlukan lagi pencahayaan buatan. Balkon depan dilengkapi dengan kursi santai untuk tempat duduk-duduk menikmati reriuhan jalan raya.
Turun ke lobby bawah, interiornya dengan kayu berwarna gelap dengan pola-pola sederhana. Ada sofa berbentuk L yang merapat pada jendela kaca yang besar dengan detil hiasan pada kusennya ke kacanya. Resepsionisnya pun mungil sederhana dengan kotak-kotak kunci di belakangnya. Dari situ bisa memandang langsung ke jalan raya.

Ruang makan untuk sarapannya tidak terlalu besar, hanya ada beberapa meja dengan nuansa berwarna hijau. Namun penataan piring, cangkir, sendok dan serbet dengan tatanan rapi seperti di hotel berbintang, menunjukkan hotel ini pernah punya masa jayanya dan tetap melakukan standar pelayanan yang baik seperti sebuah hotel butik yang khas, bukan hanya bugdet hotel yang juga mereduksi pelayanannya. Aku memesan omelet sebagai cemilan sementara aku melahap bubur ayam untuk pengganjal perut sebelum berkeliling kota Padang. Segelas sari jeruk dan secangkir teh manis menuntaskan sarapan pagiku.
Aku beranjak ke luar. Beruntunglah lokasi hotel ini cukup strategis. Bis DAMRI dari bandara Minangkabau melalui depannya. Di seberangnya terdapat satu mal yang bisa berbelanja beberapa kebutuhan pribadi, dengan ATM beberapa bank nasional. Tak jauh dari situ ada pasar, ke arah barat terdapat laut bila ingin bercengkrama sambil memandang debur ombak, 10-15 menit berjalan kaki bisa tiba di Museum Gempa, Taman Budaya Sumatera Barat dan Museum Adityawarman dengan satu toko oleh-oleh terkenal di depannya.
Memang tidak semua mendapat pengalaman yang sama, namun untuk budget hotel dengan pelayanan yang bagus, adaptasi iklim tropis, dan lokasi yang terjangkau, aku suka tempat ini.
perjalanan 29-30 maret 2013
ditulis 15 juli 2013. CL.
cerita selanjutnya : rendang minang #4: air sungai, air manis, air terjun, air hujan
Kalau suka tulisan-tulisanku, bisa vote TindakTandukArsitek di Indonesia Travel Blogger Award sampai 17 Agustus 2013. Terima kasih. 🙂
[…] rendang minang #3: bahasa tropis hotel hangtuah […]
Kalo udah nulis kayak gini, kelihatan banget ya kemampuan arsiteknya 🙂
makasih, mas. aku merasa gagal kemarin nulis arsitektur tapi semua komen makanan.. :p
ada yg spooky-spooky nya enggak? hehehehe…. #era 80-an#
suzanna nggak mampir di situ.. 🙂
nah ini terasa pembahasan arsitektur dengan bahasa yang renyah, mengingatkan pada sebuah majalah arsitektur tempat sy duluu kerja 🙂
wah, renyah kayak kripik sanjay ya, ceu.. 😀
[…] rendang minang #3: bahasa tropis hotel hangtuah […]
Wah ulasan hotel dari seorang arsitek sejati, bukan dari seorang traveler 🙂
ada hal menarik yang bisa diintip.. 😀