kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi.
[Percakapan Dua Ranting ~ Radhar Panca Dahana]
Yaahowu!
Sapaan halo dari orang Nias apabila bertemu. Bisa juga ini yang membuat imajinasi menari, mengira bahwa pendiri portal Yahoo! pernah berkunjung ke Nias dan memberikan kata sapaan ini pada situsnya. Nias juga terkenal ombak-ombaknya ke seluruh dunia, sehingga menjadi destinasi selancar favorit dari pengendara-pengendara gelombang air top dunia. Surfing, itu istilahnya. Sama dengan istilah yang kemudian populer berarti menjelajah dengan internet. Jangan-jangan, yang mempopulerkan kata itu pun pernah merasakan terpaan gelombang di pantai Sorake di ujung selatan Nias. Barangkali…
Tentu bukan itu yang membuat aku tertarik ke pulau yang berada di tengah samudera seberang barat Sumatera Utara ini. Rumah-rumah tradisional Nias yang disebutkan sebagai salah satu kebudayaan tertua di Indonesia, lokasinya yang berada dari gunung berbukit hingga laut, juga tradisi lompat batunya yang amat terkenal membuatku menetapkan sebagai salah satu tujuan impianku untuk menyusuri jejak-jejak kebudayaan Indonesia. Pulau ini juga pernah menjadi salah satu tujuan ekskursi oleh jurusan Arsitektur UI pada tahun 2000, yang sayangnya tidak kuikuti. Penyesalan itu yang menghantuiku dan bertekad suatu saat harus menjejakkan kaki di sini.
rencana
Awal 2013 aku memutuskan harus ke Nias tahun ini! Yah, kalau tidak dibulatkan tekadnya, pasti tertunda-tunda terus. Mau pergi sendiri, transportasi di sana juga sulit. Nanti jadi mahal. Setelah beriklan di media sosial mencari teman seperjalanan, selain Sanjaya yang biasa jalan denganku berhasil kutarik, ternyata Lanny dan Fadi yang teman kuliahku dulu juga berminat untuk ikut menjelajah pulau ini. Setelah kami menentukan jadwal yang cocok, maklum semuanya hobi jalan-jalan ke sana kemari, baru kami mencari-cari info lagi tentang akomodasi di Nias.
Ketika sedang browsing di internet, aku menemukan tulisan-tulisan menarik di kompasiana tentang Nias, yang ternyata ditulis oleh seorang penduduk Nias asli. Tulisan itu banyak menceritakan tentang kebudayaan Nias dan kesehariannya. Kubaca semua artikel yang ia tulis sebagai bahan pemahaman lokasi apa yang kami tuju. Tanpa pikir panjang aku mengirim e-mail pada penulisnya, Java Yafaowolo’o Gea dan voila… ternyata dia sedang melanjutkan S2 di Jogjakarta, namun bersedia mengantar kami berkeliling Nias pada tanggal yang kami rencanakan sambil ia mudik menjenguk keluarganya. Putra daerah yang bekerja di Dinas Pariwisata Nias ini sangat mencintai tanah kelahirannya dan berniat meningkatkan potensi kecantikan Pulau Nias ini. Kami berkorespondensi aktif melalui e-mail mengatur perjalanan kami. Aku pun menyempatkan diri bertemu Java pada saat berkunjung ke Jogja saat liburan Waisyak dua minggu sebelum keberangkatan kami.
Dua hari sebelum berangkat, melalui e-mail Java mengingatkan kami untuk membawa alat snorkeling untuk menikmati pesona bawah laut di Ture Loto nanti. Wah, aku yang sudah berkemas dengan membawa deuter hijau 22 liter kesayanganku, membongkar ulang dan memindahkannya ke deuter jingga 35 liter supaya muat membawa snorkel dan siripnya sekalian. Ransel berwarna wortel itu akhirnya baru siap beberapa jam sebelum kami berangkat.
Aku berangkat pada tanggal 6 Juni 2013 dengan penerbangan Jakarta-Medan-Gunung Sitoli dengan penerbangan Lion Air-Wings Air. Sebelumnya kami mengecek skedul pesawat melalui situs skyscanner. Di situ diperlihatkan jadwal transit dan waktu tempuh termasuk total harga yang harus dibayarkan dengan penerbangan transit ini. Dari kisaran harga dan waktu yang ditawarkan, akhirnya kami memilih salah satu penerbangan pagi yang tidak terlalu pagi, karena jarak tempuh dari rumah ke bandara yang tidak dekat.
Pilihan menggunakan satu maskapai bersambung kakak beradik ini dari Lanny, yang sudah berpengalaman keliling Indonesia, sehingga kalau ada masalah delay dan sebagainya mudah mengurusnya. Sebenarnya ada penerbangan yang sedikit lebih murah untuk Jakarta-Medan seperti Mandala Jakarta-Medan dengan jadwal yang lebih pagi, namun karena Medan-Gunung Sitoli hanya dilayani oleh Wings Air, jadi kami memilih berangkat dengan Lion Air. Biasanya harga tiket Wings Air Medan-Gunung Sitoli sekitar Rp 400-500 ribu sekali jalan, sementara penerbangan Jakarta-Medan bervariasi tergantung musim dan promo.
Pilihan lain menuju Nias adalah menggunakan bis yang disambung kapal. Dari Medan menuju Sibolga bisa ditempuh dengan bis selama kurang lebih 8 jam, kemudian naik kapal feri menuju Nias dengan harga tiket resmi Rp. 120.000,-, namun berjarak tempuh 9 jam. Jalur laut ini sering ditempuh apabila membawa banyak keperluan. Kapal ini juga berfungsi sebagai kapal ferry, sehingga mobil dan motor bisa masuk terangkut juga. Namun mengingat antara harga berbanding waktu sangat signifikan, dengan bawaan yang tidak terlalu banyak, kami memilih naik pesawat saja.
terbang
Setelah nongkrong kepagian di bandara Soekarno Hatta, jam 07.00 pesawat berangkat menuju Medan. Sepanjang perjalanan langit cerah dalam jelajah pesawat yang tinggi. Jam 09.00 pagi kami sudah tiba di Bandara Polonia, Medan. Dengan perut lapar namun harus menunggu penerbangan lanjutan jam 11.00, kami berjalan kaki keluar bandara. Untung Bandara Polonia masih relatif dekat dengan kota, sehingga begitu keluar bandara sudah ada bentor (becak motor khas Medan) yang menawarkan jasanya.


Tapi sintingnya, kami berempat malah memilih berjalan kaki menyusuri perumahan mewah yang berada di tepi bandara. Aku dan Sansan menggendong ransel kami, Lanny dengan ransel hitamnya, dan Fadi menggeret koper yang berisi box peralatan snorkeling. Kami lihat sekeliling, rupanya sangat jarang menemukan orang beransel di Bandara ini. Kebanyakan menggunakan koper-koper besar dengan dandanan rapi. Jadilah kami yang bercelana pendek, kaos dan beransel besar ini benar-benar tampak seperti turis nyasar.

Sekitar 15 menit kami berjalan, kami menemukan KFC. Ya, ampuun.. masa ke Medan makan KFC lagi sih?? Tentu kami tidak memilih KFC dan memasuki tenda di tepi jalan yang menjual berbagai makanan sarapan. Aku memilih makan lontong sayur, sementara Lanny, Fadi dan Sansan makan nasi. Lontong sayurnya berlemak sekali namun enak. Tak cukup dengan nasi, rupanya ada yang memesan bubur juga sesudah makan. Wah, kami yang kecil-kecil ini ususnya panjang juga sehingga bisa banyak mencerna.
Pulangnya kami memilih naik bentor untuk kembali ke Bandara. Untung jalan yang dilaluinya memutar sehingga lumayan variatif untuk pemandangan yang kami lalui. Tergesa kami sampai bandara, mengambil uang di ATM, karena khawatir tak menemukan ATM yang cocok di sana, lalu memasuki ruang tunggu keberangkatan yang cukup ramai.
Jam 11.00 pesawat Wings Air yang membawa kami ke Gunung Sitoli berangkat. Karena ransel-ransel kami tak diperkenankan masuk kabin, sebelum masuk ransel harus dimasukkan bagasi pesawat di belakang. Aku memerhatikan wajah-wajah penumpang di pesawat ATR 72-500 berkapasitas 72 orang itu. Karena Nias pulau kecil, pasti tak heran jika akan bertemu lagi dengan orang-orang yang sama-sama punya ‘muka turis’ seperti kami. Ada beberapa turis mancanegara di pesawat ini, juga serombongan dari gereja yang katanya berjalan-jalan dan ada juga yang memberikan materi training di Nias.
Pesawat melintasi atas pegunungan Sibayak yang hutan-hutannya tampak rapat dan hijau. Lalu terbang di atas Samudera Hindia yang biru dan agak menyilaukan. Udara cerah sekali dan tak ada awan di sekeliling kami sehingga garis pantai Sumatera cukup jelas di belakang kami. Kadang terlihat pulau-pulau kecil dan kapal yang berlayar di lautan bawah.


Selama 35 menit mengudara, ketika kami sudah melihat garis pantai Nias, pilot mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat di Bandara Binaka, Pulau Nias. Dengan satu hentakan keras, pesawat menyentuh Tano Niha, sebutan orang Nias untuh tanahnya. Landas pacu yang pendek membuat hanya pesawat kecil yang bisa mendarat di bandara ini.


Jam 12 siang tengah hari itu udara cukup panas menyengat. Aku turun dari pesawat dan melihat bukit-bukit di sekeliling bandara. Kering rasanya tanah ini. Aku memakai kacamata hitamku dan mulai mengabadikan beberapa foto untuk kenangan di bandara. Barulah aku menyalakan ponsel kembali untuk menghubungi Java. Sinyal Telkomsel cukup jelas di daerah ini. Kami berjalan ke bangunan bandara yang tidak terlalu besar. Beberapa turis lewat sambil membawa papan surfing mereka yang besar-besar menuju mobil-mobil yang membawa mereka ke Pantai Sorake.

Hai! Aku melihat Java Yafaowolo’o Gea di bangku penunggu sedang bercakap-cakap dengan temannya. Ia menyambut kami dengan hangat. Sambil mengobrol ia menjelaskan tentang Nias dengan melihat-lihat peta wisata di bandara yang berukuran cukup kecil itu.
Kami melangkah keluar bandara menuju mobil, “Welcome to Nias! Ayo bertualang!”
perjalanan 06.06.2013
ditulis 16.10.2013 : 01.21
foto cover oleh @jaysansan
cerita selanjutnya > omo niha di keramahan desa tumori : yaahowu nias #2
huaaaaaaaaaaaaaaa ke Nias ga ngajak2 😦
kan udah balik lagi, kak..
Wew, what a nice travel story mbak Indri.. I was so glad to meet you and took a part during your trip in Nias.. I look forward to reading the next story 🙂
On progress, Java. Sorry kalau lama.. Heheuu..
Very glad to know you during this vacation.. Helpful so much!
gak takut ya lihat itu baling2 pesawat 😉
masih lebih aman dari baling-baling bambu kok, kakaakk..
Reblogged this on Adithya Entertainment.
nanti ke nias akh 😀
akh, gue belum cerita apa2 ini, mate! 😉
Akh tetep aja g pengen ke nias haha … butuh pantai neh sekarang
tunggu sampai postingan pantai Ture Loto yang endesss… 😉
“Yaaho’wu !” \m/
Saohagõlõ 🙂
Hahaa,… lucu juga ya kalo belum pernah denger “yahowu” kayak auuuooooo,.. *ditoyor mba indri
salam kenal 😉
salam kenal jugaa.. nanti baca lanjutannya ya 😉
Sippp, di tunggu 😉
[…] sebuah mimpi ke nusa seribu gelombang : yaahowu nias #1 […]
[…] sebuah mimpi ke nusa seribu gelombang : ya’ahowu nias #1 […]
Mantab, perjalanan yang sangat diidamkan semua orang