Masih ada sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
[Ziarah~Joko Pinurbo]
menuju Nias : sebuah mimpi ke nusa seribu gelombang : yaahowu nias #1
Selepas bandara Binaka, bangunan pertama yang kami kunjungi adalah satu rumah adat Nias Tengah yang berada tak jauh dari situ. Rumah oval ini tampak kosong dan pagarnya terkunci. Aku dan Lanny mengambil gambar sementara Java menjelaskan bagian-bagiannya. Sayang sekali, kami tidak dapat masuk untuk menyentuhnya. Java berkata, nanti di desa Tumori yang akan dikunjungi, banyak rumah-rumah adat yang bisa kami lihat, bahkan kami tinggali.
Kami berkendara menyusuri tepian timur pulau Nias. Udara terasa panas menyengat di luar. Jalan raya yang mulus itu hanya selebar 6-7 meter, cukup untuk 2 mobil berpapasan. Jalanan cukup lengang, seperti umumnya jalan-jalan di luar kota. Menurut Java, ketika gempa melanda tahun 2005, jalanan rusak parah sehingga menyulitkan transportasi bahkan untuk menyalurkan bantuan. Adanya bantuan dari banyak pihak membuat jalan menjadi mulus seperti sekarang.
Kami melalui bangunan pasar yang sudah tutup. Pasar hanya buka di hari-hari tertentu saja di sini. Namun tampak sisa keramaian di situ. Berarti tadi pagi pasar ini buka, pikirku sambil melihat tukang ikan dengan barang jualannya yang masih tergolek di tepian jalan. Bangunan pasar ini sederhana, hanya tiang-tiang dan alas kayu rendah untuk berjualan. Atapnya dari seng yang mudah dipasang.
“Yaahouw!” sapa Java Yafaowolo’o Gea ke penjual ikan sambil membuka jendelanya. Ia bercakap dalam bahasa Nias yang terdengar asing bagiku. Dialeknya juga tidak mirip dengan dialek Melayu kebanyakan. Apa agak mirip dengan bahasa Batak? Mungkin iya, pikirku. Rumpun bahasa di Nias ini benar-benar berbeda dengan Sumatera yang menjadi induk propinsinya. Rasanya seperti memasuki dunia baru.

Sepanjang jalan kami banyak menemui bangunan gereja karena agama Kristen adalah mayoritas di pulau ini. Masjid baru ada banyak di daerah kota Gunungsitoli dan Nias Utara karena banyak pendatang dari Aceh dan Padang, jelas Java. Bermacam-macam gereja kami lewati dalam perjalanan ke desa Tumori, tempat tinggal mertua Java. Sekolah maupun pusat pemerintahan dibangun juga di sepanjang jalan pesisir laut ini. Jadi untuk bersekolah, warga yang tinggal di perbukitan harus turun ke bawah dan kembali lagi siangnya.
Kami berkendara ke arah utara dengan pemandangan kanan laut dan kiri perbukitan. Penduduk Nias lebih banyak memiliki mata pencaharian petani. Dahulu di perbukitan juga masih banyak terdapat babi hutan yang sering diburu penduduk sebagai hidangan. Tiba-tiba terbayang kondisi hutan itu seperti petualangan Asterix di Perancis. Wah, seru juga kalau paket berwisata di Nias termasuk ikut berburu babi hutan. Java menunjukkan jalan bahwa ia salah satu yang berasal dari perbukitan dan berjalan kaki 10 km pulang pergi setiap hari untuk mencapai sekolahnya yang berada di pesisir.
Laut terlihat sangat biru dan tenang tanpa gelombang besar, karena laut ini yang menghadap ke Pulau Sumatera, bukan ke laut lepas Samudera Hindia. Kami melalui satu Goa di tepi laut bernama Togi Laowomaru. Legendanya, konon ada seorang sakti mandraguna bernama Laowomaru yang ingin menyatukan daratan pulau Sumatera dan Pulau Nias sehingga ada batu karang di daerah tersebut menjorok ke laut.

Tak berapa lama kemudian kami memasuki Desa Tumori, yang merupakan salah satu desa adat di Pulau Nias. Jalan desanya masih beraspal bagus namun tanjakannya cukup curam. Rupanya desa ini berada di atas bukit. Namun ketika kami keluar dari mobil tetap saja terasa panas sekali seolah-olah ada dua matahari! Sepertinya suhu di luar mencapai 39 derajat Celcius.
Kami beruntung karena Java tinggal di desa ini bersama istrinya Sukma Zebua, yang lahir dari salah satu keluarga terpandang di desa ini, sehingga kami bisa mengeksplorasi bangunan rumah tinggal mereka dan keluarganya berupa rumah adat dengan atap bundar khas Nias tengah. Ayah Sukma menyambut kami dengan baik bahkan mereka ingat tahun 2000 ada mahasiswa dari UI yang pernah penelitian dan menginap di situ selama beberapa hari.

Kami disuguhi beberapa masakan khas Nias yang sengaja dimasakkan Sukma dan ibunya untuk menyambut kedatangan kami. Satu nama makanan yang paling kami ingat adalah Gowi ni Fufu yaitu ubi rambat yang dihaluskan dan kelapa yang dibungkus daun jati. Setelah mencoba-coba rasanya aku berkata, “Ini rasanya kayak gethuk kalau di Jawa.”
Ada masakan dari daun talas disebut lehedalo ni fange yang digodok sampai empuk, juga ikan teri dengan bumbu tertentu serta jantung pisang. Untung Java tidak menghidangkan makanan khas Nias, yaitu babi panggang. “Sayang kalian nggak bisa mencoba makanan khas ini,” ujar Java. Kami hanya meringis dan kipas-kipas karena udara yang panas.

Rumah adat Nias Tengah yang disebut Omo Niha bermodel rumah panggung dengan bentuk oval. Bangunan ini ditumpu oleh kayu-kayu gelondongan yang disusun berdiri mengelilingi rumah, dan juga susunan silang yang menahan sisi dalamnya.
Rumah yang didiami oleh keluarga Zebua ini sudah berumur lebih dari seratus tahun, begitu juga dengan bangunan-bangunan tetangganya di desa Tumori. Di masa lalu, Omo Niha ini dibangun sesudah proses pengambilan empat kayu dari hutan sebagai tiang utama rumah. Waktu mulai pembangunannya harus disesuai dengan waktu potong batang kayu, yaitu sekitar 4 atau 8 bulan sesudahnya.
Empat tiang silalo yawa didirikan di atas batu datar yang diambil dari sungai. Selama satu hari, tiang yang berasal dari kayu Manawa itu harus berdiri dan didirikan bersama tiang ehomo dan siloto yang mendukung pelat lantai rumah. Tiang-tiang ini diikat dengan kayu silang yang dinamakan diwa. Kayu silang di bagian depan dinamakan diwa fatuwua, dan yang di tengah, yang menahan struktur utama dinamakan diwa sonoro.
Pada bangunan asli tidak terdapat teras di Omo Niha ini. Jalan masuk hanyalah tangga yang harus dipanjat sampai masuk rumah. Namun beberapa bangunan menambahkan beranda tambahan sebagai ruang penerima tamu sebelum masuk rumah. Namun tempatnya tidak di depan, melainkan di samping. Bentuk oval Omo Niha selalu diposisikan memanjang sesuai jalan.
Dinding bangunan menggunakan papan kayu yang disusun berdiri mengelilingi atap rumah. Bagian menghadap jalan di area ruang bersama dilengkapi dengan lubang jendela. Lantai area ruang terdapat perbedaan ketinggian sekitar 10 cm di bagian tengah, untuk memisahkan laki-laki yang mendapat area lebih tinggi dari perempuan di acara bersama. Di tepian, ketinggian lantai naik lagi 10 cm untuk tempat para tetua duduk. Terdapat bangku melingkar mengikuti bentuk oval bangunan tepat di tepian jendela. Tamu-tamu yang bersilaturahmi bisa duduk juga di bangku ini sambil melihat-lihat sekitar melalui jendela. Di luar jendela, terdapat gigi babi yang sengaja digantung. Konon semakin banyak gigi babi yang digantung menunjukkan status sosial yang semakin tinggi. Selain pertanda perburuan, banyaknya babi juga menjadi gengsi dalam acara-acara adat yang pernah diadakan di rumah ini.

( sumber : Traditional Architecture of Nias Island – Alain M Figaro & Arlette Ziegler)
Tiang silalo yawa ini juga menembus sampai dalam ruang bersama dan terus ke atas untuk mendukung struktur atap. Terdapat ornamen yang digantung pada ujung tiang yang menembus langit-langit rumah. Rumah-rumah di Nias memiliki satu jendela pengudaraan yang unik, yaitu tingkap di atap yang bisa dibuka dengan ditahan tiang dari bawah. Ada takik-takik pada tiang itu untuk menahan seberapa besar tingkap itu bisa dibuka.


Atap tradisional Omo Niha adalah atap rumbia. Menurut Java, harga rumbia sekarang ini sudah mahal, mencapai Rp.1500-2000 per lembar. Sementara itu satu bangunan rumah memerlukan 5000-10000 lembar untuk menutup lapis berlapis atapnya. Berarti sekitar 7-15 juta rupiah yang diperlukan untuk penutup atap yang harus diganti 5 tahun sekali itu. Semakin besar rumahnya, semakin banyak juga atap rumbia yang diperlukan.

Aku dan Java naik ke atas langit-langit bangunan untuk melihat struktur atap. Di atas langit-langit yang disusun dari papan kayu ini difungsikan sebagai gudang, sehingga kuat menahan beban kami berjalan-jalan di atasnya. Empat tiang itu menembus langit-langit sampai atap, dan diikat dengan tiang horisontal dengan pasak. Tidak ada satu paku pun yang digunakan dalam pekerjaan ini. Sambungan-sambungan dan kuda-kuda atap Omo Niha dibuat oleh tukang kayu terampil. Sewaktu gempa melanda Nias beberapa waktu lalu, bangunan ini hanya goyang, dan tidak runtuh. Memang ini salah satu kekayaan arsitektur Nusantara yang sudah kulihat di beberapa tempat juga, bahwa sistem sambungan ini sudah dipikirkan untuk mengantisipasi kondisi alam yang terjadi.

Karena rumah keluarga Zebua berada di tepian lembah, maka bangunan tambahannya disusun bertingkat ke bawah. Bangunan utama hanya berisi ruang bersama dan kamar-kamar tidur, fungsi bangunan tambahan untuk area servis seperti dapur dan ruang makan, juga area tidur tambahan. Dari area tambahan di bawah ini bisa dilihat juga tiang-tiang pendukung rumah.
Sesudah mengamati rumah ini, kami berkeliling desa yang berbentuk linier memanjang ini. Semua bangunan didirikan sepanjang jalan utama. Bentuk dasar bangunan-bangunan ini sama, yaitu Omo Niha bentuk Oval. Hanya bentuk teras dan ruang tambahan belakang yang membedakan. Java bercakap dalam bahasa Nias dengan salah satu tetangga yang rumahnya kami kunjungi. Pemiliknya dengan ramah mempersilakan kami masuk untuk melihat-lihat dalam bangunannya. Struktur rumahnya sama dengan rumah keluarga Zebua, namun tidak ada teras depan, dan ruang tengahnya masih cukup lapang sebagai ruang bersama.



Ketika LSM datang untuk merapikan lagi Pulau Nias sesudah gempa tahun 2005, penduduk mewarnai bangunan-bangunan ini dengan cat. Agak sayang sih, karena warna asli bangunan ini warna kayu, tertutup oleh warna cat. Sebagai pelindung kayu, kata Java ketika ditanya mengapa rumah-rumah kayu ini diwarnai. Ada beberapa masih menggunakan kapur sebagai pewarna alami. Di rumah keluarga Zebua sendiri menggunakan warna merah jambu.


Tetua di desa adat Tumori ini ditandai dengan patung-patung atau batu menhir di depan rumahnya. Bangunannya pun lebih besar dari rumah lain, tidak berwarna cat, dan terlihat rapi. Beruntung kami bisa melihat luar rumahnya hanya beberapa belas meter dari rumah keluarga Zebua, dipisahkan oleh kebun singkong.


Setelah itu Java mengajak kami mengunjungi desa sebelah. Saat itu jam 3-4 sore dan matahari bersinar amat terik di luar. Untuk mencapai desa itu perlu berkendara 15 menitan melintasi perbukitan. Di sini pun masih ada desa adat yang seperti desa Tumori, hanya saja masyarakatnya lebih tertutup dan tidak terbiasa dikunjungi. Kami hanya mampir minta ijin pada tetuanya dan mengambil beberapa gambar. Java berdiskusi cukup akrab dalam bahasa Nias tentang potensi-potensi wisata yang bisa dikembangkan di situ. Namun setelah beberapa saat tak menemui titik temu ijin berkunjung, akhirnya kami mohon diri.

Usai mampir di rumah keluarga Zebua, kami diantar menuju penginapan di kota Gunungsitoli. Ibukota kabupaten Nias yang berlokasi di dekat pantai ini adalah kota di tengah perbukitan. Wah, rupanya kami menginap di rumah adat Nias yang terdapat di dalam kompleks Museum Pusaka Nias. Serunya lagi, tempat ini berada di tepi laut yang menghadap ke Sumatera. Senja mulai turun perlahan-lahan ketika memandang langit sore itu.
perjalanan 06.06.2013
ditulis 18.10.2013 : kereta depok-jakarta-depok
cerita selanjutnya > ketika museum pusaka nias bertemu debur samudera : yaahowu nias #3
[…] omo niha di keramahan desa tumori : yaahowu nias #2 […]
Rumah2 tradisional nya keren banget, suka ama desain nya. Ajak aku kesana kakak 🙂
si Java ngajak ke sana kok desember ini, kalau mau aku kontakin, sekalian dia pulang.
Wah Desember ke Nias apa gak kena hujan terus di sana?
wah iya, apa nggak hujan ya? cek perkiraan cuaca, kl pertengahan desember rasanya belum giat hujannya..
niche yg kereeenn….!
asik juga ya jalan2 sambil belajar, semoga kak indri jadi arsitek yg makin mantap! 😀
makasih kak viraa, semoga menginspirasi Indonesia untuk mempertahankan lokalitas… 🙂
[…] omo niha di keramahan desa tumori : yaahowu nias #2 […]
wah ini jalan2nya pas sama keahliannya kak Indri,,
orang Indonesia dari jaman nenek moyang udah punya arsitek2 keren berarti ya 🙂
membangun rumah tinggal kan kebutuhan dasar, makanya tukang kayu handal sudah ada dari jaman dulu ditambah keindahan sebagai upaya pemujaan.. 🙂
[…] juga pernah ke satu desa di Nias Tengah, dekat dengan desa Tumori tempatku sempat mampir. Berbeda dengan desa Tumori yang sudah sering dikunjungi wisatawan internasional dan dijadikan […]
[…] tahun lalu aku juga mampir ke desa Tumori di Nias. Di sana hanya ada satu kawan yang menjelaskan tentang bagian-bagian rumah adat ini yang […]
kak indri, rasanya “eman” ya klo semakin lama nilai2nya semakin pudar…
jadi wisata bagus mungkin yah??? tapi maw gak yah warganya… 🙂
nah, bisa jadi wisata tapi nggak ngganggu keseharian warganya..
gimana, ya?
tanya donk.. ad contacnya mas java??
ada. sila kirim email ke saya ya. di indrijuwono@gmail.com
[…] ceritanya omo niha di keramahan desa tumori […]
Hai ka… Mau bertanya… Apakah kaka mengunjungi gua Togi Laowomaru yang ditulis di atas? Apakah akses jalannya cukup mudah di tempuh? Terima kasih ka
halo, maaf saya tidak mengunjungi goa ketika di Nias, jadi ke desa-desa adat saja..