Don’t be afraid to go out on a limb. It’s where all the fruit is.
[Shirley MacLaine]
Akhirnya aku tahu mengapa orang selalu merekomendasikan kawasan Bugis sebagai tempat tinggal sementara di Singapore, tentunya selain China Town. Aksesnya yang mudah dari bandara, dengan ongkos kurang dari 2 SGD, naik MRT kurang dari 30 menit, bisa beristirahat sesudah menempuh perjalanan selama 2 jam udara dari Tanah Air.
Kali ini aku menginap di Green Kiwi Backpacker Hostel, dengan pertimbangan hemat daripada di hotel berbintang. Lokasi hostel ini terletak tepat di Bussorah Street, jalan yang luar biasa cantik dengan ruko-ruko detail melayu peranakan, bebas kendaraan bermotor dan langsung menuju Masjid Sultan, salah satu ikon wisata di titik bernafaskan melayu ini.
Dari depan stasiun Bugis, aku berjalan santai 15 menit sampai ketemu jalan bertegel merah yang banyak dilalui turis asing itu, dengan pohon kelapa dan warna-warna cantik bangunannya.

Green Kiwi mudah ditemukan dengan mengenali bangunannya yang berwarna hijau, seperti namanya, dimiliki oleh seorang WN New Zealand. Bangunan ini tidak berdiri sendiri, melainkan bergandeng dengan bangunan toko di sampingnya, namun dalam satu koridor menyambung. Di depannya ada dua turis perempuan yang asyik merokok di meja.
Aku dan Fahmi masuk ke lobby -sebut saja ruang tamu- dengan lebar 4 meter itu dengan panjang sekitar 12 meter ke belakang. Hanya ada counter setinggi 80 cm dengan warna keramik mozaik segar, merah, jingga, kuning, yang menjadi meja utama karyawannya yang mengenakan baju hijau itu. Dengan ramah ia menanyakan reservasi kami, yang sudah dilakukan Firsta kemarin. Selain datang langsung, reservasi juga bisa online lewat www.greenkiwi.com.sg atau situs komunal hostelbookers.com atau hostelworld.com
“Do you want to take lockers and key by 10 dollars for deposit?” sapanya ramah.
“No, we just wait for the others..”
Di depan lobby ada satu meja panjang dengan bangku panjang berhadapan, juga masing-masing satu sofa di sisi kiri dan kanan. Fahmi mengambil posisi di satu sudut dan menggunakan tabletnya untuk mengobrol sembari menunggu. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar.


Sesampai di hostel ternyata Fahmi tertidur pulas di sofa hingga terbangun ketika Firsta dan Ariev datang beberapa saat sesudahnya. Kami diberi dua kunci loker dan dua kunci kamar. Di samping area lobby itu terdapat ruang penyimpanan koper. Aneka koper tertumpuk di sini karena tidak ikut serta dibawa ke kamar tidur di atas. Terdapat tiga unit komputer yang bisa digunakan bergantian penghuni hostel ini.


Di belakang terdapat dapur dengan meja besar untuk bekerja termasuk kompor listrik untuk dipakai bersama-sama. Tidak seperti kami yang hanya sehari, beberapa penghuni berada seminggu di situ. Tentu kadang-kadang mereka memasak sendiri.
Di bawah tangga ada rak sepatu, supaya kotoran tidak ikut terbawa ke atas. Kami menjejerkan sepatu di tempat yang masih lowong, lalu berjingkat-jingkat naik ke atas.

Wah, kamarnya lucu. Ada 5 pasang tempat tidur susun. Karyawan itu memberitahu kami tempat tidur yang akan kami gunakan. Tempat tidur kayu bercat merah itu akan kami gunakan nanti malam. Cukup dingin karena berpenyejuk udara. Setiap bed disediakan outlet listrik masing-masing. Sesudah menggembok ranselku yang kecil, aku meninggalkannya di atas kasur.

Cuma, di hostel harus rajin bangun pagi apabila tidak ingin mengantri mandi. Kamar mandi yamg cuma dua di atas dan dua di bawah bisa membuat antrian selama kira-kira 15 menit. Lumayan lah untuk mengobrol dan berkenalan dengan sesama penghuni yang sama-sama belum mandi. Siapa tahu ganteng.

Pulang di malam hari, kami tidak boleh berisik karena yang akan terganggu sebelah kasur, bukan sebelah dinding. Jalan pelan-pelan masuk kamar dan bicara berbisik. Tak lama merebahkan badan, langsung terlelap.
Suasana di luar sangat menarik. Bangunan ruko deret dua lantai yang digunakan untuk usaha masih dipertahankan dalam bentuk aslinya yang bergaya melayu cina, alih-alih menjadi bangunan modern. Pemerintah Singapore sangat memperhatikan konservasi daerah ini sebagai daerah wisata sehingga tetap menarik wisatawan yang datang. Jadi ingat di Indonesia, tinggal sedikit kawasan dengan arsitektur lampau yang dipertahankan, tenggelam dalam bangunan so-called-modern, supaya terlihat kinclong dan baru.


Aku ingat, di percakapan kami di whatsapp awalnya kami memilih hostel yg cukup modern dan baru, dengan lokasi tepi jalan raya, lebih murah pula. Tapi aku ingin di daerah ini, karena suasananya yang unik dan memang cuma di daerah ini saja. Hostel modern bisa ditemukan di kota mana saja, namun di tengah ruko berarsitektur lama ini, tak banyak tempat yang istimewa begini.
Jalan tegel merah di depan hostel langsung menuju Masjid Sultan, salah satu ikon wisata dengan arsitektur islami yang menarik. Menurut cerita Firsta, kalau perempuan bercelana pendek hendak sholat di masjid, akan dipinjami semacam jubah terlebih dahulu sebelum masuk. Hanya muslim yang boleh masuk sampai ruang sholatnya. Karena aku sedang berhalangan, aku tidak bisa masuk untuk mengeksplor masjid ini.


Tak jauh dari masjid ada Malay Heritage Center, dengan taman yang luas mengelilingi air mancur, dan satu bangunan museum yang masih baru. Ada beberapa turis bule yang melihat-lihat, dan beberapa anak-anak.

Aku kembali ke jalan karena lebih tertarik dengan ruko-ruko yang dicat warna-warni dengan beberapa bidang usaha yang berbeda-beda. Suasananya agak mirip di Little India, namun lebih tenang. Untuk yang tidak terlalu hiruk pikuk, kawasan Bugis bisa jadi pilihan. Mungkin di sini tidak diperkenankan mengubah facade bangunan yang dulu adalah kawasan niaga ini. Di masa dulu, bagian bawah untuk berusaha, sementara atasnya sebagai tempat tinggal. Tapi sekarang, mungkin saja semuanya adalah ruang usaha sementara tinggal di tempat lain.



Makanan cukup berlimpah ruah di kawasan ini. Beberapa ruko menjadi restoran yang bisa kita jajal jika suka. Ada juga kedai-kedai yang menjual berbagai masakan. Tinggal berjalan kaki dan berputar-putar daerah, cari yang sesuai dengan lidah dan kantong.
Di malam hari cukup banyak bar yang buka di kawasan ini. Tempat kami nongkrong bersama Tika juga salah satu yang menjadi favorit di jalan Arab Lane. Makanya, bule-bule juga suka di sini karena banyak hiburan malam itu, lah.


Kalau hendak berbelanja oleh-oleh, bisa ke Bugis Junction atau Bugis Market yang bisa dicapai dengan berjalan kaki. Transportasi umum pun tak sulit. Ada MRT ke tengah kota atau bis yang bisa membawa langsung ke Orchard Road. Patung Merlion, Esplanade, atau memandang Marina Bay Sands juga mudah dijangkau.
Jadi, sesudah pengalaman pertamaku, kayaknya aku berani tinggal di hostel sendirian. Asal percaya diri dan berperilaku pantas, tidak sulit lah ber-hostel ria. Lumayan, harga 26 SGD semalam ini menyisakan cukup banyak di kantong.

perjalanan : Akhir Maret 2014
Hiks baca postingan ini berasa nostalgia pas ke sngapura pertama kali dan nginepnya ya disini. Suka sama komplek bangunannya,klasik, bangunan warna warni, deket masjid. Spotnya asik buat foto2 di bussorah ini, kayak bukan d s’pore aja
iya, makanya milih tempat ini karena daerahnya khas itu loh. cantik ya jalannya..
iya mb, jalannya aja cantik, klasik gimana gitu hehe
keren…pengen kesana
yuk, ke sana, kak..
[…] Aku dan Fahmi masuk ke lobby -sebut saja Lebih Lanjut […]
Mbak, perasaan aku pernah komen disini (2x malahan).. Apa postingan lain ya? :)))
Terima kasih ya Mbak Indri sudah mencoba dormitory bersama untuk pertama kalinya. Ditunggu jalan-jalan berikutnya, supaya bisa kembaran pakai kebaya!
hayuk jalan2 ke mana gitu, trus kita nyobain pake kebaya bareng.. jangan lupa saling hairset dulu, hahahayy..
Jadi nyesal nolak tripnya dulu…haha
padahal udah punya paspor ya? huhihi…
HIGHLIGHT: “Fahmi tertidur pulas di sofa”
hahahaha ampun dah….
sesuatu momen banget..