People who meet in airports are seventy-two percent more likely to fall for each other than people who meet anywhere else.
― Jennifer E. Smith, The Statistical Probability of Love at First Sight
Jam sembilan pagi waktu setempat, pesawatku menjejakkan roda-rodanya di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali. Di bandara yang terlihat besar ini, ternyata terminal kedatangan domestiknya tidak terlalu besar, hanya ada 4 conveyor berjalan untuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Tanpa ada petunjuk yang jelas carousel mana yang akan mengeluarkan dua ransel kami di pesawat Air Asia yang baru saja tiba dari Yogyakarta ini, kami mondar mandir sampai akhirnya terlihat si wortelku yang bersarung hitam dan ransel merah Jay yang tergolek di ban berputar itu.
Aku menanyakan ke petugas transit Merpati, apakah ada bis yang bisa membawa kami langsung ke terminal keberangkatan, karena tadi kelihatannya jauh pikirku.
“Tadi datangnya naik apa, mbak?”
“Naik Air Asia.”
“Berarti ganti pesawat namanya, bukan transit. Bis kami cuma untuk yang transit pakai Merpati juga.”
“Oh. Tapi kan kami nanti mau naik Merpati..”
“Nggak bisa, mbak. Masih bisa jalan, pesawat ke Lombok masih jam 12, masih ada waktu.”
Baru aku paham, kalau transit dengan maskapai yang sama, bisa naik bis dari terminal kedatangan ke terminal keberangkatan. DAN JUGA TIDAK PERLU BAYAR AIRPORT TAX LAGI. Itu pengalamanku di bandara lain. Soal jalan kaki di bandara sih, belum pengalaman, karena bandara di Indonesia kan kecil-kecil. Belum dibandingkan Bandara Changi di Singapore yang butuh jalan kaki 1 km di dalam gedung bandara untuk sampai pintu keluar.
Jadi terpaksalah aku dan Jay mulai menggendong ransel kami keluar terminal kedatangan menuju ke terminal keberangkatan. Lebih baik kami berjalan sambil melihat sekeliling bandara berkode DPS yang belum pernah kami dijelajahi ini.

November 2013, jalur penghubung antara terminal kedatangan domestik dan keberangkatan ini masih dibangun. Kami berjalan di bawah langit-langit strip alumunium mengikuti jalur yang berkelok siku. Tidak ada papan penunjuk arah sama sekali di dalam, namun karena tak ada percabangan apa pun, jadi kami tetap berjalan di dalam koridor selebar delapan meter ini.
Yang membuat menarik, lubang-lubang pencahayaan dibuat dengan pola silang menggunakan batu bata ekspos dengan warna terakota. Dinding bata ini disusun dengan pola yang menimbulkan permainan cahaya di dalamnya. Terasa sekali aroma Indonesia dengan dinding warna tanah ini.

Setelah berjalan kira-kira 700 m (mungkin lain kali aplikasi Endomondo akan kuaktifkan untuk mengukurnya) kami menemukan area terbuka dengan jalan, taman, dan parkiran taksi. Menurutku titik ini agak aneh. Tidak ada jalur menerus dari koridor lebar tadi ke arah gedung utama bandara internasional yang sudah di depan mata. Buat kami yang ‘hanya’ membawa ransel 50 liter tentu tidak masalah, tapi bagaimana dengan yang membawa koper seret atau troli, ya? Jadi harus melipir dan mengangkat barang bawaannya itu.


Kami tiba di area hall area kedatangan bandara internasional baru yang didominasi oleh material alumunium berwarna silver. Koridor bawahnya yang lebar cukup ramai oleh pengguna yang hendak bepergian ke luar negeri pagi itu. Atap didominasi lengkung seperti cangkang-cangkang dengan rangka batang yang memperkuat strukturnya. Tiang-tiang kolom berbentuk bulat berdiri langsing menopang rangka atapnya. Ada enam tiang bulat yang melingkar membentuk kolom besar yang di tengahnya terdapat taman dengan sinar matahari langsung hingga lantai dasar.



Di tengah-tengah terdapat hall besar yang dipenuhi para penjemput. Di kiri kanannya terdapat eskalator menuju lantai atas tempat terminal kedatangan berada. Di depan gerbang keberangkatan, ada area toko-toko dengan penerangan alami dari garis-garis skylight dari atap. Gerbang cukup besar dengan petunjuk yang jelas. Karena bukan berniat menggunakan pesawat ke luar negeri, tentu kami tidak diperkenankan lewat.





Selain eskalator, penghubung antara lantai satu dan lantai dua ada lift yang dibungkus kaca. Ada dua lift di sisi kiri dan kanan hall ini. Masih tampak agak kosong di sini, banyak toko-toko yang masih tutup.



Aku dan Jay berjalan di bawah kanopi drop off dari mobil untuk melihat bentuk atap keseluruhan bandara ini. Sambil melihat orang-orang yang turun dari mobil, aku mengamati koridor panjang dengan atap transparan ini. Terdapat titik merokok di sini di mana ada satu turis bule yang asyik menghembuskan asapnya ringan. Bayangan rangka atap itu terlihat cantik jatuh memanjang di lantai granit mengkilap. Tepian koridor yang berada di atas ini menghadap taman yang berada di bawah.

Seandainya tidak ada gerbang bata terakota di depan bandara ini, mungkin bangunan ini tampak seperti bandara-bandara lain di Indonesia, tidak harus di Bali. Gerbang bata yang sedang dibangun ini mengingatkan identitas lokasinya, yang mirip dengan pintu-pintu masuk ke pura. Namun aku tak tahu, apakah akan difungsikan sebagai gerbang laluan, atau hanya ornamen saja.


Menyeberang di depan kanopi drop off itu terdapat bangunan piramida berbentuk seperti taman gantung babilonia yang ternyata adalah gedung parkir menginap. Ada area penyeberangan dengan atap transparan yang menghubungkan koridor dengan gedung. Dari area drop off ke dalam terminal keberangkatan dihubungkan dengan jembatan terowongan menanjak selebar delapan meter yang di satu sisinya ada conveyor orang untuk mempermudah yang tidak kuar berjalan kaki.



Usai berkeliling, kami turun menggunakan lift dan kembali ke lantai dasar yang makin ramai saja. Banyak supir taksi yang duduk-duduk beristirahat menunggu penumpang di hall yang berhadapan dengan taman ini. Beberapa kolom dipercantik dengan rangka untuk menumbuhkan tanaman rambat. Tentu tidak sulit, karena sinar matahari yang berlimpah di dalam bandara ini bisa menjadi makanan yang bagus untuk tanaman.

Kami berdua menggendong ransel lagi menuju terminal domestik dan memutuskan untuk masuk saja karena sudah lelah berkeliling. Pesawat kami masih akan berangkat dua jam lagi tapi perut sudah terasa lapar. Sesudah melewati jalur xray yang agak menghebohkan karena petugas mempertanyakan bungkusan beras dalam plastik 1 kg yang agak mencurigakan dilihat di layar monitor, kami masuk ke hall besar beralas karpet tebal ini.

Karena hampir semua tempat duduk penuh, kami memutuskan ‘ngemper’ saja di pojokan sambil makan nasi bungkus bekal dari Jogja karena perut sudah lapar. Tak ada stopkontak listrik untuk mengisi power ponsel yang sudah agak tiris. Karpet ini cukup nyaman juga untuk ditiduri sesudah makan.
Aku memilih untuk menghabiskan waktu di area gate sebelum check-in karena aku berpikir area dalam pasti sudah penuh orang-orang yang mau bepergian di musim liburan ini. Benar saja, sesudah kami check in dan memasukkan bagasi serta membayar airport tax, kami masuk di koridor panjang menuju ruang tunggu keberangkatan, yang ternyata ramai sekali. Sebagai informasi, airport tax di bandara Ngurah Rai ini sebesar Rp.75.000 untuk keberangkatan domestik, dan Rp.200.000 untuk keberangkatan internasional.

“Idiihh, semua orang ini mau terbang, Jay?” melihat banyak sekali orang yang berjalan, santai maupun tergesa di koridor dengan ruang-ruang tunggu bernomor di sampingnya.
Koridor ini cukup menarik, lebarnya 8 meter seharusnya cukup, namun banyaknya gerai makanan di samping kirinya menjadi ruang berjalan menjadi agak sempit. Belum lagi ada beberapa conveyor jalan di sisi kanan yang mempersempit area berjalan ini. Aku sudah beberapa kali melalui koridor ini apabila hendak kembali ke Jakarta selalu mendapati hal yang sama. Ruang tunggu keberangkatan yang sempit dengan jumlah kursi yang tidak memadai membuat penggunanya memilih untuk ‘ngemper’ di koridor.



Seperti biasa, aku melakukannya lagi. Kami duduk di samping conveyor supaya tidak terlalu banyak dilewati orang, namun masih cukup bisa mendengar pengumuman keberangkatan pesawat yang akan kami naiki. Walaupun delay juga selama hampir tiga puluh menit, akhirnya kami meninggalkan Bandara Ngurah Rai dengan Merpati MA-60 berbaling-baling ke tempat tujuan selanjutnya.
kota petir. 28.05.14 . 01:48.

lupa2 ingat. Ini bandara yg baru kan ya mb? aku ke ngurah rai terakhir kali agustus 2013, dan nggak jalan kemana2 sih. Stauku pas aku kesana, masih tahap pembangunan yg bandara barunya
iya, ini yang baru. juli 2013 aku di sini dan masih lari2an jauhhh dari drop off mobil sampai ruang check in..
Bandaranya bagus. Atau fotonya ya? Atau keduanya? 😀
Silakan mampir bandaranya. Buka 24 jam termasuk hari libur kok. 😀
Haha. November gue ke Bali, jika Tuhan mengizinkan. Btw kenapa judulnya “Sudah Cukup”, mbak? 😀
‘sudah cukup (pakai tanda tanya)’ karena kapasitas ruang tunggu domestiknya yang kurang banget. kalau musim liburan rameee..
atau masih ada fasilitas yang dirasa masih kurang?
Kirain ornamennya sudah cukup? :D. Baiklah saya mengerti.
Aku terakhir ke bali juga Juni tahun lalu dan rasanya penuh bangettt… Dan jauh juga jalannya ke depan XD
bener kan, kapasitasnya masih kurang dari kebutuhan…
[…] Baru aku paham, kalau transit dengan maskapai yang sama, bisa naik bis dari terminal kedatangan ke terminal keberangkatan. DAN JUGA TIDAK PERLU Lebih Lanjut […]
Iki kog apik sik. 😀
maha karya yang indah, dan sangat inspiratif,,,
terimakasih
terima kasih sudah berkunjung, ayo cintai produk dalam negeri.
bandara bali, ngurah rai sekarang kereen kak! kemarin baru dari sana pertama kali setelah selesai renovasi. takjub banget! sayang cuma sebentar deh kemaren 😐 harusnya berlama – lama di sana biar bisa observasi 😀
Bagian dalamnya mirip sama bandara Sepinggan yang baru, kak. ^^
Ownernya sama2 Angkasa Pura, kan. Hehe..
[…] tiba juga, kami berangkat! Sabtu pagi itu, pesawat Air Asia membawa kami dari Bandara Adisucipto ke Ngurah Rai terbang tepat waktu sehingga kami tidak terlambat mengejar penerbangan berikutnya ke […]