If the sky, that we look upon
Should tumble and fall
All the mountains should crumble to the sea
I won’t cry, I won’t cry
No, I won’t shed a tear
Just as long as you stand, stand by me[Ben E. King – Stand By Me]
“Tiw, pinjam sandal dong buat jalan-jalan.. gue cuma bawa sandal jepit selain sepatu trekking.”
“Hah, buat apa? Di Beachwalk itu, orang dandannya ya kayak elo gitu, Ndri. Celana pendek sama sandal jepit.”
Aku tiba di Bali setelah berkeliling Jawa Timur hampir 4 hari akhir tahun 2012 lalu, naik kapal ferry dari Banyuwangi. Pikirku, daripada kembali lagi ke Surabaya yang memakan waktu hampir 7 jam, lebih baik aku menyeberang ke Bali dan terbang kembali ke Jakarta lewat Denpasar. Cuma sekitar 3 jam jarak antara Gilimanuk-Denpasar. Lagipula, aku bisa mengunjungi sahabatku Tiwi dan beristirahat sejenak sebelum kembali ke kota tempatku mencari uang.
Aku mengajak Tiwi ke Kuta Beachwalk, satu bangunan social hub di Kuta yang baru jadi namun masih soft opening. Bangunan seluas 93.005 m² ini berada di Pantai Kuta, tepat di pusat keramaiannya, sehingga mudah dijangkau orang yang sedang berwisata di pantai yang terkenal sampai mancanegara ini. Didesain oleh Envirotec Indonesia, biro konsultan tempatku bekerja selama 3 tahun ini. Walaupun aku tidak ikut dalam tim desain maupun pelaksanaannya, tapi aku jatuh hati pada banyaknya koridor terbuka pada bangunan ini, juga pola-pola organik yang membuatnya lunak.
Kuta Beachwalk terdiri dari dua fungsi bangunan, pertama adalah hotel yang dioperasikan oleh Sheraton, yang kedua adalah social hub yang bebas dimasuki semua orang, di dalamnya terdapat toko, cafe, butik, ruang bermain, bahkan ruang pameran. Fungsi di sini tidak hanya mal untuk belanja, namun sebagai salah satu titik bertemu yang menyenangkan di kawasan tersibuk di pulau Bali ini.
Banyaknya sawah di Pulau Bali memberi inspirasi hamparan hijau berterasering untuk diterapkan di lahan seluas 52.462,10 m² ini. Bentuk kurva dan lengkung mendominasi tapak, memberikan gestur yang tidak kaku, seperti bentuk-bentuk yang ada di alam. Pada atap-atapnya, terdapat beberapa cungkup penutup yang terinspirasi dari topi petani. Seperti di sawah, ketika berdiri di koridor-koridor terbuka Beachwalk dapat merasakan angin laut berhembus semilir sambil ditemani suasana yang hangat.

Sesudah parkir di basement, aku naik dengan eskalator dan tiba di salah satu koridornya yang bermaterial floor hardener dengan pembagi setiap 1 m2. Material sederhana ini mendominasi lantai dasar, yang juga sudah dihuni oleh beberapa tenant fashion yang sudah buka di situ. Langit-langitnya terbuat dari multipleks yang difinishing natural, tersusun setiap 60 x 120 cm, dengan lampu-lampu di antaranya. Jika berjalan ke tengah bangunan, akan sampai di tepian dengan kolam-kolam dan taman yang mengelilingi ‘pulau’ yang difungsikan sebagai restoran. Tepian yang disebut alfresco ini ditutup dengan material terakota dari produk lokal, sehingga terasa sejuk di kaki.


Ketika berjalan-jalan di sini, banyak turis mancanegara yang juga menikmati waktu di sini. Benar, mereka hanya bersandal jepit, celana pendek atau gaun mini bertali bahu. Tak ada kesan ‘wah’ yang harus ditampilkan seperti ketika mengunjungi mal-mal tertutup di Jakarta. Namun justru itu asyiknya tempat ini, ketika bisa berjalan-jalan dengan gaya santai, tidak ada jarak yang asing antara pengunjung dan bangunannya. Sandal jepitku pun menjadi sesuatu yang biasa saja di sini.
Aku naik ke lantai dua dan memandang dari tepian laut. Garis lengkung bangunan ini jelas tertangkap ketika kami bersandar di tepi bangunan memandang laut. Keseluruhan dinding rendah ambang tepinya melengkung yang terbuat dari GRC, tertutup oleh tanaman bersulur menggantung yang memberi kesan sejuk dan rimbun. Seperti berada di tengah taman, menikmati kehijauan di bawah matahari pantai yang terik, dalam bangunan bernuansa alami.


Untuk mengatasi air hujan ke lantai koridor, ada gutter besar yang akan menampung tampias air hujan. Gutter ini juga sebagai penghalang tak langsung ke railing transparan yang mengamankan area tepi koridor, sehingga tidak membahayakan orang yang berdiri di lantai-lantai atas. Ada banyak sekali elemen air di bangunan ini. Memandang ke bawah, ada air mengalir sepanjang plaza yang bisa dinikmati dari tepian koridor.



Dari atas bisa dilihat ‘pulau kayu’ di tengah area. Kabarnya berdiri di sini cukup asyik untuk melihat sunset. Siang itu udara cukup panas tapi semilir angin laut cukup menyenangkan dinikmati di sini. Bukankah kita ke tepi laut tidak mencari keteduhan? Lantainya dari dek kayu, dengan taman-taman di sekelilingnya. ‘Pulau’ ini sebenarnya adalah atap dari restoran-restoran di bawahnya, yang dihubungkan juga dengan jembatan-jembatan kayu dan dilengkapi bangku-bangku hanya untuk bersantai-santai.



Aku dan Tiwi makan di salah satu restoran di food garden lantai teratas. Dari jauh tampaknya penutup atap ini seperti alang-alang, namun sebenarnya adalah bahan sintetis yang lebih tahan lama. Jika alang-alang asli harus diganti setiap 5-10 tahun, bahan ini bisa tahan jauh lebih lama. Rangka atapnya dari besi bulat, dibuat model atap pondok, sehingga seperti alami dan lebih dekat dengan alam. Di food garden ini hampir semua tempat makannya ada di area terbuka, sehingga meminimalkan adanya pengudaraan buatan.

“Yang paling suka di sini adalah, ada bioskopnya, Ndri. Selama ini kan repot kalau mau nonton bioskop,” kata Tiwi sambil menyantap makanannya. Ada jaringan Blitz di sini, yang memutarkan film-film terbaru. Selama ini sejak pindah ke Pulau Dewata ia sering mengeluhkan tentang kurangnya hiburan di Bali, terutama tak bisa menonton film seperti hobinya di Jakarta dulu. Hehe, aku hanya tertawa mendengar penjelasannya. Untunglah aku ke Bali hanya untuk liburan.
Beachwalk berlokasi tepat di depan pantai Kuta, hanya sekitar 15 menit dari Bandara Ngurah Rai (apabila tidak macet). Sederet dengan Hard Rock Cafe yang terkenal sebagai icon point untuk berfoto, banyak terdapat restoran, kafe, juga penyedia jasa wisata di sepanjang Jalan Raya Pantai Kuta. Dari hotel-hotel sekitar Pantai Kuta, Beachwalk bisa dicapai dengan berjalan santai. Social hub ini juga terletak di depan area Poppies Lane yang terkenal sebagai tempat penginapan yang cukup murah bagi turis mancanegara.
Dari arah Pantai Kuta? Tinggal membersihkan badan sejenak di toilet dekat pantai, lalu menyeberang jalan, bisa langsung masuk ke Beachwalk. Bahkan gestur atap dan lengkungnya yang khas bisa langsung dikenali dari pesawat di atas laut sebelum pendaratan di Bandara Ngurah Rai.


Hampir satu tahun berikutnya, aku kembali ke sini sembari transit dari satu minggu bertualang di Lombok. Masih dengan sandal jepit yang sama, aku mengunjungi malam hari di Beachwalk yang terasa lebih meriah. Ratusan muda-mudi yang berjalan-jalan di tepi pantai mengarahkan kaki untuk mampir sekadar duduk-duduk di sini. Kafe-kafenya yang tepat berada di tepian jalan asyik untuk nongkrong, minum, memandang (dan juga dipandang) oleh yang berlalu lalang. Karena jalan raya macet, lebih baik seperti kami yang memilih berjalan kaki ke sini dari tempat menginap tak jauh dari pantai ini.

Lampu-lampu berwarna kuning menghangatkan suasana di dalamnya. Restoran tampak penuh pengunjung sambil menikmati malam tepi pantai. Di atas ‘pulau’ berdeck kayu ini belasan orang duduk-duduk sambil menikmati langit, atau memandang permainan garis-garis cahaya dari salah satu oval bangunan.

Sepertinya titik ini adalah bagian teramai dari Beachwalk. Ada yang berfoto-foto, ada yang duduk-duduk, ada yang mengobrol santai saja. Aku memilih untuk menikmati langit sambil memakan sekotak pizza yang dibeli dari salah satu restoran di bawah. Tiba-tiba, dari bangunan sebelah terdengar ledakan dan langit mendadak terang oleh cahaya warna warni. Ternyata ada pesta kembang api yang bisa dilihat dengan jelas dari tempat kami duduk. Mengasyikkan juga memandang angkasa di tengah kota begini.



Lima belas menit kemudian pesta kembang api itu usai. Aku kembali menikmati pizza sambil melongok-longok ke bawah yang cukup ramai. Entah apakah malam-malam lain seperti malam minggu sekarang yang ramai. Tapi pantai Kuta yang bersahabat karena ramah, terbuka dan mudah dicapai, selalu menarik orang untuk datang di dekatnya. Bali memang harus dirasakan, liburan setiap hari.
22.05.2014 over night.
baca juga : kota di kuta

Asik banget. Kayaknya betah deh duduk-duduk sambil menyepi menikmati angin.
iya, bawa makanan sendiri juga boleh. kalau beli di situ mihil, hehehe..
Keren banget kaka reviewnya…
akh, kak danan. jadi maluw.. 😉
Wah keren. Aku suka foto-foto pertama dan terakhir, Ndri. Keren!
Makasih mas Kris, itu masih belajar motret malam..
Yuhuuuu I want to give Liebster Award to you 🙂
http://felicialasmana.com/2014/05/27/liebster-award-this-is-for-fun-travelers/
Felly, makasih banget. nambahin utangan blog nih jadinya 😀
aheyyyyyyyy! 😀
lengkap ya ulasannya 🙂
masa nulis yg lain lengkap yang bikinan kantor sendiri enggak.. 😉
ini beachwalk tempat aku biasa nongkrong ketika masih di bali dulu lho kak indri :3
kasih masukan doong.. *lirik bos di pojokan
lho yang desain kak indri? 😀 aku suka nangkring ngelamun di atas itu, yang roof top kayu ditengah – tengah. sambil mengamati pantai 😀
bukan, satu grup di meja sebelah.. tapi aku lihat proses desainnya kok…
iya, paling asyik bengong di pulau kayu itu ya…
Hijaunya emang bikin adem dan betah ya Mbak Indri …
Konsep Capingnya keren …
Makasih, iya tuh, nggambar ‘caping’ nya itu manual pula…
[…] Download Image More @ tindaktandukarsitek.com […]