Free as a bird | It’s the next best thing to be | Free as a bird
Home, home and dry | Like a homing bird I’ll fly | As a bird on wings
Whatever happened to | The life that we once knew? | Can we really live without each other?
[Beatles]
“Lari, mbak! Pesawatnya sudah boarding!” begitu mas-mas pemeriksa tiket meneriaki kami yang tiba di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta pada pukul 05.50 menit di tanggal 5 Maret 2011 pagi. Pesawat dijadwalkan terbang pada jam 06.15. Tentu saja maskapai yang lebih sering tepat waktu daripada delay-nya ini tidak ingin kehilangan predikatnya hanya karena rombongan konyol seperti kami. Untung saja, Sisil yang mem-booking tiket untuk kami sudah melakukan mobile check-in. Jadi, kami semua tinggal melenggang masuk kabin pesawat.
Seharusnya.
Kejadiannya, aku, Sisil, Ika dan Ayu harus berlari-lari sepanjang terminal 3, dari bawah hingga galeri koridor, lorong hingga naik pesawat. Sepertinya semua penumpang bernapas lega ketika kami berempat masuk pesawat. Muka merah padam sengaja disembunyikan ketika duduk di kursi masing-masing yang terpencar. Demi menghemat biaya, kami tidak me-reserve nomor kursi. Jadilah bebas terpencar begini. Memang asyiknya naik Air Asia itu, dari pemesanan hingga check-in kita bisa lakukan secara online, dengan tambahan berbagai fasilitas yang dibutuhkan saja. Jadi kalau tidak butuh bagasi, tidak beli. Tidak butuh memilih tempat duduk, tidak beli. Tidak butuh makanan di jalan, tidak perlu beli juga. Cocok sekali untuk pengguna jasa yang minimalis seperti aku. Irit, maksudnya.
Tiket AirAsia ini dibeli beberapa minggu sebelum berangkat. Memang bukan tiket promo, namun tetap saja harganya termurah dibandingkan maskapai lain. Dengan armada Airbus A320, harga murah ini tetap didukung kelayakan kualitas penerbangan. Terbukti kami yang langsung tidur begitu lepas landas dan baru sadar kembali karena sinar matahari mulai menerpa jendela-jendela. Yay, hanya 35 menit waktu tempuh Jakarta-Jogja, saatnya untuk menikmati kota budaya ini dan bertemu dengan komunitas Goodreads Indonesia Jogja yang janjian ketemu di Benteng Vredeburg.
Terakhir kali aku ke Jogja tahun 2005. Sudah enam tahun berlalu. Sebelumnya, hampir tiap tahun aku sering lewat kota ini. Tengah kotanya tidak banyak berubah. Aku masih ingat di mana letak pasar Beringharjo, berapa jauh Kantor Pos dari Keraton, atau di mana letak Plengkung Wijilan yang di baliknya terdapat belasan penjual gudeg yang semuanya lezat. Tiba-tiba aku merasa, kok ini seperti pulang, ya? Padahal selama ini hanya sebagai kota transit kalau mudik ke Jawa Timur.
Di halaman benteng, kami berkenalan dengan beberapa anak Jogja yang sudah tiba. Ada seorang pemuda tinggi yang bersandar pada pot bunga dan membawakan aneka kue basah untuk kami. Oh, rupanya ia sedang berulang tahun.”Lagi pegel nih, badannya. Semalam habis main basket,” ujarnya sambil berkenalan. Namanya Jay.
Dipandu Jay, kami berkeliling kompleks keraton. Ia menjelaskan banyak tentang peninggalan bersejarah di situ, mulai dari perjanjian Sultan Hamengku Buwono IX tentang Daerah Istimewa. Rombongan kami cukup banyak hingga belasan orang yang mengekor di belakang dan berfoto-foto. Senang juga bertemu banyak teman baru yang suka dengan buku-buku dan sejarah. Bisa berdiskusi membuka cerita dari kerajaan hingga kereta-kereta yang dipakai Sultan. Perjalanan berlanjut hingga kembali ke Benteng Vredeburg, berkenalan dengan lebih banyak lagi anggota komunitas buku ini, hingga karaoke dan makan malam bersama di salah satu restoran vegetarian di arah selatan.
![kopdar goodreads jogja [foto : iyut yhs]](https://tindaktandukarsitek.files.wordpress.com/2014/08/kopdar-jogja.jpg?w=900)
[foto : iyut yhs]
HAMPIR DUA TAHUN KEMUDIAN.
Satu tengah malam di awal tahun 2013 ketika sedang masa promo tiket Air Asia, aku mengirim pesan :
Jay, ada tiket murah nih, Jogja – Denpasar. | Kapan? | Nopember. Masih lama kok. Bisa dipikirkan. | Berapa lama? | Seminggu. Ada libur di tengah-tengah minggu. Nih, 525 ribu berdua. Pulangnya aku balik ke Bandung.| Murah tuh. Boleh. | Ada nomor KTP? | 34710805xxxxxxxx | Sip!
Keesokan paginya Jay baru membalasku.
Aku ketiduran. Eh, gimana soal tiket Air Asia itu? | Sudah aku belikan tiketnya semalam. Daripada kehabisan? Nanti kalau batal berangkat, kerugiannya kita bagi 2 saja deh.
Jay agak kaget mendapat kabar bahwa tiket sudah aku belikan. Aku paham, pekerjaannya sebagai abdi negara membuatnya agak sulit mendapat cuti. Usai berkenalan di Jogja dulu, pernah satu kali kami berjumpa di Jakarta, lalu nekad berjalan-jalan keliling Jawa Timur berempat, nonton konser Sting, dan menghabiskan akhir tahun ke Dieng. Walaupun pertemuan kami belum sampai 7 kali, aku tak canggung lagi mengajaknya mencoba tiket murah ke Bali ini.
Aku ingin ke Rinjani, batinku. Dan tahun sebelumnya kami sempat mencetuskan keinginan ini di kaki gunung Bromo. Mungkin itu pertanda. Karena perjalanan akan lebih bermakna dengan orang yang tepat.
Tiga bulan sebelum November, kami berlatih fisik sendiri-sendiri. Tidak ada acara jogging bareng seperti tim-tim pendaki gunung lainnya. Kami berolah raga di kota masing-masing dan bertukar kabar setiap hari. Kami saling berkirim email tentang daftar kebutuhan, berbagi tugas belanja, persiapan perbekalan, semua hanya melalui media online. Aku percaya bahwa Jay melakukan latihannya dengan baik di sana, begitu pula ia. Kami sadar bahwa hanya kondisi fisik yang harus dipersiapkan oleh masing-masing individu, supaya tidak merepotkan yang lain.
Dan ketika penantian sepuluh bulan sejak membeli tiket tengah malam itu tiba juga, kami berangkat! Sabtu pagi itu, pesawat Air Asia membawa kami dari Bandara Adisucipto ke Ngurah Rai terbang tepat waktu sehingga kami tidak terlambat mengejar penerbangan berikutnya ke Lombok.


Sepanjang perjalanan, kami banyak bertukar cerita sehari-hari. Karena bepergian hanya berdua saja harus mempersiapkan hati, satu-satunya tempat bergantung yang bisa dipercaya, tidak tahu yang akan dihadapi kelak. Masing-masing harus tahu kondisi, sehingga bisa ditoleransi dan meminimalkan konflik.
Sepenting-pentingnya sebuah destinasi, proses menujunya selalu menjadi kenangan yang paling tak terlupakan. Rinjani yang menawan telah menyihir kami, dua orang pendaki tak berpengalaman untuk menjejakinya dengan tenang selama sepuluh jam. Aku tak pernah lupa masa melangkah di tengah savana selepas dari Sembalun. Jay mengingat rombongan sepeda gunung yang ditemuinya di pos kedua. Aku berjalan sendiri di tengah hutan pada rembang petang menjelang Plawangan Sembalun. Kami memandang malam berangin kencang di garis punggungan namun bertabur bintang hingga batas cakrawala. Sayangnya Jay cedera dan tak bisa menemaniku di jalur puncak.
Kami berdua takluk pada agungnya Dewi Anjani di ujung sana.





Rinjani adalah ujian ketabahan dan kesabaran. Panas, gerimis, kabut, dingin, kami lalui. Setiap langkah adalah doa untuk kekuatan semoga kami bisa pulang lagi tanpa patah semangat. Walau tertatih kami tiba di Segara Anak, beristirahat memulihkan diri dua malam. Berlanjut dengan jalan kaki turun hingga Desa Senaru dalam tujuh belas jam paling berarti untuk merenungi kehidupan. Menapaki tepi jurang hingga terbentang tipis dengan kematian, melangkah pelan di Plawangan Senaru yang kekeringan, terperosok di jalur berpasir, hingga menangis ketika berjalan sendirian di tengah hutan pandan. Aku belajar untuk menunggu, tidak egois dan memaksakan kecepatanku sendiri, karena kami seharusnya bergantung satu sama lain. Perjalanan adalah bagaimana aku mengerti orang lain, juga memahami diri sendiri.



“Terima kasih, In. Karena kamu nekat beli tiket malam itu, kita sampai di tempat indah ini, “ kata Jay sambil memelukku ketika kami berhasil tiba di Desa Senaru walau dengan langkahnya yang tertatih. Ya, bagaimana pun juga ini tindakanku yang memanfaatkan Air Asia sebagai salah satu sayap kami menuju keindahan ini.
Seandainya aku tidak berhasil mengejar pesawat yang sedang boarding tiga tahun yang lalu itu,.. kurasa Tuhan selalu punya rahasia untuk setiap kebetulan yang Ia ciptakan.
Walaupun tidak mahal, membeli tiket Air Asia dengan tambahan doa dan harapan bisa menyemangati setiap mimpi yang terbentuk. Ada tanggung jawab untuk menyelesaikan setiap langkah yang direncanakan. Belajar untuk tidak menyia-nyiakan setiap keberuntungan yang didapat. Semoga ada dataran lebih tinggi lagi untuk direngkuh, dan mimpi ini akan tiba di Nepal.
Tulisan ini diikutsertakan lomba blog merayakan 10 tahun AirAsia di Indonesia dengan tema “Bagaimana AirAsia Mengubah Hidupmu?”
Mengintip tulisan sahabat lain :
Berani Bermimpi dari Air Asia, Tekno Bolang
Pengalaman Pertama Air Asia Kelana Candi, Danan Wahyu Sumirat
Everyone Can Fly with Air Asia, Halim Santoso
Berkat Air Asia, Anak Sopir Becak Ini Bisa Terbang ke Luar Negeri, Matius Teguh Nugroho
Semangat Muda Bersama Air Asia, Danan Wahyu Sumirat
Tiga Masa Bersama Air Asia, Olenka Priyadarsani
Hikmah Perjalanan Bersama Air Asia, Olive Bendon
Air Asia dan Luar Negeri Pertama, Rijal Fahmi Mohamadi
Air Asia, Jepang dan Berubahnya Garis Nasib, Farchan Noor Rahman
Bagaimana Air Asia Mengubah Hidup Saya, Bobby Ertanto
cerita lengkap Rinjani :
cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati
menuju puncak : renjana rinjani : menuju kabut di rumah sang dewi
[…] Kejadiannya, aku, Sisil, Ika dan Ayu harus berlari-lari sepanjang terminal 3, dari bawah hingga galeri koridor, lorong hingga naik pesawat. Sepertinya semua penumpang bernapas lega ketika kami berempat masuk pesawat. Muka merah padam sengaja disembunyikan ketika duduk di kursi masing-masing yang terpencar. Demi menghemat biaya, kami tidak me-reserve nomor kursi. Jadilah bebas terpencar begini. Memang asyiknya naik Air Asia itu, dari pemesanan hingga check-in kita bisa lakukan secara online, dengan tambahan berbagai fasilitas yang dibutuhkan saja. Lebih Lanjut […]
Senangnya kak indri ikutan lombanya……
Akhirnya dapat idenya juga.. Habis jarang ke luar negeri sihh..
Aku juga jarang kak
Mbak, ini Jay yang dikenalin pas di Gramedia Matraman itu bukan ya?
Baca ini jadi inget saat aku mendaki Rinjani di 2006. Puncak gunung pertama yang aku injak. 🙂
Bukaaan, Ta. Itu aku ngenalin Denie. Ini kan yang di Jogja 😀
Waah, kamu udah naik Rinjani tahun 2006? Hebatt.. tahun segitu aku masih di-grounded.
[…] Air Asia dalam Rengkuhan Rinjani, Indri Juwono […]
Mbak indri ternyata udah sampe rinjani ^^ keren – keren~ hehehe, aku masih bermimpi sama puncak rinjani-nya mbak~
Ini baru teaser, sih. The huge story is… 😉
ahh, apa mbak apaa? 😀
nanti di full versionnya dong..
btw, Rinjani itu jadi dgn bantuan banyak info dr temen2 TBI, thanks to kak Dede dan kak Dalijo.. 😉
apa kita gathering di rinjani :v *kayak banyak yang bisa ngumpul aja deh*
di pulau aja jadiinnn…
wakakaka, nunggu aku selesai dipingit yak Xp
akhirnyaaaaa ikutan juga ya kk, aku blom kesampaian ke Rinjani. kalo naik KM Rinjani udah 😉
walaah, aku juga pengen kalau ikutan naik kapal, jee..
ITU SEGARA ANAKNYA KECE BANGET!!! *nggaknyantai* *teracuni*
Yuk mari siniiii, menangkap ikan di Segara Anak…
[…] Indri Juwono – Air Asia Dalam Rengkuhan Rinjani […]
wah lagi rame kuis air asia yah. sayang blm pernah naik air asia.. hehe
cobalahh kesempatannya.. 😉
mantep-mantep…..semakin jauh saja kelananya
Ahaha… Ini tahun lalu mas…
[…] Air Asia Dalam Rengkuhan Mimpi Rinjani […]
[…] Air Asia Dalam Rengkuhan Mimpi Rinjani […]
wah goodluck, pengumumannya belum ya
aha, baru baca komen win, jadi gak menang nih 😀
haha tak apa sama aku jg hihi
[…] : awal mula : air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani selanjutnya : renjana rinjani : menuju kabut di rumah sang […]
[…] cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani […]
[…] cerita pendakian > renjana rinjani : menuju kabut di hening sang dewi cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani […]
[…] mountain, lombok : cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati cerita pendakian > renjana […]
Indah banget pemandangannya, Foto-nya keren2 Mba
rinjani memang fotogenic!
[…] Indri Juwono – Air Asia Dalam Rengkuhan Rinjani […]