If there is beauty in character, there will be harmony in the home. If there is harmony in the home, there will be order in the nation. If there is order in the nation, there will be peace in the world. (Chinese Proverb)
“Aku pernah tinggal lima tahun di kota ini!” begitu selalu kubilang setiap orang bertanya, kenapa aku tahu jalan-jalan kota Semarang. Sejak TK hingga kelas tiga SD, aku tinggal di kawasan Karang Ayu, di Semarang Barat, tak jauh dari bandar udara Ahmad Yani. Masa yang cukup lama tinggal di kota ini, membuatku memiliki banyak kenangan menarik di sini.
Seperti pernah aku baca di beberapa buku sejarah, Semarang adalah salah satu kota pelabuhan yang boleh didarati oleh pedagang dari Cina, selain kota Lasem di sebelah timurnya. Mengawali acara jalan-jalan di kota Semarang untuk mempelajari jejak-jejak Cina di kota ini, bisa diawali dengan mengunjungi Klenteng Sam Poo Kong, yang terletak tak jauh dari Tugu Muda Semarang.
Sewaktu kecil, aku sering diajak ayahku untuk bermain-main di halaman klenteng ini. Aku ingat, dulu aku selalu girang kalau diajak ke Gedung Batu, nama lain dari Klenteng Sam Po Kong. Tempat ini adalah salah satu tempat kenangan masa kecilku. Karena itu, ketika teman-teman dari goodreads Semarang dan Jogja janjian untuk bertemu di klenteng ini pada tahun 2011 lalu, aku senang sekali. Jam 10 pagi terasa panas terik ketika kami mulai berkeliling masuk halaman klenteng ini.

Dari jauh kami sudah melihat patung Laksamana Cheng Ho yang berdiri gagah di kejauhan. Laksamana ini adalah pimpinan armada yang ditugaskan untuk membuka jalur perdagangan di Melayu, dan dikisahkan pertama kali mendarat di Semarang pada tahun 1405. Selama 28 tahun (1405 – 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan persahabatan. Tak heran, nama Laksamana ini disejajarkan dengan pelaut-pelaut ternama lainnya seperti Bartholomeus Diaz, Columbus, atau Vasco da Gama.
Hampir seluruh arsitektur kawasan ini berwarna merah menyala. Klenteng utamanya, yang berada menghadap halaman utama, berukuran besar dan megah. Rupanya Klenteng ini baru selesai dipugar. Ketika kami berkunjung ke sana, kami tidak diperkenankan masuk ke dalam gedung klenteng karena masih ada yang ibadah. Ah, tidak apa. Kami juga tidak ingin mengganggu yang beribadah di situ.
Detil arsitekturnya sangat cantik dan menarik dengan tingkat pengerjaan yang halus dan rapi, membuat betah berada di area ini. Di salah satu sudut ada lilin-lilin raksasa yang berdiri terus menyala. Deretan pohon flamboyan berwarna merah ikut menyemarakkan nuansa warna di klenteng itu. Iyut, peserta dari Jogja juga membawa anaknya yang asyik berkejar-kejaran dengan Rhe, anak Jogja yang datang dari Jakarta bersamaku.

Beberapa tahun berikutnya ketika aku kembali mengunjungi kota Semarang, yang paling kuinginkan adalah berkunjung ke Pecinan-nya! Ya, kawasan yang berada tak jauh dari kota tua Semarang itu pasti punya kultur historis yang menarik berkaitan dengan pendaratan Cina di daaerah ini berabad-abad silam. Lagi-lagi aku menculik anggota goodreads Semarang untuk menemaniku berkeliling. Untung ada Wulan, yang tinggal di sekitar Pecinan mau menjadi guide untuk berkeliling wisata hari itu. Ditemani Astin, Resvinta, Ika, dan Cindy, dan beberapa teman lain, mereka menemaniku dan Jay dari Jogja untuk berjalan dari klenteng ke klenteng. Berbekal buku Pecinan Semarang, kami bertekad untuk melawan panas terik di situ sambil belajar sejarah.

Mobil diparkir di depan Klenteng pertama dan kedua, yang berada di jalan Gang Lombok yaitu Klenteng Tay Kak Sie dan Klenteng Kaong Tik Soe. Pelataran tempat ini lumayan luas sehingga paling memungkinkan untuk parkir di sini. Di depan klenteng ini terdapat pohon bodhi yang rindang. Seorang perempuan memberi Wulan balon yang diikat pada seutas tali. Katanya, itu sumber kebahagiaan, jangan sampai lepas ya!

Memasuki klenteng Tay Kak Sie melalui satu pintu besar, lalu bertemu dengan satu courtyard di tengah dengan altar-altar besar di belakangnya. Jadi bangunannya hanya di tepian, sementara tengahnya bolong dan membuat udara di dalam tidak terlalu sesak. Untunglah saat kami di situ tidak ada yang sedang beribadah sehingga kami agak leluasa mengambil gambar.




Tepat menghadap jalan Gang Lombok, Klenteng Kong Tik Soe tidak kami kunjungi lama, karena sedang ada ibadah dengan peserta yang cukup banyak. Dibanding Klenteng Tay Kak Sie yang lebih berkilau, Kong Tik Soe terasa lebih lampau dibangunnya. Atap gentingnya masih menggunakan genteng tanah liat biasa yang mulai menjamur. Kami hanya berfoto di depannya sambil mendengarkan senandung dari dalam. Mereka berdoa begitu khusyu’, lebih baik tidak kami ganggu.
“Habis ini ke mana lagi, Lan?” tanyaku pada Wulan.



“Masih banyak, mbak. Siapin kaki wae..” jawab gadis Tionghoa berambut panjang yang menemani kami itu. Ia berjalan di depan dengan riang sambil kami mengikutinya. Kami menyeberang Jembatan Gang Pinggir dan menemukan satu Klenteng lagi di pojokan. “ Ini Klenteng Tong Pek Bio,” jelasnya. Klenteng ini tidak terlalu besar dan halamannya dibatasi rantai. Di mulut klentengnya ada guci yang berisi hio tertancap.

Kami melanjutkan perjalanan hingga ke klenteng berikutnya yang masih ada di tepi jalan itu, yaitu Klenteng Ling Hok Bio. Arti nama klenteng ini kurang lebih adalah, “rezeki dan kasih sayang.” Wulan dan Jay sempat berfoto juga di depannya. Kali ini, selain guci berisi hio juga ada dua buah lilin besar yang berdiri di depan klenteng yang berpagar itu.

Aku melihat sekeliling, di kiri kanan banyak toko-toko dengan hunian di atasnya. Mirip dengan kawasan Glodok di Jakarta, tipe bangunan di sini didominasi oleh ruko. Namun di sini ruko benar-benar berfungsi sebagai rumah dan toko, dengan bagian bawah untuk berniaga, sementara bagian atas untuk hunian. Ruko-ruko kuno ini banyak yang masih asli dengan tipologi arsitektur seabad yang lalu. Ciri khas area niaga ini, tidak ada halaman di depan toko, hanya ada teras selebar 1 m yang langsung bertemu tepi jalan. Di beberapa tempat terdapat cermin di pintu rumahnya.


Asyik berfoto-foto, rupanya aku tertinggal rombongan yang sudah jauh di depan. Oh, rupanya mereka masuk satu klenteng lagi yang terletak di sudut jalan. Klenteng Tek Hay Bio, namanya. Berdiri tahun 1756, klentng ini buka setiap hari kecuali hari besar dan hari sembahyang. Kami melangkah ke dalam dan menemukan altar dengan guci tempat menancapkan hio. Batas antara ruang luar dan dalam dengan pintu dan jendela dengan terali kayu. Aneka lampion digantungkan di terasnya yang juga terdapat sepasang patung gargoyle penjaga kuil. Cerita tentang Tek Hay Bio menjadi menarik karena klenteng dibangun untuk memuja Tek Hay Cin Jin, yang dihormati sebagai pahlawan dan dewa pelindung perdagangan di laut.

Hari sudah mulai sore dan mendung ketika kami menyeberangi jalan Wotgandul yang ramai itu dan menyeberangi sungai ke kawasan Sebandaran. Ada dua klenteng yang kami kunjungi di sini. Pertama kami masuk ke Klenteng Hwie Wie Kiong yang sangat besar dan indah. Menariknya, memasuki klenteng ini kami harus melangkah, karena ambang pintunya tidak menerus sampai bawah. Tipologi ruangnya cukup cantik, ketika kami masuk disambut dengan bukaan di kiri dan kanan dengan kolam ikan di situ, kemudian masuk ada dua altar juga di kiri dan kanan. Jika diteruskan ke dalam akan bertemu courtyard lagi sebelum melihat altar utama. Katanya, kalau datang ke sini di Jumat sore bisa diramal dengan tarot. “Semua manusia bisa dihitung nasibnya.”




Klenteng kedua yang berada di jalan Sebandaran ini adalah Klenteng See Hoo Kiong, yang menurutku, adalah klenteng terindah yang kumasuki. Alih-alih bernuansa merah, di sini dominasi warnanya adalah hitam. Atap bangunannya yang berhiaskan naga, masih dengan genting tanah liat tidak pernah dipugar, karena tidak mendapatkan ‘izin’ sang dewa. Klenteng ini diberi penghargaan sebagai bangunan cagar budaya terbaik untuk kategori rumah ibadah tahun 2005.

Seperti tetangganya, masuk klenteng ini juga dengan melangkahi ambang jendela dan bertemu dengan ruang bukaan di kiri dan kanan dengan patung pemancing. Lantainya bercorak dengan tegel motif organik dengan pola-pola yang tersusun. Terus ke dalam kami juga menemukan courtyard cantik dengan dasar batu merah yang tersusun rapi. Tiang-tiang kayu berwarna hitam kokoh mendukung atap klenteng yang bertumpuk ini.




Rerintik hujan mengiringi perjalanan kami ke klenteng selanjutnya ketika kami kembali ke jalan Wotgandul. Akhirnya benar-benar hujan ketika kami sampai Klenteng Siu Hok Bio, yang merupakan klenteng tertua di kawasan ini. Klenteng yang berarti “makmur panjang umur” ini tidak besar seperti klenteng-klenteng lainnya, namun berteduh di situ memberi rasa hangat. Aku sempat ingat berfoto dengan Ika untuk dikirimkan pada teman-teman kami. Lilin-lilin besar tidak juga absen di tempat ini.

Hari sudah gelap ketika kami mengembangkan payung sampai klenteng terakhir yang dikunjungi, yaitu Klenteng Hoo Hok Bio di Gang Cilik. Susunan di dalam klenteng ini mirip dengan Tek Hay Bio yang berada di ujung jalan. Kami beristirahat lagi di situ sambil menunggu hujan agak reda. Sudah berjam-jam berjalan, rasanya kaki minta disandarkan. Belum lagi perut mulai kemrucuk pertanda lapar.


Akhirnya kami berlari-lari menuju Pasar Semawis. Tempat jajanan yang hanya buka di hari libur ini menghadirkan suasana makan di luar di tengah jalan yang asyik. Mengingatkanku pada Jonker Street di Melaka, jika saja hujan tidak turun deras menderu-deru sesudahnya. Untung aku dan Jay sudah mendapatkan dimsum dan tomyam hangat untuk disantap di bawah teritis sebuah toko yang tutup. Ada tukang coklat yang langsung menutup dagangannya. Air agak menggenang di bawah jalanan.


Aku dan Jay berjalan lagi sepanjang Gang Warung, yang ternyata dekat kembali ke Tay Kak Sie. Temaram malam dan lampu membuat klenteng di tepi sungai ini lebih cantik.

perjalanan : 24 september 2011 & 19 oktober 2013
ditulis di depok, 29 juni 2014
bertemu di kopdar goodreads indonesia >> kumpul teman dalam kenangan semarang http://wp.me/pVNmN-Dt
Seru juga jalan-jalan di kawasan Pecinan dan menjelajahi kelenteng demi kelenteng begitu ya.
O ya, mengenai foto guci yang diberi caption “guci tempat berdoa”, setahu aku itu guci untuk menancapkan dupa atau hio saja, sementara berdoanya tetap di altar masing-masing.
Ada juga yang berdoa sambil menancapkan hio gitu sih, mas. Etapi, aku gak tahu jg ya. Mungkin juga doanya beda.
ternyata banyak jg ya klentengnya. Blm ada kesempatan berkunjung ke semarang nih mb
ayuk-ayuk ke Semarang. kelentengnya masih terawat dengan baik dan di jalan yang lumayan gede.
[…] Semarang, ada satu kawasan Pecinan yang sangat populer untuk dijelajahi sambil berjalan kaki, namun areanya berbaur dengan toko-toko […]
Kamu mah tinggalnya dimana-mana sih kak -____-
*menambah wishlist*
ahahaha. di manapun aku tinggal selalu ada keistimewaan tersembunyi 😀