kumpul teman dalam kenangan semarang

10418227_10203860254051805_4965597518530738603_n

To attract good fortune, spend a new coin on an old friend, share an old pleasure with a new friend, and lift up the heart of a true friend by writing his name on the wings of a dragon. (Chinese Proverb)

Hampir jam empat pagi ketika aku dan Jay melangkahkan kaki keluar dari stasiun Tawang, Semarang. “Astin mana, In?” tanyanya. Kami berdua baru tiba dari Jakarta sesudah perjalanan selama hampir 6 jam dengan kereta Argo Bromo Anggrek. “Kalau belum datang, kita bisa mancing dulu,” candaku sambil tertawa. Stasiun Tawang adalah salah satu bangunan bersejarah di kota Semarang karena merupakan titik hubung jalur transportasi darat yang menghubungkan barat dan timur. Di depan stasiun terdapat polder besar yang menampung air sebagai waduk penyeimbang agar tidak banjir. Entah bagaimana, setiap musim hujan besar, stasiun ini selalu kebanjiran dan mengakibatkan perjalanan kereta sering terhambat.

“Hei, itu dia si Astin!” seruku melihat sosok sahabatku itu berdiri di samping Taruna merahnya. Aku dan Jay langsung menuju mobil dan memasukkan barang-barang kami ke dalam. “Sendirian, Tin?”

“Iya, nih. Kasihan si Lutfi sepertinya kecapaian habis terbang dari Riau,” sambil menyetir mobilnya keluar dari area stasiun. “Rhea juga dari Surabaya baru sampai rumahku jam 11 malam, pakai nyasar pula,” sambungnya. Aku membuka ponselku. Ada beberapa pesan dari teman-teman dari Jakarta yang sudah tiba lebih dulu dan bergerak ke Masjid Agung Jawa Tengah. Sementara teman-teman dari Bandung masih dalam di dalam kereta Harina menuju Semarang.

Hei, apa yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai kota ini di Semarang? Yes, kami akan mengikuti kopi darat ajang temu kenal anggota Goodreads Indonesia, klub buku yang kami semua ikuti. Setelah beberapa kali diadakan di Jakarta, lokasi di Semarang ini memudahkan peserta dari beberapa kota-kota di sekitarnya untuk ikut. Sebenarnya Jay berasal dari Jogja, tapi karena ia sedang dinas di Jakarta maka aku bisa bareng dengannya. Begitu juga Lutfi yang dari Riau mampir ke Semarang sebelum ia pulang keesokan harinya ke Jogja. Kami hanya dipertemukan oleh kecintaan kami terhadap buku.

Setelah beristirahat sejenak di rumah Astin yang cukup jauh di ketinggian Tembalang, dekat dengan kampus Universitas Diponegoro, kami berlima turun dan menuju meeting point yang sudah ditentukan. Pra, koordinator Goodreads Semarang sudah menunggu ketika kami tiba di sana. Aku berbaur dengan beberapa teman Semarang yang sudah kukenal, juga beberapa teman dari Jakarta yang ketemu lagi di situ. Hoo, rupanya yang dari Bandung sudah tiba juga! Aku menjerit senang ketika bertemu kang Imam asal Cirebon yang sengaja meluangkan waktu ikut acara ini.

Kami berkumpul di depan Gedung Balaikota Semarang, sambil berfoto-foto kebetulan mencoba tongsis Astin yang baru. Lucu-lucu juga hasil fotonya. Setelah mendapatkan goodie bag yang berisi lumayan banyak isi, kami dibagi-bagi dalam kendaraan yang membawa kami ke kawasan Pecinan. Ooh, ke tempat ini lagi? Beberapa bulan yang lalu aku dan Jay juga mengunjungi kawasan ini secara komplit ditemani Asti, Wulan dan beberapa teman lain. Memang menarik ke daerah Pecinan ini, bisa melihat jejak-jejak kota Semarang sebagai kota pendaratan Cina di masa dulu. Pilihan yang bagus dari panitia!

di depan balaikota
di depan balaikota (foto dari kamera astin)
selfie edisi awal, percobaan dengan tongsis (foto dari ponsel astin)
selfie edisi awal, percobaan dengan tongsis bareng lila, astin, ika, bzee, dian, tezar, (foto dari ponsel astin)

Dengan satu bis dan dua minibis, kami tiba di parkiran depan Klenteng Tay Kak Sie. Berombongan kami masuk ke dalam klenteng dan melihat-lihat di dalamnya. Aku mengobrol dengan Lutfi dan Rhea, yang lama tak kutemui. Sesudah itu kami keluar dan berfoto bersama. Rupanya ada kejadian lucu. Astin, si empunya kamera tidak tahu cara mengoperasikan timer di kamera yang sudah terpasang manis di atas tripod itu. Haha, untung tak berlangsung lama, karena dibetulkan oleh Mia.

pose paling menghebohkan (foto dari kamera astin)
pose paling menghebohkan (foto dari kamera astin)
ngobrol dengan lutfi, dan.. seseorang dari bandung
ngobrol dengan lutfi, dan.. seseorang dari bandung

Dari depan klenteng kami berfoto di atas replika Kapal Cheng Ho yang diinstalasi di atas sungai di depan Klenteng. “Ini mau dibongkar bulan Agustus 2014,” jelas Pra. Rupanya keberadaan kapal ini agak mengganggu aliran air sungai di situ. Untunglah kami sempat mengabadikannya sebagai kenang-kenangan, baik dalam gaya selfie maupun gaya normal.

Rombongan naik lagi ke mobil dan melewati beberapa klenteng yang pernah aku kunjungi dulu, di Gang Pinggir, yaitu Klenteng Tong Pek Bio, Klenteng Ling Hok Bio, dan Klenteng Tek Hay Bio. Di kanan kami melihat toko Pia dan Kue Bulan Cap Bayi yang memang khas daerah ini. Mata ibu-ibu yang semobil denganku langsung kepengin beli oleh-oleh. Hihi, Palsay, Uci, Miss Lely, dan Ibutio memang sudah ibu-ibu. Barengan tante Vera yang ibu guru, juga Aki Hippo yang sudah cukup berumur, mereka semua sepertinya cocok berada dalam mobil khusus jadulers ini.

selfie di depan kapal bareng jay dan jaka
selfie di depan kapal bareng jay dan jaka

Di persimpangan Jalan Wotgandul tepat sesudah Klenteng Tek Hay Bio, mobil berbelok ke Gang Gambiran dan dan parkir di tengah-tengah. Dengan berjalan kaki kami berjalan beramai-ramai ke Gang Cilik, melewati Klenteng Hoo Hok Bio, dan tiba di tempat pembuatan Rumah Kertas, yang berada di depan Klenteng.

Apa sih Rumah Kertas? Ini adalah rumah-rumahan yang dibuat oleh pengrajin ini untuk dibawakan bebarengan dengan orang Cina yang akan dikremasi. Menurut pengrajinnya, rumah-rumahan ini berharga 1-2 juta, tergantung ukurannya. Wah, seperti maket-maket yang biasa kubikin dulu sewaktu kuliah, namun ini lebih sederhana. Di sudut ada yang sedang mengerjakan rumah kertas ini dengan rangka bambu, dengan ukuran yang cukup besar. Di atas meja ada beberapa boneka kertas yang akan ‘menghuni’ rumah kertas ini. Diyakini, rumah kertas ini akan menjadi ‘rumah’ di alam sana nanti.

rumah kertas di gang cilik
rumah kertas di gang cilik

Dari situ kami kembali lagi ke kendaraan masing-masing, untuk menyusuri lagi Jalan Wotgandul menuju Rumah Kopi. Rumah ini dimiliki oleh Bapak Basuki Dharmowijono, namun karena ia masih ada urusan lain, kami disambut oleh adiknya, ibu Widjajanti Dharmowijono atau yang akrab dipanggil Ibu Inge. Beliau menyambut kami di teras bangunan berlantai tiga itu dengan dominasi warna putih.

ibu inge di depan rumahnya yang cantik
ibu inge di depan rumahnya yang cantik

“Rumah ini tidak biasa, karena biasanya rumah punya tingkat saja, atau punya halaman saja, sedangkan ini ada keduanya. Dulu Rumah ini disebut Rumah Karang karena ada karang-karangan di sudut. Beberapa kali juga orang melihat ada bayangan-bayangan berbaju putih,” jelas bu Inge.

“Kenapa disebut Rumah Kopi, karena dulu keluarga kami bergelut di bidang kopi. Opa saya punya satu pabrik kopi bernama Margorejo,” sambungnya. Ia menjelaskan lagi bahwa beliau adalah orang pertama yang mengekspor kopi ke Singapura. Sekarang usaha kopi itu tidak terlalu besar, menyisakan satu kantor di samping. Ibu Inge juga bercerita bahwa dirinya termasuk dalam keluarga Tan yang memiliki Klenteng di Jalan Sebandaran di belakang, yaitu klenteng Hwie Wie Kiong. Salah satu leluhurnya ikut membangun Klenteng tersebut pada tahun 1814.Ibu Inge banyak bercerita tentang keluarganya leluhurnya tentang masa-masa orang Cina yang menjadi bandar opium dan sempat berselisih dengan Belanda. Rumah ini sempat dilelang dan diambil.

rumah kopi
rumah kopi

Rumah ini mengalami beberapa kali renovasi juga dengan mengganti balok-balok tiang depan menjadi baja, karena kayu aslinya termakan rayap. Beberapa tahun yang lalu rumah ini mendapat penghargaan sebagai Rumah Tinggal yang paling bagus perawatannya. Kepala tiangnya bergaya art deco. Direnovasi oleh Liem Bwan Tjie, yaitu arsitek pertama orang Tionghoa yang kemudian membangun rumah di mana-mana.

balok penyangga lantai 2 yang sudah diganti baja
balok penyangga lantai 2 yang sudah diganti baja
patung singa yang sedih
patung singa yang sedih

Setelah penjelasan di teras, kami beramai-ramai masuk ke dalam rumah melalui pintu paling kanan. Di kanan ada meja kantor dan piano yang berdiri cantik di situ. Ada dua sitting groups di situ satu dengan meja bundar dan satu lagi dengan meja kotak di sebelah kiri. Satu altar kayu yang cukup besar diletakkan di sudut ruangan.

ruang duduk yang lapang
ruang duduk yang lapang
beberapa perabotan di dalam
beberapa perabotan di dalam

“Altar dibangun pada tahun 1920,” jelas bu Inge berdiri di sampingnya. Di situ dipasang foto-foto leluhur yang akan didoakan pada setiap acara sembahyangan. Beliau juga menunjukkan papan-papan kayu yang berdiri di situ berisi nama-nama yang akan didoakan. Di kiri kanan altar ada dua tulisan dengan huruf Cina. Yang kiri berarti, ”Sebaik-baiknya punya anak kaya lebih baik punya anak pintar.” Sementara di sebelah kanan berarti, ”Sekali pun kecil bentuknya, lumut pun bermanfaat.” Kami mendapat cukup banyak pesan moral dari penjelasan bu Inge ini.

altar leluhur
altar leluhur

Bu Inge sempat membagikan permen kopi bikinan sendiri yang cukup enak untuk membangkitkan semangat lagi sesudah kurang tidur tadi malam. “Permen ini juga dijual di toko Oen,” katanya menyebutkan salah satu toko yang terkenal dengan eskrimnya yang lezat. Nanti mampir, ah!

Dari situ kami mampir ke bangunan kantor yang berada di samping dan bisa membeli kopi robusta yang baru saja digiling. Aku membeli sekantong 250 gr untuk oleh-oleh ayahku seharga RP. 10.000,-. Selain robusta, di sini juga ada varian arabica dan kopi luwak juga. Palsay dan Imam juga ikut membeli kopi jenis ini. Ruangan ini wangi sekali oleh aroma kopi. Ah, jika saja aku tak ada masalah dengan perut, rasanya ingin mencoba bergelas-gelas kopi tidak hanya menelan wanginya saja.

Usai menikmati Rumah Kopi, kami pindah ke Taman Srigunting di Kota Tua, tepat di samping gereja Blenduk Semarang. Di taman ini dulu pernah didirikan Rumah Buku Goodreads Semarang, namun sering mengalami kejadian-kejadian buruk. Entah bukunya hilang, kacanya dipecah, dicuri, sampai akhirnya tiang penyangga Rumah Buku seukuran kandang burung merpati itu pun ikut dicuri juga! Miris mendengar kejadian-kejadian ini. Maksud hati mau mengedukasi tapi banyak vandalisme di sini.

Kami makan siang dengan ayam lombok ijo yang pedas dan enak, sebelum sampai pada kuis-kuis khas goodreads, yaitu kuis dengan isyarat tebak judul buku. Pola kuis yang sambil memperkenalkan diri ini sukses membuatku dikenali seorang penggemar (haih!). Ternyata ada Lestari, yang biasa dipanggil Taro, pernah membaca buku antologi-ku Rumah adalah Di Mana Pun, sehingga ia langsung menarikku untuk minta foto bersama. Aku hanya nyengir-nyengir merasa biasa saja, datang ke acara ini juga demi keasyikan bersama teman-teman goodreads dari berbagai kota.

taman srigunting (foto dari kamera astin)
taman srigunting (foto dari kamera astin)

Karena adanya beberapa gangguan, kami naik mobil kembali ke depan balaikota dan berfoto-foto ceria bersama Roos sebelum akhirnya semua berpisah di situ. Apa acara selesai di situ? Tentu tidak! Bersama Astin, Lutfi, Rhea dan Jay, kami memutuskan untuk melepas lelah di Toko Oen, menikmati seporsi es krim. Semua memilih rasa favoritnya masing-masing. Aku sendiri memilih rhum & raisin, karena, hmm.. kayaknya rasa itu bakal lumer enak di mulut.

Mengingat Astin berjanji mengajak kami makan ikan bakar, sekembali dari rumahnya kami mandi dan menuju restoran ikan bakar yang terletak di dekat taman Tabanas, di mana di atas kami bisa melihat kelap-kelip lampu kota. Kami menghabiskan ikan, udang, kerang, cumi dan aneka makanan lainnya tidak dalam waktu terlalu lama. Maklumlah, sudah lapar banget akibat berkeliling kota Semarang.

kembali di depan balaikota
kembali di depan balaikota
menunggu eskrim di toko oen
lutfi, astin, rhea, menunggu eskrim di toko oen
dari tepian bukit gombel, semarang
dari tepian bukit gombel, semarang

Sambil melihat kota dari kejauhan, aku berpikir memang begitu banyak kenangan di kota yang pernah kutinggali selama lima tahun ini sewaktu ku kecil ini. Setiap kunjungan pasti ada kenangan tersendiri. Selalu ada teman-teman baru yang menemani. Aku yakin, suatu hari aku akan datang lagi ke sini.

Kopdar goodreads indonesia di Semarang : 7 Juni 2014
Ditulis di Depok, 29 Juni 2014
baca juga tentang Pecinan di >> mengejar merah di pecinan semarang http://wp.me/pVNmN-Dq

rumah buku goodreads semarang, semoga bisa berdiri lagi. foto di rumah pratono :)
rumah buku goodreads semarang, semoga bisa berdiri lagi.
rhea-surabaya, indri-jakarta, jay-jogja, pra-semarang
foto di rumah pratono 🙂

6 thoughts on “kumpul teman dalam kenangan semarang

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.