Hujan gerimis sejak sore mengiringi akhir hari pergantian tahun, kecipuknya ditingkahi oleh lari anak-anak yang bermain di lapangan. Suara petasan pun beradu dengan nyala kembang api, yang menerangi langit malam yang tak berbintang tertutup awan. Aku baru pulang dari pulau seberang, mengingat banyak hal yang kulalui di tahun ini, di mana aku sering melawat baik luar maupun dalam negeri.
Selamat malam Bapak Arief Yahya, Wakil Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi wisata di negeri ini, kepadanya aku titipkan surat untuk pariwisata Indonesia yang lebih baik di tangan anda, Menteri Pariwisata.
Halo Indonesia,
Perkenalkan aku Indri Juwono, seorang arsitek yang hobi berjalan-jalan menyusuri kota dan desa, mengamati lingkungan bangunan dan manusia, mengamati keistimewaan satu-satu daerah, bercerita lewat tulisan tentang tempat-tempat yang dilaluinya.
Dari pengamatan di berbagai tempat di luar negeri, ada begitu banyak tempat dengan nilai budaya yang unik yang selalu ramai didatangi turis (termasuk aku). Lihatlah banyak orang mendatangi Little India di Singapura atau daerah Pecinannya sekeadar untuk mencari obyek fotografi yang menarik. Atau ruas jalan di Kyoto, Jepang dengan rumah-rumah khas Jepang yang menjadikan area tersebut cantik dan menarik utntuk disusuri sambil berjalan kaki.
Aku jadi teringat di Indonesia bangunan-bangunan dengan karakteristik budaya yang tinggi tidak terlalu mendapat perhatian sebagai salah satu potensi wisata yang diunggulkan. Bangunan yang merupakan peninggalan sejarah hanya berdiri di tempatnya saja, tetapi tidak didukung oleh lingkungan sekitarnya yang tetap berantakan.
Di Semarang, ada satu kawasan Pecinan yang sangat populer untuk dijelajahi sambil berjalan kaki, namun areanya berbaur dengan toko-toko biasa dan tanpa petunjuk arah dan informasi di setiap tempatnya, sehingga tanpa pengetahuan yang harus dicari dulu lewat internet atau buku-buku, pengunjung bisa tersesat dan tidak mendapatkan banyak hal di situ. Padahal banyak hal yang menarik yang bisa dilihat di situ seperti jika saja dibuat menjadi satu jalur unggulan wisata karena jejak Semarang sebagai salah satu kota pendaratan dari Tiongkok di masa lalu sangat nyata di sini.
Jika ingin meningkatkan potensi wisata di sini, perlu ditambahkan petunjuk-petunjuk yang jelas dan brosur di beberapa tempat sehingga pengembangan kawasan ini terintegrasi sebagai satu kawasan yang menjadi salah satu tujuan utama. Pecinan Semarang dan Pasar Semawisnya seharusnya takkan kalah dengan kawasan Heritage Malaka dan Jonker Streetnya di Malaysia.


Halo Indonesia,
Potensi yang sama sebenarnya juga dimiliki oleh Yogyakarta dan Cirebon. Menariknya berada di kota Yogya sambil berjalan kaki di sekitar keraton, atau naik becak sambil mengobrol tentang sejarah satu tempat dan lainnya, melihat-lihat area perumahan lawas yang rapi. Meskipun belum sempurna, kota Yogya sudah sangat kuat potensinya sebagai kota budaya dan wisata, juga karena setiap warganya paham dan mencintai potensi daerahnya.

Di Cirebon, dengan tiga keraton yang letaknya juga tidak berjauhan masih kurang petunjuk arah yang jelas antar lokasi. Kawasan sekitar keraton pun tidak bersih dan nyaman untuk dilalui. Kondisi jalur pejalan kakinya yang kotor dan acak-acakan kerap membuat orang enggan untuk melaluinya. Sebagai kota dengan ciri khas budaya yang kuat, Cirebon semestinya bisa mencontoh Yogyakarta menuju kota dengan basis wisata untuk membuat jalur wisata yang jelas, sehingga memudahkan turis yang datang untuk juga mengagumi kekayaan kota ini, tidak hanya sekadar wisata kuliner saja.
Demikian juga kota-kota lain dengan potensi bangunan bersejarah yang unik, perlu disadari bahwa potensi ini sangat besar karena di negara-negara lain justru ini yang banyak dibanjiri pelancong, mencari sesuatu yang unik dan hanya ada satu-satunya di situ. Informasi yang memadai tentang destinasi dan pencapaiannya juga harus diintegrasikan dengan obyek menarik di sekitarnya sehingga tercapai satu cultural zone yang menarik.


Halo Indonesia,
Aku juga suka berkunjung ke desa-desa di Indonesia. Melihat bagaimana manusia hidup di rumah-rumah adat di sudut-sudut negeri. Mengunjungi Kampung Naga, Jawa Barat, ditemani pemandu terampil yang menjelaskan tentang desa mereka, sejarah, hingga kehidupan masyarakat dan pola bermukimnya. Pemandu ini penduduk asli Kampung Naga yang dilatih untuk memperkenalkan desanya, sehingga mereka juga yang mendapatkan dampak langsung dari kunjungan pelancong seperti aku.

Dua tahun lalu aku juga mampir ke desa Tumori di Nias. Di sana hanya ada satu kawan yang menjelaskan tentang bagian-bagian rumah adat ini yang bercerita bahwa tidak terlalu banyak orang datang ke desa ini kecuali memang tertarik dengan bangunan. Seandainya lebih banyak orang desanya yang lebih paham dengan sejarah daerah dan menarik orang untuk datang ke sana, potensi desa untuk menjadi daerah tujuan wisata akan semakin meningkat.

Di Wae Rebo, Manggarai, penduduknya belajar untuk memahami budaya mereka sendiri dalam kehidupannya. Mereka bisa dengan mudah bercerita tentang daerahnya, pembangunan rumah-rumah adatnya, desa tempat mereka tinggal, kebiasaan sehari-hari. Penduduknya bisa menjadi pemandu yang baik karena mereka bangga dengan daerahnya.

Aku mampir di rumah adat di Koanara, Moni, Flores atas ajakan seorang gadis manis yang masih duduk di kelas 6 SD. Ia bersemangat untuk mengantarku melihat rumah adat, mengenalkanku pada seorang nenek yang tinggal di dalamnya, menjelaskan bagian-bagian yang ia tahu. Gadis bernama Maria ini juga mengajakku melihat-lihat pasar dan mengunjungi gereja tempat ia beribadah di hari Minggu. Ia bercita-cita menjadi pemandu wisata ketika besar nanti. Rasa cinta pada daerah membuatnya ingin membuat orang lebih banyak lagi datang ke Moni.

Tapi,
Aku juga berpikir, apakah orang-orang di desa-desa itu juga merasa nyaman apabila dikunjungi oleh pelancong? Apakah mereka merasa sebagai tontonan atau penonton saja? Apakah mereka menganggap pelancong sebagai tamu atau bagian dari mereka? Apakah mereka lebih suka jika lebih banyak orang yang berdatangan ke desa mereka?
Aku sering melihat mereka balik menonton kami, orang asing yang bertandang ke daerah tempat tinggal mereka dengan alasan belajar, atau hanya jalan-jalan belaka yang mungkin dipandang merupakan salah satu kemewahan. Terkadang aku malu memberi jawaban ‘hanya jalan-jalan saja’ tanpa ada misi lain, menjadi turis yang mengorek kehidupan di rumah-rumah adat.
Halo Indonesia,
Aku percaya, jika di suatu tempat yang digerakkan adalah orang daerahnya, dan ia mencintai daerahnya dengan sepenuh hati, maka ia akan menjaga keasliannya dengan sepenuh hati, sehingga tidak hanya diminati pengunjung, namun juga mendatangkan kebaikan untuk daerahnya sendiri. Kesiapan manusia di daerah tujuan wisata adalah faktor penting sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton atau yang ditonton saja, namun juga punya peran besar dalam melestarikan potensi wisata daerahnya.
Aku percaya masih ada orang-orang yang berhati bersih dan tidak silau pada uang semata dan menggadaikan kekayaan wisata daerahnya untuk rusak dieksploitasi dalam waktu singkat. Dunia memang berubah, tapi ada beberapa bagian yang bertahan untuk bercerita tentang kearifan mengadaptasi iklim dan kebutuhan dan terbukti selamat selama ratusan tahun.
Semarang, Jogja, Cirebon, Kampung Naga, Nias, Wae Rebo, Moni, hanyalah contoh potensi keunikan budaya di lokasi-lokasi mereka, kekhasan yang cuma ada satu-satunya di tempat mereka. Peninggalan budaya sebagai identitas yang memperkuat lokasi sebagai tempat tujuan wisata.
Pak Arief,
Tolong perkuat wisata budaya Indonesia dengan memperjelas informasi, buat zoning dan jalur area yang terarah, kembangkan potensi sumber daya manusia, buat mereka bangga dengan keistimewaan lokalitas. Juga disinergikan dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang rapi, jalur transportasi yang memadai, juga perangkat-perangkat wisata yang lain, berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, untuk meningkatkan kualitas pariwisata negeri ini.
Sehingga Indonesia menjadi tuan rumah yang baik, selain mengundang namun juga bisa memberikan kenangan indah yang mengesankan bagi tamu-tamu yang datang ke setiap sudut Indonesia. Berikan tamu-tamu itu apa yang sepantasnya sesuai yang sudah mereka keluarkan.
Negeri yang dicintai, Indonesia.
Indri Juwono – indrijuwono@gmail.com
Mari nyalakan lilin, untuk menjadi obor semangat, berjalan, merasakan, berdialog, menulis tanpa pamrih untuk Indonesia.
bersama-sama Travel Blogger Indonesia menulis surat untuk Menteri Pariwisata
silakan kunjungi surat yang lain di :
Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata
Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri Pariwisata
Vika Octavia – Pariwisata Indonesia : Telur dulu atau Ayam dulu?
Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata
Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya
Titi Akmar – Secercah asa untuk Pariwisata Indonesia
Parahita Satiti – Surat untuk Pak Arief Yahya
Yofangga Rayson – Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Matius Nugie – Merenda Asa untuk Pariwisata Kota Indonesia
Olive Bendon – Indonesia, Belajarlah pada Malaysia
Bobby Ertanto – Dear Menteri Pariwisata Indonesia
Danan Wahyu – Repackage Visit Indonesia Year
Firsta Yunida – Thought and Testimonial : Tourism in Indonesia
Felicia Lasmana – Target 1 Juta Wisman Per Bulan menurut seorang Biolog, Pejalan, dan Blogger
[…] Tulisan ini adalah bentuk partisipasi thelostraveler.com sebagai salah satu bagian dari keluarga besar Travel Bloggers Indonesia dalam kegiatan Menulis Surat Untuk Menteri Pariwisata. Silahkan kunjungi surat lainnya di: Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka Kepada Menteri Pariwisata Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat Untuk Menteri Pariwisata Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia, Dan Segala Problematikanya Parahita Satiti – Surat Untuk Pak Arief Yahya Titi Akmar – Secercah Asa Untuk Pariwisata Indonesia Vika Octavia – Pariwisata Indonesia; Telur dulu, atau Ayam dulu? Lenny Lim – Surat untuk menteri pariwisata Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia […]
karena sejarah dan budaya terlalu sulit dan rumit bagi sebagian orang
masyarakat kita khan senengnya yang gampang kak
jadi ya yang laku cukup wisata alam saja
datang.. leyeh-leyeh, seneng-seneng, gak mikir apa-apa
#eh…
tapi kalau di luar negeri kan wisata budaya, wisata bangunan itu laku keras, Yof. jadi ada potensi untuk mengais pelancong dari luar untuk melihat keunikan Indonesia. lihat gimana Malaka, Macau, bisa kebanjiran pengunjung karena orang2 yang pengen lihat bangunan.
di luar negeri emang udah laku kak
wisata budaya dan sejarah indonesia pun khan yang ngedatengin banyaknya orang luar
wisatawan domestik mah jarang ada yang tertarik
karena ya itu tadi, kita sendiri masih belum bisa menghargai apa yang kita punya
iya, yof. di sini memang harus ditingkatkan kebanggaan lokalnya.
tapi ketika satu generasi tidak paham, generasi berikutnya harus mulai memahami dari dasar sekali.
muatan lokal mesti bener2 diajarkan (selain sains yang didewa2kan) sehingga tumbuh kecintaan sejak kecil.
jangan menyerah untuk terus berbagi..
betul betul betul
kenapa begitu ya? #serius nanya
btw kk Indro, soal petunjuk arah barusan keliling di sekitar rumah trus merhatiian penanda jalan; cilik banget trus ngumpet di sisi jalan gimana ketangkap sama mata?
kurang pahamnya keistimewaan daerah sendiri kak Olip, lebih glam melihat luar..
*masih nyari2 apa istimewanya Depok*
karena traveling di indonesia masih menjadi ajang untuk memperkuat status sosial kak
masih ajang keren-kerenan, makin jauh dia pergi, makin bangga
coba kalo traveling dijadikan ajang untuk memperbaiki diri, ajang menambah wawasan
mungkin bisa budaya dan sejarah jadi laku
keluar juga tuh pernyataan
sependapat, makin jauh makin keren ya
aku masih keliling yang dekat2 aja kk
aku juga deket-deket ajaa.. jauh2 kalau nggak promo ya nggak berani. kalau di Indonesia sih, yaaa… diusahakaan kalo pengen banget..
karena udah merasa keren jadi tidak merasa perlu menambah wawasan saja. coba setiap perjalanan bisa menghasilkan alasan selain ‘tempatnya bagus’
Bung Yofangga, Mba Indrijuwono,
(Padahal) bangsa-bangsa yang maju adalah yang menghidupi budayanya ..
#eh 🙂
Sip! betul sekali loh.. Lihat potensi budaya di negara lain…
Seandainya ‘ranah’ ini sungguh dipandang dari kacamata ‘ekonomi kreatif’ ..
Saya membayangkan sekian tahun ke depan: ekonomi informal terdorong maju, masyarakat akar rumput ikut sejahtera karena dilibatkan sebagai ‘sumber budaya’ …
Semoga ya Mba Indri ..
Semoga tulisan sederhana ini kebaca oleh yang berwenang ya… Kami cuma bantu mempertajam isu.
Amin.
Lewat Pena Jadi Agen Perubahan Mba 🙂
Di semarang kawasan kota tua juga bagus mbk…
Iya, aku sudah berkali-kali ke sana.. 🙂
Bagus, kalau dijadikan jalur pejalan kaki bakal lebih keren loh ya, trus bangunan sekitar gereja blenduk juga dimasukkan peta wisata kawasan…
iyaaa miikirnya juga gitu mbak, danau depan stsiun tawang juga dibikin rapi jalannya pasti kereeeeeen….
aku kemarin jalan2 di polder itu waktu bareng anak2 sebelum ke Dieng. suka nongkrong situ, asyik!
aku suka Semarang, meski hanya beberapa jam di sana
Aku juga suka, makanya bolak balik ke sana..
Hiduppp heritage Indonesia!! Semoga pak menteri yang baru menyadari kalau heritage itu bisa dijual sebagai wisata. 🙂
Hiduup heritage Indonesia! Jangan cuma pasrah saja nggak bisa diapa2kan, ayo terus diolah karena kita kaya! 😉
Nulis surat juga yuk, Halimm…
Kemarin udah nulis surat buat Dayak Meratus hihi
Lagiiii.. Kemarin juga aku nulis tentang goa…
[…] Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia […]
“Aku percaya masih ada orang-orang yang berhati bersih dan tidak silau pada uang semata dan menggadaikan kekayaan wisata daerahnya untuk rusak dieksploitasi dalam waktu singkat.” <~ Amin kak! semoga bisa begitu 🙂 Biar bisa dinikmati cucu cicit kita kedepannya nanti 🙂
Kalau ketemu beberapa orang daerah, selalu ada kok yang masih semangat mempertahankan daerahnya karena mereka sadar kalau rusak maka nggak ada yang datang lagi…
[…] Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia […]
Sepakat!!! Perlu dikonsep lagi potensi2 wisata di kota-kota Indonesia.
yuk tawarkan diri untuk jelajah kota-kota dan mengkonsepkan pengembangan informasi tentang potensi2 wisata..
Ayo, kak. Aku juga mau tonjolkan konten2 city tour di blog 😀
Aku desa tour kak Nugie. Back to ndeso ae, wis…
Bahahaha. Maklum, kak. Aku dari lahir udah hidup di kota 😀
Lho, sama. Aku juga di kota. Melihat ke desa itu menyeimbangkan cara melihat kehidupan.
aku juga sepakat kang..banyak tempat2 wisata di indonesia yang memiliki potensi dikenal hingga seluruh dunia.. 😀
Betul. Tinggal digerakkan oleh pemerintah.
[…] Juwono – Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri […]
aku rasa mungkin negeri kita ini terlalu luas jadi sulit untuk fokus mengembangkan satu potensi wisata… tapi kalo dipercayakan kaya otonomi daerah kata skrg malah dijadiin lahan proyekan.
deuh. iya jleb banget ya, pasti jadi bahan proyekan. ada orang2 baik yang mau mengembangkan, dan ada orang2 agak baik yang mencari2 kesempatan.
Ironisnya banyak yg cari kesempatan, itu wae rebo jadi tertata gt kan memang dibina pbb
Bukaan, Wae rebo itu dapat dana yayasan swasta yang memang peduli terhadap pelestarian daerah. Yayasan ini juga yg merevitalisasi beberapa rumah di Waingapu, Sumba dan Tumori, Nias.
Yang dapat dana unesco sbg warisan dunia itu Bawamataluo, desa di Nias Selatan yg ada lompat batunya.
Kapan ya ke niasss
Nias sekarang lebih gampang. Ada 6x flight dari Medan, kak..
Wah senangnya
Tapi emang jadi ada konsultan2 untuk pengelolaan desa wisata begitu. Ada temanku juga salah satunya. Yah, syukur karena dia paham. Yang nyebelin kalau proyekan begitu emang diambil orang-orang yg pengen ngabisin anggaran aja. 😐
Miris lho kak kalo di lampung, ngga ada yg peduli dengan bangunan bersejarah…
Direvitalisasi pun butuh biaya yang gede banget. Trus mesti ada feasibility study-nya itu bener2 mendatangkan turis atau nggak. Didata enggak sama DinBudPar Lampung? Jadi seperti postnya Vika, ayam dulu atau telur dulu? Turis dulu atau Dana dulu?
Ya tapi jangan langsung bongkar jadiin ruko, dulu kota teluk betung itu pecinaan lampung skrg bangunan tuanya ngga ada. Ada beberapa rumah yg di bawahnya ada bunker untuk berlindung tpi skrg dah ngga ada
Mindset orang daerah yg dapat dana transfer dari pusat tanpa susah payah ya gitu mas Danan, masih merasa dpt durian runtuh. Jadinya penggunaannya juga kurang efektif dan efisien.
mungkin karena bagian yang nyari dana dengan bagian yang ngabisin dana (udah pasti) beda? sikap numbuhin efisiensi dan ngabisin pos pada kebutuhannya saja nih yg perlu ditumbuhkan.
Yg pusat juga seneng ngabisin duit yg konon utk program daerah, bikin pelatihan ngeblog tapi nggak ada kelanjutannya dan kontribusi utk daerah. Ya piknik2 cantiklah
[…] Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia – Indri Juwono […]
[…] Menteri Pariwisata Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri Pariwisata Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata Rijal Fahmi – Pariwisata […]
Sepakat, mbak Indri. Agar orang semakin bisa mengerti bahwa budaya lokal adalah wajah Indonesia sebenarnya, sementara beriring dengan alam sebagai kulitnya 🙂
aku suka kata-katamu, Ki!
Agar orang semakin mengerti bahwa budaya lokal adalah wajah Indonesia.
Budaya lokal yang tetap dijalankan sesuai fungsi aslinya, bukan cuma memenuhi permintaan festival..
Iya mbak, beberapa daerah festivalnya saya lihat terkesan dipaksakan demi menarik animo padahal bukan pada waktu dan tempatnya 😦
festival juga jangan diada-adakan, biarlah memang mengikuti jadwal tradisinya. jangan sampai kehilangan ruh-nya.
Banyak kebudayaan dan peninggalan sejarah yang kadang terbengkalai tanpa ada yang mengurusi. Di Jepara ada beberapa tempat peninggalan sejarah yang kadang diabaikan 😦
Mesti dari orang Jeparanya sendiri yang mulai peduli, kak. Karena bakal feedback ke mereka juga.
[…] Pariwisata Firsta Yunida – Thoughts and Testimonials: Tourism in Indonesia Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata Matius Teguh Nugroho – Merenda Asa Untuk Pariwisata […]
[…] Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia […]
Penyakit banyak orang kita…budaya sendiri lupa…sibuk dan bangga kalau budaya luar dipake..
begitulah kak Vika, mesti ditambahkan kebanggaan dengan budaya sendiri, terutama budaya yang baik dan arif yaa..
[…] Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia […]
Kalau setiap daerah terpencil gitu pasti ada guide lokalnya yang diberdayakan bagus juga ya, Kak.
karena orang lokallah yang paling mengerti daerahnya sendiri. aku pernah ke air terjun srigethuk jogja, dan ngobrol dgn orang lokalnya yang memang dibina untuk menjadi guide dan mengerti seluk beluk daerahnya sendiri.
Aku jadi malu bacanya.. karena sering banget jawab “Cuma jalan-jalan aja” pas ditanya sama warga setempat. Nice writing kak Indri, gak tendensius dan tidak ofensif. 🙂
Hahaw, kak Tiw, aku juga sering banget ‘cuma jalan2 aja’. Tapi karena lama-lama perjalanannya terstruktur, euu maksudnya gak cuma ‘pengen kesana aja’, tapi karena pengen nulis, jadi agak ada tujuannya. #eh
[…] Indri: Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia […]
Setuju mbak, sebagai orang Jogja saya senang denagan pertanyaan mbak: “Yogya sudah sangat kuat potensinya sebagai kota budaya dan wisata”.
Setuju mbak, sebagai orang Jogja saya senang dengan pernyataan mbak: “Yogya sudah sangat kuat potensinya sebagai kota budaya dan wisata”.
dan mereka mencintai kotanya…
Duh ini kok aku terharu berkaca-kaca baca surat ini :’)
Mbak Indri, aku setuju banget sama ini:
“Aku percaya, jika di suatu tempat yang digerakkan adalah orang daerahnya, dan ia mencintai daerahnya dengan sepenuh hati, maka ia akan menjaga keasliannya dengan sepenuh hati, sehingga tidak hanya diminati pengunjung, namun juga mendatangkan kebaikan untuk daerahnya sendiri.”
Kurang lebih sama seperti yang aku utarakan di tulisanku: A balance between growth in tourism and preservation of the environment and local culture – it shouldn’t be the case that the more people visiting a destination results in pollution and a loss of local culture.
Ohya, soal Cirebon.. Aku jadi inget ketemu turis asing di Yogya, trus dia cerita kalau dia iseng naik kereta ke Cirebon dan nginep satu malam di kota itu. Pagi hari dia tanya sama orang lokal di tempat dia menginap: apa yang bisa saya liat di Cirebon? Orang itu kebingungan dan setelah 2 menit, dia jawab: Ga ada.. Ga ada yang menarik di Cirebon. Hihihihi..
Semoga pariwisata Indonesia bisa lebih baik 🙂 Salam dari Yogya!
Huaaa, sedih ya, Ta. Aku juga suka diketawain sodara2ku karena jalan2 ke keraton2 Cirebon.
Kayaknya ini pe-er tahun ini buat aku yg orang Cirebon ini. Proaktif dan banyak nulis informasi ttg kota kelahiran ini! Yeay!