Ini, Candi Kalasan. Candi ini kebetulan saja terlewat dalam perjalanan pulang dari Istana Ratu Boko. Entah bagaimana hari itu jalan-jalanku sangat berbudaya sekali. Candi Kalasan cukup mudah dicapai dari tepi jalan raya menuju Solo. Cuma membayar parkir pada penjaganya, dan donasi secukupnya, aku mengelilingi candi tunggal ini.
Semuka kupikir candi ini adalah candi Hindu karena bentuknya yang tinggi menjulang. Tapi ternyata, agak mirip dengan candi Mendut di sekitar Borobudur, candi Kalasan adalah candi Buddha. Memiliki empat sisi dengan ukiran yang cukup rumit, beberapa bagian candi ini sudah tidak sempurna lagi. Seperti Istana Ratu Boko, candi ini pun dibangun pada masa Rakai Panangkaran di abad ke-8.
Setelah aku berkeliling baru ketahuan bahwa ada rongga yang menghadap ke timur yang bisa dimasuki. Aku mencoba memanjati candi supaya bisa melihat isi dalam relung itu. Batuan penyusunnya berjenis batu candi yang tidak terlalu keras untuk dipahat. Namun struktur penyusunnya sendiri agak unik, karena ada bagian relung yang hanya terbuat dari susunan pasangan batu yang saling silang menonjol hingga membentuk cerukan. Di beberapa bagian pun banyak susunan acak seperti ini.


Ketika turun aku berpikir, sebenarnya boleh tidak, ya, memanjat2 di situs purbakala yang rapuh seperti ini walaupun kita bukan peneliti? Di beberapa bagian agak riskan untuk dipanjati karena susunan batunya mungkin tidak mengunci sehingga khawatir runtuh. Kalau ada yang nekat naik dan jatuh, siapa yang harus bertanggung jawab?
Oke, lain kali aku cuma membolehkan diriku melihat-lihat secukupnya tanpa rasa ingin narsis yang terlalu berlebihan.

Karena berada di tengah pemukiman, aura keagungan candi ini sangat rendah. Jarak yang seharusnya ada untuk membuatnya terlihat anggun tidak ada, tidak sampai 10 m sampai bangunan terdekat. Energinya pun terasa kosong di sini, lebih terasa seperti sebuah batu sendirian. Seperti kesepian di tengah keramaian. Halo candi Kalasan, apakah kamu butuh teman?
Berada di sini dengan puluhan stupa kecil, rasanya sangat ramai dan sesak. Hanya tanah berpasir yang melatari candi dan rumah penduduk di sekeliling. Tanpa jarak, candi ini terasa seperti pajangan, padahal di masa lalu ia bersama sebuah wihara yang dekat dengan doa-doa.

Kembali menuju barat, motor berbelok ke utara menuju lokasi Candi Sambisari. Sekitar 20 menit naik motor, sampai di satu dataran hijau. Wait, mana candinya?
Ternyata keistimewaan Candi Sambisari ini karena ia tidak berada di atas permukaan tanah melainkan di sebuah cekungan luas. Dari jalan raya tempat memarkir motor terdapat beda ketinggian sekitar 6-8 meter ke permukaan tempat situs candi tersebut berdiri. Aku masih terkagum melihat posisi situs yang berada lebih rendah dari permukaan tanah tersebut hingga turun tetes-tetes air dari angkasa… Whoa, hujan!

Untunglah di ujung ada museum mungil yang menceritakan sejarah ekskavasi tanah sekitar candi sehingga tidak kehabisan gaya menunggu hujan reda. Di museum ini diceritakan bahwa candi ini ditemukan tahun 1960-an oleh seorang petani yang sedang mencangkul tanahnya. Setelah digali sekitarnya, rupanya ada situs candi yang berdiri di situ.
Tahun 1966 mulai dilakukan penggalian hingga tahun 1977 yang memperlihatkan keseluruhan candi. Setelah dilakukan pemugaran pada bentuk candi yang agak runtuh yang selesai tahun 1986 barulah bentuknya bisa dinikmati. Pekerjaan terberat untuk kompleks candi yang berada di bawah permukaan tanah ini adalah pembuatan gorong-gorong untuk mengalirkan air hujan ke sungai. Jika tidak dialirkan dengan baik, sekitar sini akan tergenang. Alih-alih melihat candi, nanti malah jadi danau lagi!

Melihat warna langit yang masih meneteskan airnya, aku memperkirakan hujan masih akan turun 10 menit lagi. Hehe, iya, hujan bisa diperkirakan dari kondisi langit. Harus dibiasakan sih untuk dapat perkiraan yang mendekati tepat. Yah, nggak lucu juga kalau wisata ke candi ini ditemani hujan.
Ada beberapa turis Jepang yang nekat berpayung ria di bawah sana sekitar area candi utama. Aku menunggu selama sepuluh menit, dan benar saja, hujan berhenti. Jalan dari museum hingga tangga menurun ke area situs sudah tertutup dengan susunan batu dengan rapi, sehingga tidak perlu takut becek ketika kaki melangkah.

Aku menuruni tangga yang basah itu sampai pelataran candi. Ada tiga candi kecil berjajar di bawah, namun tak semuanya kondisinya utuh. Tanah yang agak becek membuatku harus berjingkat melalui sampai candi tersebut. Agaknya ini adalah bangunan persembahan awal sebelum memasuki candi utama, karenanya dinamakan candi pengawal.




Candi Sambisari adalah kompleks candi Hindu yang diperkirakan dibangun oleh kerajaan kuno Wangsa Sanjaya sekitar abad ke-9 Masehi. Menaiki candi utama dengan denah persegi berukuran 13.65 m x 13.65 m, aku berkeliling area yang tidak terlalu besar ini. Ada ruang di dalamnya yang digunakan untuk bersemadi, dikelilingi oleh dinding dengan relung berarca Durga, kemudian Ganesya menghadap timur dan Agastya di sisi selatan. Arca Durga yang tidak mengenakan busana ini yang menarik beberapa turis untuk mengabadikannya.


Yang menarik dari area candi ini adalah taman di sekitarnya. Di musim penghujan begini, semua area terlihat hijau dan cantik. Dan yang terpenting adalah, jarak! Ruang kosong di sekeliling candi membuat energi yang melingkupinya menjadi kuat. Kualitas ruang luarnya menyamankan pengunjung yang berada di area untuk fokus pada situs candi di bawah yang berpagar batu sepanjang 196 m itu.
Jadi, candi-candi saja membutuhkan jarak untuk menikmati keanggunannya, makanya nyaman untuk memandangnya dari jauh, kemudian berjalan perlahan-lahan mendekat. Aku kembali ke kota Jogja melewati sawah-sawah yang menghijau, mengurai jarak..

piknik 12 januari 2014
ditulis 28 nopember 2014
Wah candi sambisarinya asri banget!! Ijo-ijo menyegarkan mata. 😀
Iya, sekelilingnya luas lagi, jadi ngeliatinnya enak, nyaman. Candinya sendiri kecil..
cakep aku paling suka ke candi2 loh indri
Aku pingin jalan2 pake kebaya ke candi-candi… 😉
ikuttt hahahahah
Nah itu. Candi mana lagi?
inget pengalaman solo backpacker sendiri nih… jalan dari bandara disucipto nyusur candi sampai prambanan dan boko. seru sih pengen ke candi2 lain
duh tanggung amat solo backpacker di jalan solo, mestinya sampai kalasan dan sambisari juga yak..
Sambi masih di jalan jogja solo ya
Yep, nggak jauh dari kalasan, sebelah utara jalan.
Wah sayang nggka mampir kmrn
Makasih banyak buat ulasannya, jadi menambah pengetahuan saya, dulu saya sering candi sambisari tapi cuma foto2 aja 😀
terima kasih sudah mampir. candi sambisari ini unik banget karena di bawah permukaan tanah.. 🙂
Yup ma sama, bener juga ya klw dipikir2 mengapa perancang candinya menempatkan candi dibawah permukaan tanah? atau mungkin dulu pernah terkubur
Sepertinya dulu permukaan tanah lebih rendah dari sekarang. Terus ketutup abu vulkanik tebal. Lokasinya masih di atas permukaan air sungai sih.
Halohap, Mbak Indriii. Di Banjarnegara juga lagi hujan. Sepertinya 5 menit lagi akan reda. 😀
Ini Idah, Mbak. Kita pernah jayan2 bareng pas #FamTripJateng. 🙂
haiii Ida, tentu saja aku ingat dirimyu.
belajar membaca langit ya? ia bisa berbahasa tanpa perkiraan. cobalah mengobrol sejenak. 🙂