Tebak apa yang kamu pasti temukan di pasar malam. Kincir, komidi putar, tong setan. Semua yang berputar. Semua untuk bermain-main.
“Gerimis begini, In. Jadi kita pergi?” tanya Jay di teras rumahnya pada hari Sabtu sore di bulan Januari. Aku mengangguk. Lha, bukannya dia yang semangat empat lima mengajakku dan beberapa teman untuk menyaksikan acara Sekaten yang digelar di bulan Maulud dan kebetulan jatuh pada akhir tahun hingga awal tahun di alun-alun keraton Jogjakarta. Mendung memang menggantung sejak pagi aku tiba di kota pelajar ini hingga turunlah titik-titik air di genting. Ah, gerimis sedikit ini, tak apalah.
Tak mengindahkan gerimis halus itu, kami tetap naik motor menuju alun-alun yang tak terlalu jauh dari rumah Jay. Setiba di sana, Jay memarkir motornya di salah satu tempat parkir di sebelah timur alun-alun, kemudian mengajakku memasuki area pasar malam Sekaten. Ia sempat masuk anjungan Pemda DIY untuk menyerahkan beberapa berkas, lalu keluar melihat-lihat sekeliling.
“Katanya kamu mau naik kincir? Itu ada beberapa,” katanya sambil menunjuk beberapa kincir besi yang tersebar di alun-alun. Kincir memang salah satu wahana yang selalu ditemui di area pasar malam, sepaket dengan perahu ayun, ontang anting, komidi putar, atau permainan anak lainnya. Aku tertarik naik kincir itu karena kupikir bisa melihat pemandangan alun-alun Sekaten dari atas sana. Warna-warni lampunya pasti menarik, kataku waktu itu pada Jay.
Kami berjalan menelisip di antara pedagang-pedagang yang membuka stan di area yang riuh. Jalanan yang becek sehabis hujan agak memperlambat langkah kami. “Jay, aku mau harum manis,” rengekku. Hihi, ia mentertawakanku. “Iyaaa, tujuanku ke sini kan makan harum manis, atau makan jagung bakar, atau makan bakpau, lalu naik kincir,” kilahku ketika ia mengataiku seperti anak kecil. Aku teringat dulu sewaktu kecil sering diajak mamaku ke pasar malam seperti ini. Saat itu aku selalu tertarik membeli harum manis yang besar, dan memakannya sampai kempis sambil diajak berkeliling. “Nanti saja beli harum manisnya deh, sambil naik kincir,” usulku.



Sekaten adalah acara untuk menyambut maulud Nabi Muhammad SAW, dulu digunakan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Diadakan sengaja di ruang terbuka untuk menampung orang banyak. Agak mirip dengan di kota-kota lain di mana aku pernah tinggal, biasanya diadakan setahun sekali. Di Semarang dinamakan Dhugderan, di Cirebon Mauludan, di Blitar dan di Sidoarjo pun walau tanpa nama khusus, selalu ada acara tahunan ini yang diadakan di alun-alun, lama kelamaaan bertambah dengan puluhan stan untuk berpameran atau berjualan, mulai dari instansi pemerintah hingga pedagang UKM yang berjualan hasil produksi kreatifnya di situ, termasuk hiburan aneka permainan. Tak ketinggalan aneka penjaja makanan dan suvenir menggelar lapaknya di tepian alun-alun.
Alun-alun yang biasanya berada di pusat kota, selalu menjadi magnet atas banyak kegiatan temporer. Fungsi alun-alun yang tidak pernah berubah hingga sekarang adalah menjadi tempat berkumpul rakyat banyak. Karena itu banyak kegiatan rakyat yang dilangsungkan di alun-alun menjadi ramai karena rakyat merasa memiliki ruang terbuka kotanya ini.



Pasar malam Sekaten sendiri diadakan di alun-alun utara atau alun-alun lor, di depan Keraton Yogyakarta. Sehari-hari alun-alun ini tidak terlalu ramai, namun keberadaannya dibutuhkan untuk menciptakan jarak antara jalan Malioboro hingga Keraton. Alun-alun adalah semacam ‘barrier’ terbuka di depan Keraton, sebagai ruang penerima yang harus dilalui sebelum memasuki keraton. Alun-alun Lor memiliki 5 cabang jalan yang terpisah dalam kelilingnya. Di tengah-tengahnya dua pohon beringin yang dipagari dan disebut dengan nama Waringin Sengkeran atau Beringin Kurung. Dahulu, pohon beringin ini adalah batas di mana rakyat hanya boleh sampai garis ini, sedangkan hanya Sultan ataupun Pepatih Dalem yang boleh melewati batas Beringin ini hingga Keraton. Namun kini, alun-alun ini bebas untuk digunakan siapa saja bahkan untuk pasar malam hingga konser musik.



Kami berjalan ke arah barat, tempat Masjid Agung berada. “Di sini ada gamelan yang berasal sejak jaman Mataram. Biasanya tempatnya di Keraton, hanya ketika Sekaten saja diikeluarkan,” jelas Jay. Ada dua set gamelan yang dimainkan, di bangunan sebelah selatan dan sebelah utara halaman masjid. “Gamelan biasanya baru keluar seminggu sebelum Sekaten selesai. Nah, sebenarnya yang sudah berjalan sebulan ini cuma pasar malamnya. Kalau namanya Sekaten ketika gamelan ini sudah dikeluarkan dari keraton dan dimainkan.”

Di depan masjid banyak sekali penjaja makanan yang berjualan. Ada beberapa warung yang menjual makanan khas Sekaten. “Ini penjual sego gurih,” kata Jay. Di jalan menuju masjid agung memang banyak penjual nasi berwarna kuning dengan taburan suwiran ayam kampung, kacang tolo, kacang kedelai, kacang tanah, kemangi, tempe iris goreng, telur dadar iris dan serundeng kelapa. “Makanan ini cuma ada pas Sekaten saja, In,” sambungnya sambil memesan dua porsi sego gurih untuk kami. Ia bercerita, “Kalau minggu terakhir seperti ini banyak orang dari desa-desa datang ke Sekaten. Masih banyak yang berjalan kaki atau naik mobil bak terbuka. Sekaten sudah seperti pesta rakyat tahunan, menjadi acara yang ditunggu-tunggu.”



Kami juga sempat mampir ke Keraton Yogyakarta. Tiga tahun yang lalu juga aku pernah ke sini bersamanya dan teman-teman yang lain. Malam ini Keraton Yogyakarta sedikit berhias. Temaram lampu kuning menerangi pendopo-pendopo, mencerahkan ubin kuning bermotif sebagai alasnya. Ada beberapa kereta kayu yang digunakan dari masa dahulu yang dipamerkan. Pendopo ini cukup ramai sehingga kami berjalan cepat dan menuju pelataran di belakangnya.

Di sudut terlihat ada keramaian. Wah, rupanya ada tukang pandai besi sedang memamerkan kemampuannya. “Di sini sedang proses membuat gamelan,” kata bapak-bapak yang berdiri di situ. Di dalam ada satu orang yang sedang memanaskan lembaran besi. Tak lama kemudian beberapa orang bergantian memukul menatah besi tersebut sambil dibentuk. Proses ini terjadi berulang-ulang sengan berirama. Tentu untuk menjadikannya satu alat gamelan tidak dibutuhkan proses sesingkat ketika kami melihatnya.


Kami berpindah ke pameran wayang di dalam bangunan belakang pendopo. Selain melihat beberapa wayang kulit yang dipamerkan, ada juga bapak pelukis wayang. Bapak yang mengenakan blangkon ini dan beskap biru ini tekun mengerjakan gambarnya.


Kami kembali ke area pasar malam yang masih ramai itu. “Yuk, naik kincir!” ajakku sambil memegang harum manis yang akhirnya kubeli. Jay agak ragu, namun akhirnya ia membelikan kami tiket naik kincir seharga masing-masing delapan ribu rupiah. Tidak seperti wahana Bianglala di Dunia Fantasi Jakarta, kincir ini kecil, besi lingkar utamanya hanya berdiameter sepuluh meter saja . Kami masuk sangkar besi yang memang mirip dengan kurungan burung, menunggu penjaganya untuk menarik tuas menggerakkannya ke atas. Sangkar ini bergerak perlahan ke atas, kemudian berhenti. Rupanya ada pengunjung lain yang naik di bawah sana.
Berada di ketinggian sangat menyenangkan. Kami bisa melihat lampu-lampu kedai, lampu jalan, atau kincir lain di kejauhan. Selain itu, di atas pun terbebas dari suara bising musik-musik yang dipasang oleh aneka kegiatan di bawah. Namun seruan-seruan ala tukang obat dan pengumuman yang memenuhi antero alun-alun tetap tidak bisa lepas dari pendengaran kami.

Kincir ini bergerak lagi ke bawah, lalu ke atas lagi, lalu ke bawah, dan.., “Jay, kenapa putarannya cepat sekali?” Perutku mulai merasakan perputaran yang aneh. Putaran kincir ini tidak bisa dibilang pelan. Aku berpegangan kuat-kuat pada sangkar. Area Sekaten terlihat bergelombang di luar sana. Alih-alih menikmati harum manis dengan santai, mukaku justru tegang karena takut ada apa-apa dengan as kincir ini.
Akhirnya sesudah 15 menit berlalu, kincir tersebut berhenti dan satu-satu pengisi sangkar itu pun turun. Kami tergelak geli di samping wahana tersebut sambil menyumpah-nyumpah, “Pokoknya nggak mau naik kincir lagi di pasar malam!” Sudah cukuplah kengerian sesaat sewaktu diputar-putar tadi. Rupanya urat takutku hanya sebatas berani naik komidi putar. Okey, jangan harap aku akan enjoy naik wahana yang lebih menegangkan dari ini semisal Tornado di Dufan, atau permainan di Trans Studio. Challenge me to walk beneath the gorge, rafting at heavy water, or climbing high rock! I’m okay with that, but not the fast giant wheels!

kunjungan pada Sekaten 11 januari 2014 |
ditulis di perjalanan jakarta-semarang-wonosobo 4 desember 2014
mau lihat grebeg maulud di puncak sekaten?
wah jadi inhet jaman waktu masih kuliah di jogja,aku paling suka ke sekaten, banyak jajanannya bikin ngiler,paling suka juga naik kincir sangkar itu 🙂
Kincir sangkar yang sok iye pengen naik, tapi terus takut, hahahayy..
Aku pernah ke Sekaten juga beberapa tahun lalu, dan pas gerimis juga. Walaupun agak serem, naik kincir atau jinontro (nama yg biasa kami sebut di daerah Juwana), tapi seru kan mbak? Hehehe..
seru bangett! pemandangan dari atas sebenarnya bagus,andai saja jalannya nggak terlalu kencang begitu, haha!
berada di pasar malam menyenangkan. rasanya ikrib banget dengan jalan yang agak sempit itu. 🙂
Sekarang di Jogja sudah ada Sekaten lagi loh 😀
Tambah seru kali ini, ada beberapa yang baru 😀
haha, iya. sekaten memang ada setiap tahun kan? nggak tahu kapan ke jogja lagi, tapi menyenangkan mampir sekaten.
Paling aman buat saya itu makan nasi kuning sambil main pancing-pancingan mbak. Mau naik kincir kok ya agak mencurigakan… hahaha 😀
main pancingan juga okey banget tuh. tapi kan tempatnya jauhan sama tukang nasi kuning..
nasi kuningnya dibungkus dong mbak… hahaha
terus nasi kuningnya jadi makanan ikan-ikanan?
tulisannya mengena sekali mbak..
uda lama ga pernah liat pande besi ya 😀
pandai besinya sangat menarik! seumur hidup aku baru pertama kali melihat, tuh.
waaahh, baca ini jadi pengen makan nasi gurih sama harum manis huhuhu… Disini juga lagi banyak Christmas Market mba in, tapi ga ada harum manis 😀
Masa ga ada harum manis? nasi gurihnya ada? Hehehe.. Pasti ngangenkan ke Jogja yaa..
Ah, aku udah lama nggak ke Pasar Malam Sekaten. Masih seperti dulu, dengan penjual mainan tradisional yang masih bertahan.
Kincir itu biasa disebut “dermolem”. Salah satu wahana favoritku selain ombak-ombakan. Ya, aku memang pecinta wahana menantang, hahaha.
Saat Sekaten, aku yang masih remaja biasa diajak menonton gamelan bareng sekeluarga. Lalu, kami membeli sego gurih untuk dinikmati bersama di pagi menjelang siang.
Mbak, kamu sukses mengajakku bernostalgia. Makasih ya 😉 *ambiltisu* *mendadakmelow*
wah, senangnya bisa membangkitkan kenangan remajamu. aku dulu juga sering ke pasar malam di kota-kota lain. tapi suka gak naik kincir2an. mama dulu bilangnya ‘draimolen’. 🙂
ayuk, ke pasar malam lagi!
Nyamperin sekatenan itu acara wajib tiap tahun. Sukanya beli gasingan, kapal othok2 sama celengan. Naik kincir itu juga wajib. Yuks mbak ng solo, wis mulai ki sekatene hehehe
sampe saiki sik seneng nonton sekatenan?
walah iyo, apa bedane karo sing ning jogja?
Isiiih mbak, paling gak satu atau dua kali mampir. Asline meh mirip sih sekaten solo dan jogja, cuma beda beberapa detail
lokasi alun-alun dan keraton dan masjidnya kan polanya sama, jadi kalau yang lebih khas, apa yang ada di solo nggak ada di jogja??
Hampir sama semuanya mbak, paling gamelannya beda nama. yang jelas beda makanan khas yang bisa ditemukan di arena sekaten…solo dan jogja jelas beda..
Kak, januari masih tahun depan kok dah ada nulisan nya ??? Ngarang fiksi yaaa #dikeplak hahaha. Eh ini yg alon2 ada pohon beringin kembar kan yaa ??? atau satu nya lagi ??
ini januari 2014 *keplak* sekaten 1435 H, sengaja ditulis biar sekaten 1436 H juga rame yg nostalgiaa…
Alun2 utara atau selatan dua2nya ada beringin kembarnya. Konon kabarnya……
Baru tahu saya di Sekaten bisa lihat orang buat gamelan. Boleh juga ini. 🙂
masuk ke keratonnya, trus ke pelataran yg belakang. waktu itu sih aku pas malam minggu.
[…] satu cerita dari pasar malam sekaten […]