To dwellers in a wood, almost every species of tree has its voice as well as its feature.
― Thomas Hardy, Under the Greenwood Tree
“Kota ini cocok untuk menghabiskan masa tua, ya,” demikian pendapat Windu, kira-kira 30 menit sesudah kami menginjakkan kaki di Himeji, satu kota di sebelah barat Osaka, yang ditempuh dalam satu jam kereta antar kota. Sesudah tiba di terminal bus dan mengetahui bahwa bis menuju Mount Shosa masih berangkat 30 menit kemudian, kami memilih untuk berjalan-jalan berkeliling sambil membeli bekal di gerai minimarket siap saji.
Suasana Himeji jauh berbeda dengan Osaka. Tak banyak mobil berlalu lalang, bis yang sesekali lewat, udara sejuk yang berangin, bangunan-bangunan yang tertata rapi, orang-orang yang berjalan santai, lambat, tidak terburu-buru. Kami sering bertemu dengan serombongan orang tua yang sepertinya juga sedang bervakansi di kota ini.
Saking asyiknya berjalan-jalan, kami hampir ketinggalan bis no 8 yang hendak berangkat ke Mount Shosha. Untung supir bisnya baik dan berhenti sejenak mempersilakan kami masuk sebelum memulai perjalanan. Kami memperlihatkan tiket seharga 1300 yen yang sudah dibeli termasuk tiket kereta gantung di sana.
Ikon terkenal di tengah kota Himeji adalah istananya yang didominasi warna putih, dan merupakan salah satu istana kekuasaan Hideyoshi Toyotomi juga. Karena keterbatasan waktu, istana ini hanya kami nikmati dalam bis saja, terus menuju Mount Shosha. Jalan sedikit berliku-liku dan mendaki, dengan pemandangan rumah kayu ataupun sawah di kanan kiri, sampai akhirnya tiba di satu area parkir dan pengemudi bis memberi tahu bahwa kaki gunung adalah tempat pemberhentian terakhirnya.
Tidak perlu berlelah-lelah mendaki gunung, karena tersedia kereta gantung hingga ketinggian. Tiket bus yang sudah digabung dengan tiket kereta gantung itu pun diperiksa lagi, dan bersama-sama memasuki kereta gantung yang berukuran cukup besar, muat kira-kira dua belas orang bersama dengan rombongan kakek dan nenek yang hendak berziarah ke kuil-kuil di atas sana.
Rasanya seperti anak kecil lagi, di tengah keramahan kakek dan nenek itu yang serasa menjaga kami, melihat pemandangan Himeji di kiri dan kanan, ketika kereta gantung itu naik sedikit demi sedikit, hingga ketinggian mencapai di atas Mount Shosha. Sesudah diperiksa petugas di gerbang, kami naik bis kecil yang melewati jalan berliku-liku hingga dekat area kuil Engyoji, tempat kami akan berjalan kaki mengeksplor sekeliling.
Tempat ini sedang tidak terlalu ramai kecuali oleh orang-orang yang sedang beribadah. Bangunan kayu mendominasi sekeliling seolah tak berubah selama ratusan tahun. Berdiri di tengah-tengah hutan maple, aku membayangkan suasana yang terjadi apabila ke sini pada musim gugur. Beberapa daun maple sudah terlihat memerah cantik sebagai latar bawah di kaki kuil. Tidak terdengar riuh rendah canda tawa, semua berjalan dalam lambat.
Maniden
Kuil Maniden berdiri di tepi tebing, dengan tiang-tiang kayu yang menyangga dengan jarak sekitar satu meter. Sebagian bangunan ini berdiri di atas tebing di atas sana. Kami menaiki tangga hingga beranda kuil yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Sekeliling kuil menggunakan beranda kayu yang sebagian melayang dan sebagian berdiri di atas tanah. Sepertinya kayu-kayu ini sudah cukup tua umurnya sehingga kokoh berdiri sebagai struktur.
Langkan kayu setinggi kira-kira satu meter mengamankan orang-orang yang berlalu lalang di atasnya. Aku mengetes, apakah susunan kayu ini bisa berderit seperti yang pernah kubaca di novel-novel Jepang tentang papan lantai sedemikian hingga cepat mengetahui apabila ada orang yang memasuki area rumahnya.
Bagian entrance dinaungi oleh kanopi lengkung yang khas ditopang oleh struktur kayu yang rumit namun indah. Berbagai kayu bertumpuk dan dikunci tanpa menggunakan paku. Struktur ini dimaksudkan supaya lentur dan bisa mengikuti arah gerak bumi apabila terjadi gempa. Hanya ada satu ruangan luas di dalam kuil yang untuk bersembahyang yang didatangi beberapa orang untuk berdoa.
Salah satu keunikan adalah sistem pintu ganda pada hampir keseluruhan dinding. Pintu arah luar berbahan kayu solid yang menggunakan engsel pivot yang ditanam ke kaki-kaki dengan serutan yang amat halus dengan dua pasang pintu yang masing-masing terangkai dengan engsel kupu-kupu. Sementara pintu bagian dalam semi transparan kotak-kotak dengan sistem geser yang bergerak di atas rel kayu. Sistem dua pintu ini memungkinkan adanya berbagai kebutuhan di dalam bangunan, bisa dibuat privat dengan tertutup semua, semi privat dengan hanya membuka bagian luar, atau publik juga semua pintu dibuka.
Di bagian dalam terdapat satu ruangan besar dan satu area berdoa yang dibatasi oleh dinding kayu kotak-kotak. Aroma dupa tersebar di mana-mana, menguarkan suasana yang syahdu dan cukup mistis. Hening dan perlahan ditengarai suara angin di luar membuat tempat ini terasa damai.
Mitsunodo
Kami berjalan lagi di tengah hutan-hutan dan menemukan tiga bangunan yang dikenal sebagai Mitsunodo, yaitu Daikodo (main hall), Jikido (lodging dan dining hall, sekarang sebagai ruang pamer benda-benda berharga) dan Jogyodo (gymnasium). Area ini terkenal sebagai lokasi syuting film The Last Samurai yang dibintangi oleh Tom Cruise beberapa tahun yang lalu.
Karena Daikodo dan Jogyodo tidak bisa dimasuki, kami masuk ke Jikido yang ternyata dibuka untuk umum, karena sekarang tempat ini dipergunakan sebagai semacam sekolah asrama untuk belajar keagamaan. Jikido ini berlantai dua, di mana bagian bawah ada hall besar untuk belajar, dan bagian atas yang menjadi area ruang pamer.
Berbeda dengan Maniden yang menggunakan pintu ganda, di Jikido ini hanya dinding bagian depannya bisa dibuka dengan mengangkat ke atas dan digantung. Tampak bilah kayu berkotak-kotak ini sebagian terbuka 90 derajat dengan pengait gantung dari besi. Setiap modul berukuran kira-kira 2 m yang berjajar di keseluruhan jalur depannya.
Menariknya, di Jikido ini ada seorang biksu penjaga yang menawarkan menuliskan kaligrafi dan cap pada buku cap yang aku bawa dengan imbalan tertentu. Dengan tenang mereka menorehkan tinta sehingga tercipta kaligrafi yang cantik. Menjelang kami meninggalkan tempat itu, beberapa pelajar berseragam hijau tua memasuki ruangan dan mulai mengambil tempat duduk di tepi jendela untuk mengerjakan tugas-tugas mereka.
Walaupun Daikodo tidak bisa dimasuki, tapi aku juga mengamati bagian depannya yang berupa rangkaian pintu yang mirip dengan Maniden, yaitu pintu dengan engsel pivot yang membuka ke arah luar. Pagar kayu menghalangi kami untuk masuk ke dalamnya. Bangunan ini beratap dua tumpuk, kanopi sebelah bawah untuk menaungi bukaan-bukaan pintu, sementara yang atas untuk menutup keseluruhan bangunan bagian atas. Cita rasa konstruksi kayu yang begitu rumit dan indah dan sudah berusia bertahun-tahun ini mengagumkan, sampai-sampai menimbulkan tanya dalam hatiku : apa di masa kini masih ada orang-orang yang punya kemampuan crafting yang konstruktif seperti ini, ya?
Jogyodo yang dahulu berfungsi sebagai gymnasium atau ruang berlatih olah gerak, memiliki denah memanjang dengan teras besar di depannya dan pintu-pintu besar juga ke arah bagian dalam. Agaknya tiga bangunan ini memang dahulu sebagai satu perguruan dengan fungsi masing-masing yang saling menunjang. Tanah lapang di depan ketiganya adalah tempat berkumpul orang-orang yang belajar di sini.
Desa
Di sebelah belakang Mitsunodo, masih terdapat beberapa bangunan seperti rumah-rumah, kuil kecil, menara, yang keseluruhannya juga masih terbuat dari kayu. Konstruksi bangunan ini relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan kuil-kuil tersebut tadi. Sayangnya, desa ini sudah tidak berpenghuni, sehingga hanya dijadikan sebagai museum ikonik dari kehidupan di Engyoji pada masa lampau.
Berjalan di tengah hutan, di bawah rimbunnya daun maple yang mulai memerah, tanpa sedikit pun suara kendaraan bermotor, memang cocok untuk menyepi, menjauh dari kehidupan duniawi, belajar tentang keseimbangan alam. Berguru untuk mengalahkan diri sendiri, bukan sekadar menang. Atau menyendiri jika sudah lelah dari hiruk pikuk kota, berbicara kepada dedaunan, air, tanah, atau awan-awan di udara.
perjalanan 6 September 2014, Himeji. special thanks to Windu Sari.
ditulis di Pulomas 18.04.2016
tentang jepang :
kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut
osaka : tradisional, modern, dan hura-hura
himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando
Kereen. Di saat orang orang justru lebih memilih berwisata di kota kota besar jepang yang mainstream dengan segala hingar bingarnya, mbak justru memilih menyepi di himeji. Benar benar melihat sisi lain jepang yang jauh dari pandangan orang kebanyakan. Tapi saya sih masih lebih suka ke Kotanya saja kalau diberi kesempatan berkunjung ke Jepang, heheh.
Justru yang begini yang nggak ditemui di negara lain. Kekhasan culture ini, makanya aku suka melihat ini. Kalau kota dan pop artnya memang Jepang punya style-nya sendiri, beda dengan New York atau Paris, misalnya. Tapi kan sudah keliling Osaka kemarinya, hehee.
Jepang ikutan jadi wishlist aku karna mas sering cerita, karna dicekokin dorama jepang terus jadi kepengen deh.. semoga bisa ajak Thole kesana hiihi
He itu biksunya baik banget yaaaa, terus yang ditulis artinya apa kak??
Aku pun pengen ke sana lagi sih. Moga2 bisa ngajak Bintang ke sana pas winter. Pengen liat salju.. (norak deehh).
Nggak ngerti apa yg ditulis, ada di post sebelumnya tentang cap stempel. 😅😅
Selalu suka dengan kota-kota kecil seperti Himeji, mbak. Modern, bersih, tenang, nyaman. Rasanya nanti kalau ke Jepang pengen menghabiskan waktu minimal sehari semalam di kota-kota seperti itu 🙂
Rangka kayu kuil Engyoji memang sudah populer. Semoga punya waktu ke sana saat ke Jepang nanti.
semoga, didoakan ya Nug!
[…] tentang jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji […]
[…] jepang : osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
[…] jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
[…] airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
Amazing banget dahh