“No one saves us but ourselves. No one can and no one may. We ourselves must walk the path.”
― Gautama Buddha, Sayings Of Buddha
Sudah lama aku mendengar tentang kota Nara di Jepang, yang digadang-gadang sebagai sister-city dari beberapa kota di Indonesia. Dengan penjelasan seorang teman yang baru dari sana dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari kota tinggalku dan Windu, membuatku mencari pengalaman baru di kota taman yang istimewa ini. Nara ditempuh dalam waktu sekitar satu jam dengan kereta dari Osaka. Jejaring JR Pass membuat kami hanya menunjukkan kartu saja dalam perjalanan di area prefektural Kansai ini.
Yang istimewa, kota Nara ini bisa dijelajahi sambil berjalan kaki. Pertama kali tiba di stasiun Nara, kami langsung menuju bangunan Tourist Information Center. Di situ kami bisa memdapatkan peta kota Nara beserta jalur umum yang dilewati sembari berjalan kaki. Seorang bapak tua akan menjelaskan dalam bahasa Inggris yang baik, tentang tempat-tempat yang bisa kami kunjungi. “You can walk to these place by four to six hours,” sambil menandai dengan pensil merah. Gambar rusa yang lucu menghiasi peta wisata kami, yang merupakan simbol kota Nara.
Apa yang paling menarik dari menjelajah kota selain berjalan kaki? Di antara langkah-langkah menapaki ditemani arcade toko berwarna-warni. Ruang pedestrian yang lega dan lapang tanpa takut pedagang kaki lima berkeliaran. Berbagai material penutup jalan, mulai dari batu hingga semen, bergantian dalam komposisi yang memanjakan kaki.
Kofukuji Temple
Ada satu kungkungan yang menghalangi pandangan, seolah besar berada di dalamnya. Rupanya kuil utama Kofukuji sedang direnovasi, demikian pengumuman tertulis. Hanya umpag bulat tempat dudukan kayu-kayu yang kelak akan berdiri menopang atap bangunan yang besar dan sedang dikerjakan oleh artisan-artisan andal di dalamnya. Kayu-kayu utama diganti dan diremajakan kembali sehingga Kofukuji Temple akan tetap berdiri tanpa mengubah wajah aslinya.
Situs ini didirikan pada tahun 669 SM oleh salah satu istri dari Fujiwara Kamatari, sebagai tempat beribadah keluarga Fujiwara yang sebenarnya berdiri di Kyoto, namun dipindahkan ke Nara dan diberi nama baru yaitu Kofukuji. Diselamatkan dengan penobatannya sebagai salah satu World Heritage, kompleks situs ini memiliki berbagai bangunan yang menarik untuk diziarahi.
Goju-no-to (Five Storied Pagoda) adalah bangunan yang sangat menyita perhatian. Warna kayunya yang sudah menghitam menandakan zaman demi zaman yang sudah dilalui oleh bangunan ini. Tersohor di banyak tempat sebagai ikon kota Nara, pagoda ini dilindungi dengan pagar di sekelilingnya sehingga orang tidak bisa sembarangan masuk. Berdiri kokoh sebagai simbol kemegahan di masa lalu, bangunan ini begitu menyita perhatian di hari yang terik dengan langit biru ini.
Di sebelahnya, Tokon-do (East Budhha’s Hall) tempat berziarah dan memanjatkan doa. Sebuah genta besar dengan tali merah panjang dihela berkali-kali oleh peziarah sebelum mereka masuk dan berdoa. Sekeliling Tokon-do ini terdapat teras yang cukup besar mengelilingi. Pintu-pintu kayu yang besar dan berat membatasi bagian dalam dan luar. Rasa penasaran membuatku berkeliling dan mengamati detail demi detail dari sambungan atap yang pernah diukir oleh para artisan Jepang ini.
Tak jauh dari kuil tersebut terdapat Kokuho-kan (Kohfukuji Temple Treasure hall) yang di dalamnya terdapat berbagai macam koleksi situs ini termasuk aneka patung Buddha yang dibuat dari berbagai macam bahan, mulai dari batu, besi, perunggu, kuningan, hingga lapis keemasan. Tetapi kami tidak boleh mengabadikan koleksi tersebut dengan kamera, sehingga aku dan Windu hanya mengamati bagian luarnya saja.
Selain itu, juga ada Nan’en-do (South Octagonal Hall) yang berada di selatan dengan Sanju-no-to (Three Stories Pagoda) yang mendampinginya. Jadi, sementara bangunan utama Chukon-do direnovasi, namun bangunan pendukungnya yang berada di selatan dan utara tetap bisa ditilik. Melihat dari orientasi arah, kuil ini menghadap ke arah timur, menatap matahari terbit.
Di belakang area Kofukuji Temple, berhadapan dengan Nara Prefecture Government Office, hijau dipandang mata dengan taman-taman luas tempat rusa-rusa berkeliaran dengan bebas. Hewan ini mengendus dan mengikuti bau-bauan dari biskuit khas yang menjadi makanannya.
Rusa-rusa ini merupakan bagian paling dirindukan dari kota Nara, karena mereka begitu manis untuk dilewatkan begitu saja disapa, melenggang dengan kaki-kaki jenjang seolah tak peduli dengan sekitar, namun selalu waspada terhadap yang mengintai. Menikmati di tengah rerimbun pohon tempat mereka hidup, walaupun hanya beberapa meter jaraknya dari jalan aspal yang dihindari. Tapak kaki yang selalu merindukan tanah, asli sebagai tempat berpijak.
Yoshikien Garden
Kaki-kaki kami menapaki tangga batu yang tidak seberapa besar itu memasuki satu pekarangan tradisional dengan kolam, semak, dan pepohonan dan rumah kayu yang tersembunyi di dalamnya. Rumah ini mengambang berdiri di atas tanah setinggi sekitar 60 cm, dengan alas batu besar sebagai pelangkah naik. Teras kayu di sekeliling rumah dibatasi dengan pintu-pintu kaca ke arah dalam. Uniknya, pintu-pintu ini berdiri di dalam rel kayu yang kelak bisa digeser dengan menyorongkan daunnya hingga ke ujung. Sebuah tangkapan daun pintu di ujung menjadi wadahnya apabila keseluruhan ruangan dibuka. Hamparan tatami dengan ukuran teratur bisa diintip dari tepian.
- Keunikan bangunan ini, wadah daun pintu yang ditahan atas dan bawah. Perhatikan juga pola pertemuan kayu pada bagian sudut teras.
Taman ini dinikmati dengan menyusuri jalur pejalan dari batu-batu alami, naik dan turun tangga di tengah naungan pohon maple. Seandainya musim gugur datang, pasti warna jingga akan mendominasi lorong ini. Kami menemukan sebuah rumah kayu berwarna kuning berdiri di ujungnya. Tiang-tiang kayu dengan batang tak lurus menyangga bagian atap yang menjorok keluar. Rangka bambu untuk menahan perletakan atapnya. Dari bagian utama bangunan, penutup jerami yang tebal dengan bubungan berbentuk khas sebagai atapnya. Rangka bambu sebagai salah satu material khas Jepang mendominasi bangunan ini. Jerami ini bisa sampai 30 cm tebalnya, cukup kuat juga untuk menahan hawa di musim dingin.
-
Wadah daun pintu berupa lemari tertutup untuk melindungi material kertas yang mengisi daun pintu. Pola pertemuan kayu pada sudut teras hanya diagonal biasa.
Isuien Garden
Dua lembar brosur menemani langkah kami memasuki Isuien Garden, melintasi promenade panjang tempat kami menemukan Sanshu Tei, peristirahatan untuk menikmati Yoshiki river yang cantik, di tengah taman Jepang yang melingkungi. Aneka cukuran pepohonan yang membentuk pola bulat, disusun dengan komposisi naik turun tinggi rendah yang dramatis tanpa simetris di depan air yang tenang, memberi ketenangan bagi siapa pun yang memandang.
Dua mangkuk teh masih tertinggal di atas meja, menandakan tidak lama sebelumnya ada penikmat yang menghabiskan waktu di sini sambil menikmati lansekap depan yang cantik. Mungkin sambil berkontemplasi. Teras rumah yang tidak terlalu besar mungkin hanya sebagai tempat berdiam sementara sebelum melangkah masuk ke rumah dengan tatami ini. Hampir hangat seperti rasa pulang, tapi kurang tanpa penghuni tetapnya. Ruang-ruang terlindungi oleh pintu ganda, daun pintu yang berlapis kertas dan daun pintu kaca, berfungsi bersama di segala musim. Jika di luar terasa dingin dan masih tetap ingin memandang, pintu kaca tidak akan menghalangi mata ke arah taman.
- Teras yang terbuat dari jelujur bambu dan kayu, komposisi unik dan manis berpadu dengan tangkapan pintu kaca di bagian luar dan lemari pintu kertas di bagian dalam.
Rumah lain di dalam taman scenic ini lebih besar namun tertutup untuk umum. Daun-daun pintu kaca menutupi di bagian luar terasnya, tidak berhimpit seperti di rumah sebelumnya. Masih dengan atap jerami tebal yang mendominasi, aku mengintip ke dalam ruang tatami yang senyap di dalam. Mungkinkah pernah ada kehidupan, atau tempat ini hanyalah peristirahatan? Masih memperhatikan ujung-ujung tempat kayu bertemu, dengan pola yang lagi-lagi berbeda.
- Pertemuan kayu secara diagonal dengan saling susun, cara yang cukup umum digunakan untuk mengakhiri pertemuan. Pintu-pintu kaca di sisi luar, untuk melalui koridor teras yang terlindung.
Todai-ji Temple
Gerbang besar dan tinggi menyambut kami setiba di area Todaiji Temple, diikuti oleh selasar panjang yang mengelilingi inner courtyard di depan kuil bersejarah ini. Setiap dari kami harus melintasi selasar untuk sampai di depan kuil utama, Daibutsuden, yang mulai dibangun tahun 747 Masehi. Di tengah hari yang terik begini muncul dua pilihan apakah berjalan sepanjang selasar, atau melintasi lantai batu bersama ratusan orang lainnya menuju aula besar utama?
Daibutsen terdengar riuh rendah dengan berbagai peziarah yang menikmati patung-patung kayu yang dipahat oleh berbagai artisan Jepang pada masanya. Tiang-tiang kayu seukuran pelukan berdiri menaungi atap besar yang menjadi rumah bagi segala patung-patung raksasa tersebut. Setiap tiang dibungkus oleh bilah-bilah kayu yang dilingkari cincin besi dan pasak untuk menahan kulit luar tersebut. Balok-balok kayu menghubungkan antar tiang di bagian atas, sebagian bersusun dua, sebagian bersusun empat. Di ketinggian puncak, balok tersebut menopang langit-langit yang berbentuk kotak-kotak wafel, menutupi pandangan langsung ke struktur kuda-kuda atapnya.
Patung Buddha Daibutsu perunggu berukuran raksasa dengan pose bersila menjelaskan skala ruang di bangunan ini yang mencapai ketinggian 48,74 m dengan panjang 57,01 m dan lebar 50,08 m. Beberapa patung kayu menemani di dalamnya beserta maket kayu beberapa bangunan yang berada di Nara. Pintu-pintu kayu raksasa membatasi ruang luar dan dalam, sementara di dalam dilindungi oleh pintu jeruji sebagai pengaman berlapis. Tiba di sudut keluar terdapat banyak toko cinderamata untuk membeli sekadar kenangan dari kota taman yang ditinggali rusa-rusa jinak ini.
Nigatsu-do Hall dan Sangatsu-do Hall
Tangga-tangga batu yang mendaki harus kami lalui menuju Bell Tower, pusat pemberitahuan awal di masa dinasti Fujiwara. Terus mendaki hingga nampak dua bangunan Sangatsudo Hall di bawah dan Nigatsu-do Hall di atas. Lelah mendaki sesudah beberapa menit menjadi alasan tepat untuk beristirahat selama beberapa jenak di sini.
Nigatsu-do Hall (Hall of the Second Month) menjadi tempat menarik untuk mengamati Todai-ji dan sekitarnya. Berdiri di ketinggian yang cukup setelah melalui lagi puluhan tangga dengan altar-altar nama yang berjajar (dan menimbulkan tanya, apakah yang tertulis di situ adalah nama?), jalur yang kami lalui tadi terlihat di balik rerimbun pepohonan. Situs ini cukup populer didatangi oleh sekelompok anak sekolah yang berseragam beramai-ramai yang mungkin untuk mempelajari sejarah di sini. Selain melalui tangga batu tadi, juga ada tangga yang dibangun di sisi kuil yang tertutup atap hingga teras yang mengelilingi kuil. Dibangun tahun 752, kuil ini sempat terbakar di tahun 1667 dan dibangun ulang di tahun 1669. Pusat keramaian di sini terjadi pada festival yang berlangsung di sekitar bulan Maret, di mana para biksu akan menyalakan obor dan lentera sebagai tanda kesuksesan pada tahun tersebut.
Sementara itu Sangatsu-do Hall (Hall of the Third Month) diyakini sebagai bangunan tertua di kompleks Todai-Ji yang ditemukan pada tahun 733. Tidak terlalu banyak yang ikut mampir ke bangunan ini, mungkin karena sudah lelah usai mendaki Nigatsu-do Hall.
Rusa-rusa menemani perjalanan kami ke kuil selanjutnya, melintasi Wakakusayama hill di sebelah kiri yang hijau, walaupun demikian tidak lagi menarik minat kami untuk mendakinya karena sudah cukup lelah. Naungan pepohonan di kanan dan kiri serta angin yang bersemilir agak memberi semangat untuk mencapai titik selanjutnya.
Kasuga Taisha Shrine
Melintasi jalan berbatu dan jembatan kayu berlangkan merah, kami tiba di kuil terakhir yang merupakan tempat favoritku. Nuansa warna merah mendominasi tiang-tiang kayu yang menopang bangunan ini sejak mulai di gerbang Keigamon gate. Tiang-tiang batu dengan lampu di dalamnya seakan mengucapkan selamat datang pada kami yang tiba pada penghujung hari.
Disebut juga Temple of Lantern, lentera-lentera ini menggantung hampir di semua bagian bangunan. Terbuat dari perunggu maupun kuningan, dengan jarak yang tidak membuat mereka berdenting bertabrakan, aku membayangkan ketika malam hari dan semua lentera ini menyala, pasti akan sangat indah di sini. Tapi ternyata semua lentera ini hanya menyala pada saat festival yang berlangsung sekitar bulan Maret atau Agustus.
Kuil utama di sini adalah Chumon Oro, yang didepannya terdapat Omiya Style Lantern dari kayu. Sayangnya mungkin karena hari sudah menjelang petang, kuil ini tak bisa lagi dimasuki, sehingga kami hanya berjalan di area luarnya yang tak kalah menarik dengan aneka lentera bergantungan di seputaran kuil. Beberapa bangunan yang berada di dalam juga menggantungkan lentera di sekelilingnya. Area kuil yang dikelilingi oleh selasar panjang ini bisa mudah dikenali dengan berbagai gantungan lentera di antara tiang-tiang merah.
Berjalan menuju pintu keluar di Nanmon Gate, kami menemukan banyak sekali tiang-tiang batu dengan lentera di dalamnya seolah sebagai penunjuk arah untuk kembali ke jalan utama. Ditemani pepohonan yang menjulurkan kanopinya, pasti menjadi sangat romantis melewati lorong ini ketika senja tiba. Apalagi jika festival kelak, ketika semua lentera ini menyala di bawah naungan daun-daun yang berdesir gemerisik.
Nara National Museum
Agak menyesal tiba di depan museum ini ketika jam sudah menunjukkan waktu pukul lima tiga puluh, karena petugasnya mengatakan the gate is closed, dan aku tak bisa lagi mencoba menggali sejarah tentang Nara dari dalam bangunan ini. Tapi ternyata daerah sekitarnya pun cukup menarik untuk diamati. Karena museum ini berada di tengah-tengah taman terbuka yang banyak orang berlalu lalang dan tentu saja rusa cantik yang mondar mandir di halamannya. Bangunan museum yang memanjang dengan atap bergelombang dari bahan yang aku belum tahu itu apa, mendominasi jalur sepanjang Himurojinja Kokuritsuhabukutsukan. Bangunan ini menjadi salah satu modernitas yang kutemui sejak perjalananku keliling kota Nara hari ini. Tanpa menjadi terlalu dominan, massa bangunan memilih untuk bersikap natural menyatu terhadap lansekap sekitarnya, dengan warna yang tak berbeda dengan hutan dan pepohonan di sekitarnya.
Sarusawa Ike Pond
Langkah demi langkah menyusuri berbagai jejak kota selama hampir 9 jam membuat kami harus berhenti cukup lama untuk mengistirahatkan kaki. Danau di depan Kofukuji Temple ini menjadi tempat yang tepat untuk melepas penat, ditemani langit yang mulai meremang hingga cahaya bulan yang perlahan terang. Air danau yang tak beriak memantulkan bangunan, lampu, hingga perahu sebelum cahaya menghilang dan gelap datang.
10 hours walk at Nara, Summer-Autumn Day, 07 September 2014.
Special thanks to Windu Sari.
tentang jepang :
kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut
osaka : tradisional, modern, dan hura-hura
menyepi di engyoji himeji
himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando
Bersih banget yaaa, nyaman jadi nya 🙂
banget kak cum. kamu bisa lalalili di sini sambil cipokan sama rusa deehh..
Wah.. aku seperti terjebak dalam film jepang pas lihat foto-fotonya. Adem banget terlihat…. 🙂
ayo, ayo mari ke siniii..
Indah sekali kak Indri !
Kotanya keren, ramah pejalan kaki ya *Indonesia kapan begini, hehe*
Bangunan – bangunannya keren, tamannya juga asyik kayanya buat duduk – duduk santai, rusanya, ya ampuuuun unyuuuu banget 😍
Lagi berkhayal seandainya lampion dekat Nanmon Gate itu nyala semua saat malam, pasti romantis
huhuuuuw, romantis kali kalau ke sana sambil hanimun yaak. semoga ada kota di Indonesia yang bisa dikelilingi jalan kaki beginii.
Keren dan nyaman banget ya kotanya. Apalagi bisa dieksplore dengan berjalan kaki sambil menikmati keindahan arsitektur Jepang. Thanks for sharing mba 🙂
asyik banget, walo kaki pegel banget waktu balik lagi ke stasiun Nara dan besoknya jalan lagi. makasih sudah mampir ya. salam kenal..
Jalan kaki di Nara bikin puas banget hehe, aku yang klo di Jakarta gak terbiasa jalan kaki pertama harus terbengong menghadapi kenyataan dari stasiun Nara jalan kaki samapi Todai-ji temple dan Kasuga Taisha, tapi terbayar dengan kepuasan menikmati ketenangan dan keindahan temple-temple dengan nilai historis yang luar biasa.
Iyaaa, sampe pegel dan gempor kakinya. Rencana 4 jam malah jadi 8 jam saking seringnya mampir2an.. Nara cantik bangeedd…
Kotanya bener sepi gitu ya kak?bener-bener wouwww
Akkk…suka banget sama kota yang menyenangkan untuk dijelajahi dengan jalan kaki. Kan jadi santai menikmatinya. Pengen juga ketemu sama rusa-rusa jinaknya 😉
waah, kamu pasti bakal sampe sini deh, Zus…
[…] tentang jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut traveling ke jepang, bawa koper atau ransel? stempel di jepang pengingat perjalanan menyusuri trotoar jepang demi manhole cover osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando nara heritage walk […]