gemerisik hutan pinus bandung

Kulari ke hutan, kemudian teriak ku..

Kadang-kadang berpikir, apa benar kata-kata Dian Sastro kalau ingin teriak maka lari saja ke hutan? Pastinya tidak dong, karena hutan itu bukan ruang mati di mana tidak ada spesies lain yang hidup di dalamnya. Selain pepohonan di hutan yang memang hidup, juga banyak spesies lain hidup dalam hutan dan mungkin saja bersembunyi karena tidak ingin bertemu manusia. Bukan apa-apa, terkadang manusia itu suka iseng dan kepingin membawa pulang hal-hal yang ditemui di hutan, sih. Tidak hanya membawa kenangan.

Beberapa tahun lalu, setiap pulang ke Bandung, aku selalu mampir he hutan ini. Berada beberapa ratus meter di atas kota kembang yang dingin ini, punggungannya bisa dilihat dengan jelas dari atap rumahku di Riung Bandung. Dari simpang Padasuka dekat Cicaheum, tinggal naik ojek hingga Desa Cimenyan, di mana di perbukitan atasnya berdiri batang-batang pinus yang suaranya berdesir ketika ditiup angin.

Dari atas perbukitannya bisa dilihat cekungan Bandung yang menghampar di bawah, dengan gedung Japati di depan Gasibu yang tampak menonjol terlihat dari atas, serta atap-atap pabrik yang berkilauan di arah selatan. Agak ke arah barat, gunung Tangkuban Perahu menelungkup dengan tenang usai ditendang Sangkuriang entah sudah berapa kenangan yang lalu.

Dahulu jalannya masih berbatu, tanpa perkerasan yang membuat motor licin melaju. Terkadang lebih nyaman untuk berjalan kaki daripada naik kendaraan beroda dua ini. Maka begitu usai aspal dan bertemu jalan berbatu, melangkah lebih jauh sembari menghirup udara dan memandang langit biru adalah salah satu pilihan menarik. Sembari berjalan-jalan di antara kebun sayur hingga masuk hutan yang dipeluk kabut.

Hutan ini dipenuhi pohon-pohon pinus yang tinggi langsing hingga ujung-ujungnya hilang di langit. Namun ukurannya tidak terlalu besar hanya selingkar rangkulan orang pun masih bisa mempertemukan tangannya. Gemerisik suara daun-daun beradu di ketinggian, suara angin berkesiur, serta lamat-lamat suara burung bersiul-siul mudah sekali ditemui di sini. Pepohonan ini berbaris rapi satu per satu dalam jarak tertentu, seperti diatur oleh guru SD sebelum masuk kelas. Satu dua tenda berdiri di salah satu punggungannya, seperti usai melewatkan malam dan fajar.

Jika membentangkan peta Bandung, niscaya akan dilihat bahwa hutan di atas Cimenyan dan Taman Hutan Raya Juanda yang sudah terkenal sejak aku kecil adalah bertetangga. Mungkin juga bersaudara karena jenis pinusnya yang sama (kalau dilihat secara kasatmata, sama-sama tinggi), yaitu Pinus (Pinus merkusii). Walaupun bertetangga, namun jaraknya tidak bisa dibilang dekat, karena terpisah sekitar 8-10 km dengan lereng dan lembah yang naik turun.

Terkadang bisa menemukan tupai atau musang di sini berkelebat di antara pepohonan. Nuansa warna kecoklatan dari dedaunan bak jarum yang jatuh menghampar seperti karpet empuk untuk tidur-tiduran di dalam hutan. Aneka pakis-pakisan tumbuh sembarangan di antara batang-batang langsing, di mana cahaya matahari hanya melintas samar-samar. Asal jangan sembarang menyalakan api di sini, karena jenis pohon ini termasuk yang paling mudah terbakar.

Hutan pinus yang dikelola oleh Perhutani ini potensial menghasilkan getah pinus yang bisa diolah di pabrik melalui proses melting, scrubber dan pemasakan menjadi gum rosin dan terpentin. Bahan-bahan ini digunakan sebagai bahan dasar aneka proses kimia seperti tinta cetak, fotokopi dan pencetakan laser kertas, pernis, perekat (lem), sabun, kertas ukuran, soda, flux solder, dan lilin penyegelan. Proses lanjutan destilasi terpentin akan menghasilkan produk turunan Alphapinene, Bethapinene, D-limonen, D-carene. Sedangkan proses lanjutan produk Gum Rosin melalui easterifikasi dan flacking menghasilkan Glycerol dan Rosin Ester. Dengan nilai ekonomi yang begitu tinggi, tak heran hutan pinus bisa menjadi primadona untuk dipertahankan hidupnya lebih lama, daripada hanya ditunggu besar dan dipotong kayunya saja.

Ketika kembali pada area yang sama beberapa bulan yang lalu, aku sempat khawatir bahwa hutan pinus ini sudah berkurang akibat makin banyaknya penyadapan di kawasan ini. Tetapi ternyata, hutan yang dulu bisa dimasuki dengan mudah, hanya berlari-lari kecil saja dari sejak turun motor, sudah agak berubah. Tampak jalan paving block menggantikan jalan batu yang dulu didaki sambil terengah-engah. Pohon buncis yang dulu menjadi batas alami antara perkebunan dan hutan berganti dengan kawat-kawat setinggi orang. Dan di ujung paving block itu, ada gerbang. Tiket.

Ya, sekarang masuk ke hutan cantik itu tidak bisa lagi seenaknya berlari-lari kecil lalu menyelusup masuk menghilang diantara batang. Ada pengelola yang bertanggung jawab atas isi hutannya. Ada jalur-jalur yang ditata dengan rapi sehingga pengunjung bisa berlalu lalang dengan aman, termasuk dengan petunjuk wisata ke beberapa titik menarik di dalamnya. Terdapat musholla dan kamar mandi di dekat pintu masuk, juga toilet pada persimpangan di dalam hutan.

Menara pandang berdiri kokoh di tempat aku dulu sering duduk menikmati kota. Tidak hanya satu dua orang di situ, tapi belasan hingga puluhan orang berdiri dan menghirup udara segar sambil melemparkan pandangan ke kejauhan. Bintang besar pada kaki-kaki tiangnya, menjadi focal poin yang dominan. Entah apa yang ada di benak pengelola ketika memutuskan untuk mengambil bentuk-bentuk ini. Mungkin arena di malam hari mudah ditemukan bintang berarak di langit ketika cerah, sehingga orang pun dianggap bisa dipermudah untuk melihat bintang di siang hari juga.

Di titik tertingginya juga terdapat sculpture bintang dalam ukuran besar, dengan bangku-bangku di depannya untuk bercengkrama. Menariknya di tepi-tepian jalan setapak dari pavingblock selebar 1,2 m itu aku menemukan tanaman kopi yang dengan buahnya yang bergerumbul. Entah mereka sudah berada di sana sejak masih hutan pinus bertahun yang lalu, atau sengaja ditanam oleh jagawana supaya menjadi daya tarik baru, mengingat kepopuleran olahan bijinya sebagai gaya hidup? Spesies yang hanya sebaris ini sekaligus menjadi batas antara jalur manusia dan hutan-hutan pinus.

Bajing atau musang tak tampak lagi berkeliatan di sini, berganti dengan tawa anak kecil atau gadis-gadis remaja yang bergerombol berjalan santai di dalam hutan. Ujung-ujung seperti jarum yang dahulu misterius sekarang terbuka dan terasa hangat. Pakis-pakis yang berkeliaran semaunya sudah tak nampak berganti dengan tumpukan dedaunan pinus kering. Tapi jika memandang terus ke lembah, rasa gentar itu masih ada. Siapa tahu di ruas-ruas jalan tak berjalur itu ada sesuatu bersembunyi? Siapa tahu angin berkesiur itu masih menunggu di sana? Siapa tahu keluarga-keluarga kecil kupu-kupu ternyata hidup damai di dasar lembah?

Setiap membuka hutan menjadi tempat wisata, selalu ada konsekuensi yang harus ditanggung. Mungkin beberapa spesies memilih menyingkir, mencari habitat baru yang lebih sesuai dengan pola hidupnya. Mungkin juga manusia berusaha mengubah hutan yang sudah alami menjadi agak sesuai dengan kebutuhannya. Mungkin juga harus dibuat batas-batas antara keduanya.

Hutan wisata ini agak jarang menjadi tempat penyadapan lagi, mungkin sudah menyingkir ke arah tengah, di mana giliran antar pohon seharusnya diatur lebih baik untuk keseimbangan regenerasinya. Atau sudah terhenti dan beralih pada lahan lain?

Sejatinya, hutan yang menjadi bagian dari alam adalah tempat belajar tentang menghormati satu sama lain. Pasti ada satu waktu di mana dunia manusia dan habitat alami ini akan bersinggungan dan mengurai batasnya. Disaat manusia mengambil hasilnya, ia juga harus bisa mengembalikan hasilnya ke hutan. Tidak hanya sekadar eksplorasi, namun juga belajar bagaimana kelak habitat ini akan bertahan lebih lama dengan berputar sebagai siklus alami. Pohon, daun, kering, pupuk alami, menghidupi tanaman lagi, dan seterusnya.

Selamat Hari Hutan 21 Maret 2017!

Tulisan ini dibuat dalam rangka Hari Hutan Sedunia 2017  bersama Travel Bloggers Indonesia (TBI). Tulisan-tulisan lain dari teman-teman tentang paru-paru dunia bisa dibaca di:

  1. Albert Ghana – Suatu Pagi di Hutan Desa Benowo, Purworejo
  2. Atrasina Adlina – Bumi semakin Kerontang, Hutan sering Ditebang
  3. Edy Masrur – Hutan Jati Sengsara Berbuah Cinta
  4. Firsta Yunida – International Day of Forests: Stories About The Forest
  5. Indri Juwono – Gemerisik Hutan Pinus Bandung
  6. Liza Fatiah – Hutan Wakaf, Sebuah Inisiatif untuk Menghijaukan Aceh
  7. Olive Bendon – Keluh Kesah Pepohonan
  8. Parahita Satiti – Cerita Hutan dari Tiga Perempuan
  9. Rey Maulana – Hutanku Dulu, Hutanku Kini
  10. Shabrina Koeswologito – Sustainable Travel: A Path Toward Sustainable Forestry
  11. Titiw Akmar – Hutan Itu Berharga. Hutan Itu Indonesia.
  12. Tracy Chong – World Forestry Day 2017: Why I Love Forest and You Should, too!
  13. Yofangga – Pleidoi si Penebang Hutan

21 thoughts on “gemerisik hutan pinus bandung

  1. Bandung memang menjadi kota yang dikangenin. Waktu aku tinggal di sana, belum ke hutan pinus ini karena alasan transportasi belum ada hehe..

    Wah ternyata banyak juga anggota TBI pas aku baca dari listnya. Semoga bisa bw ke satu2 blognya.

  2. Sedih euy bacanya. Pengelolaan, apa pun tujuannya, cari untung atau kasih kemudahan buat wisatawan, ternyata bikin ekosistem berubah ya. Kalo beli tupai dan dilepasin di sana pasti diburu orang ya? 😄

  3. Tidak heran semua orang begitu mencintai Bandung. Namun semoga cinta itu tidak menghancurkan. Semoga gemerisik hutan itu terus terdengar. Sebuah gemerisik bahagia, bukan gemerisik pilu.

Leave a Reply to indrijuwono Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.