She’ll let you come just far enough
So you know she’s really there
Then she’ll look at you and smile
And her eyes will say
She’s got a secret garden
– Bruce Springsteen : Secret Garden
Setiap gunung semestinya punya rahasia, seperti aku yang pagi-pagi meninggalkan kota Solo untuk menuju Candi Sukuh kemudian ke Candi Cetho, yang ternyata berada di kaki gunung Lawu. Kabut menyelimuti perjalanan yang ditempuh dalam setengah kantuk, beberapa kali hentian di tepi Kebun Teh Mustika.
Belum pernah kudengar satu referensi pun tentang Candi Cetho, sampai akhirnya aku tiba di sini sembari menghirup udara yang rasanya senantiasa pagi, karena awan yang terus berarak menyembunyikan mentari. Karena itu, cukup mengejutkan ketika berada di kaki terasnya yang terbawah, menunggu kejutan-kejutan dari tiap undakan dengan latar Gunung Lawu yang eksotis.
Dari bentuk gapuranya, bisa dilihat bahwa Candi Cetho ini adalah candi Hindu yang memiliki bentuk yang mirip dengan gapura di Bali maupun di Tengger. Berdiri tahun 1397 Saka, bisa mulai naik melalui tangga dan pilar di kanan kiri, melalui dua teras pertama hingga pelataran luas. Agaknya tempat berhenti sejenak sebelum melanjutkan pada tahap di depan. Arca di sini seperti memberikan selamat datang, bertubuh pendek gemuk mungkin seperti pada masanya. Tidak menggambarkan ukiran yang perkasa, melainkan tunduk dan sedih.
Pendopo di sebelah kiri mengisyaratkan area henti yang pernah ada. Tapi sepertinya di kanan pun pernah ada mengingat pola bangunan yang seimbang. Entah ke mana kini bangunan yang kanan, pernah ada atau lenyap terkena guncangan gempa? Pelataran yang luas mengisyaratkan ruang antara yang membutuhkan lapang dan tenang, memberi jarak pada keheningan di atas sana.
Gunung Lawu adalah rahasia moksa-nya Prabu Brawijaya V ketika dikejar Adipati Cepu. Ketika bersembunyi di Sukuh, beliau pun bertapa di sini sembari mengasingkan diri. Meninggalkan jejak berupa simbol-simbol kehidupan yang harus dijaga oleh manusia untuk mempertahankan keseimbangan dunia.
Ternyata di sini lambang lingga dan yoni terhampar horisontal begitu besar, diikuti dengan kura-kura datar sebagai pemikul dunia dengan tangan dan kakinya ke penjuru arah. Di masa lalu, apakah orang akan melipir lewat sebelah, atau berjalan pada tumpukan pola bebatuan ini? Kura-kura perlambang kebijaksanaan menjadi sentral, diikuti oleh arca kura-kura datar juga yang menghadap gunung. Pola dan tema yang sama dengan Candi Sukuh, tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Rahasia? Tentu saja. Tak banyak terekspos kecuali melangkah ke sana.
Samudramanthana menceritakan taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air amarta atau air kehidupan. Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Dewa Wisnu berubah menjadi seekor kura-kura dan menopang Gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amarta yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih. Ternyata kuda yang membawa air amarta berwarna putih. Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanya sehingga warna ekornya berubah menjadi hitam. Walaupun bertindak curang Kadru menang dalam taruhan. Kemudian Winata dijadikan budak oleh Kadru.
Cerita Garudeya mengisahkan tentang pembebasan Winata oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal Garudeya dapat menukar dengan air amarta. Garudeya pergi ke tempat penyimpanan air amarta yang dijaga para dewa dan air tersebut diserahkan kepada para ular. Akhirnya Winata berhasil dibebaskan dari perbudakan Kadru.
Teras-teras selanjutnya, melewati tangga dan gapura dengan pendopo-pendopo limasan di kiri kanannya. Rasa lembab yang teraba di bebatuan seolah tertangkis oleh kayu yang masih berdiri tegak di atas umpag. Tiang-tiang membentuk pola joglo diikat oleh blander keliling dan kaso memusat pada puncak. Serupa benar dengan istana ratusan tahun tanpa takut lapuk. Sebagai naungan, atap sirap kayu jati melapisi bagian akhir untuk memberikan keteduhan penggunanya.
Timbul pertanyaan dalam hati, apakah kayu ini sama umurnya dengan ketika sang Prabu bertapa di sini?
Candi Cetho, yang paling atas berada di bawah rumpun rimpun pepohonan. Serupa cungkup yang terbalik, dan tetap dijaga sebagai tempat ibadah. Cetho, yang berarti ‘jelas’, ‘jernih’, mungkin seperti pemandangan kaki Lawu yang terhampar di bawahnya, atau tentang kejelasan sesuatu yang selama ini ditutup-tutupi, didiamkan atas nama rahasia. Bendera merah mutih memeluk puncaknya, meyakini ia bagian dari negeri. Dari jalur menanjak Lawu, mungkin ini menjadi tempat pertanda untuk pulang.
Bilik-bilik kecil di depan candi, altar berisi arca yang masih meninggalkan dupa. Serupa dengan bentuk limasan di bawahnya, naungan ini melindungi sebuah lingga, juga arca serupa dengan pola yang sama, gemuk dan pendek bersembunyi di dalam, atau memang begitukah gestur sang Prabu di zaman dahulu?
Dari teras Candi Cetho, mengintip bawah lewat gapura sempit, karena ada makna yang didapat ketika menaiki undakan itu satu demi satu, gapura demi gapura, titian andesit hingga akhir, candi utama yang dibungkus oleh bendera merah putih. Perlahan kerumunan itu akan datang untuk memuja sang Hyang. Upacara yang masih terus dijaga hingga kini.
Langkah-langkah dari jauh itu perlahan-lahan naik. Tidak banyak percakapan di antara mereka, hanya berbicara ringan tanpa banyak gelak tawa. Sebagian cita berwarna putih dan juga sebagian berwarna. Selendang diikatkan pada pinggang, dan bawaan sesajian di atas kepala. Aku menunggu rombongan ini lewat dan memasuki ruang ibadahnya. Sepertinya mereka akan memulai upacara, semestinya tidak perlu diganggu oleh turis sepertiku.
Jika aku terus ke atas hingga pepohonan, apakah ada yang kehilangan?
Perjalanan Juni 2017, ditulis Oktober 2017
Lingganya lumayan provokatif ya, hehe. Saya selalu suka Cetho. Perjuangan supaya bisa ke sana memang tidak begitu gampang. Tapi sekali sampai, rasa penyambutannya terasa banget. Dari orang-orangnya yang ramah. Relief dan patung yang banyak kisahnya. Bahkan, sampai ke kabut yang tidak mau ketinggalan. Sekarang masih menunggu untuk bisa sembahyang lagi. Semoga kesampaian, hehe. Candi bentar berderet itu memang ciri khas banget yak, hehe.
haaa, gapura itu namanya candi bentar yaa..
aku tadi bongkar-bongkar foto, lha koq ada lingga yang itu, #ups tapi sebenernya di sini lebih provokatif daripada sukuh yaa.. atau karena sukuh udah banyak yang diangkut ya?
Mungkin ya, Mbak. Sebab lingga dari Sukuh juga saya belum bisa temukan di Museum Nasional. Mungkin sengaja tidak ditampilkan. Hehe.
Babang suka sekali mengunjungi tempat bersejarah seperti ini, apalagi punya cerita dan mitos yang terkesan gak masuk akal di dunia modern seperti hari ini š