orang-orang baik yang ditemui dalam perjalanan

Melakukan perjalanan sendirian, tentu saja tidak bisa semata menggantungkan harapan pada jadwal yang benar atau perjalanan yang lancar. Apalagi jika lokasinya di tempat yang jauh dari kehidupan sehari-hari dengan pola yang berbeda juga.

Sesudah dua hari berkeliling Ternate Tidore dengan sinyal Telkomsel yang tewas karena kabel bawah laut yang sedang diperbaiki padahal itinerari pun belum ada, atas petunjuk ibu pemilik penginapan, aku mengangkat ransel menuju pelabuhan Dufa-dufa, untuk menyeberang ke Jailolo. Speed boat berkapasitas 15 orang mengantar kami meninggalkan ibukota Maluku Utara untuk menuju pulau terbesar di propinsi tersebut, Halmahera.

Aku memilih duduk di belakang, bersama tujuh orang lainnya di bawah udara terbuka dan ditemani suara mesin yang menderu memecah air. Selain karena kalau di dalam aku takut mabuk laut, duduk di udara terbuka membuatku leluasa menikmati pemandangan yang berada di sekeliling. Memandangi pulau Ternate yang perlahan-lahan menjauh dengan gunung Gamalama yang menjulang tinggi, dan laut teduh yang mengelilingi.

Kami mulai bercakap di kapal yang melaju. Diawali dengan pertanyaan, “Mau ke mana? Aslinya dari mana?”, pada perempuan mungil yang asyik menjepretkan kameranya ke segala arah ini. Ibu Heni, yang baru pulang dari tanah Jawa bersama putrinya, Indah, yang baru saja lulus dari sebuah universitas di Jogja, penasaran dengan apa yang hendak kulakukan di Halmahera.

Berhubung aku tidak punya rencana tertentu (karena hilangnya sinyal membuatku tidak bisa mencari informasi), maka kami bercakap-cakap sepanjang jalan tentang tempat-tempat menarik di sekitar Jailolo. Kalau dulu orang-orang memang mendapatkan informasi petunjuk dengan berbicara langsung, tentunya ketidaksediaan internet membuat harus kembali ke cara itu.

Talk to local.

“Jalan sendirian apa tidak takut?” tanya Bu Heni. Aku hanya tersenyum, sering sekali pertanyaan seperti itu muncul dari orang-orang yang ditemui di jalan. “Insya Allah aman, Bu,” jawabku mengingat baru dua hari aku memulainya. Memang sudah beberapa kali aku melakukan perjalanan sendiri, namun tidak pernah sejauh ini, sih.

“Adek harus ke Morotai, suami saya aslinya dari sana. Dari Morotai bisa naik perahu ke pulau Dodola. Pasirnya putiiihh sekali,” ceritanya dengan semangat. Wah, kebetulan aku yang berniat melanjutkan ke sana, jadi bisa menghimpun informasi di sini. Ceritanya tentang Morotai, pulau asing yang hanya aku temui di cerita tentang Perang Dunia II, memikatku untuk terus mendengarkan kisahnya.

Kami mengobrol sepanjang jalan tentang banyak hal, mulai dari sekolah anaknya di Jogja, perjalanan-perjalanan yang ia lakukan, dan aku pun bertukar cerita tentang tempat-tempat yang baru kukunjungi. Arus laut yang cukup tenang membuat kapal tidak menghentak-hentak hingga hampir tiba di pelabuhan Jailolo.

“Adek nanti tinggal di mana? Menginap saja di tempat kami, nanti jalan bisa diantar Indah,” bu Heni menawari aku. Wah, yang benar ini? “Apa tidak merepotkan?” tanyaku malu (namun senang juga karena bakal ada temannya). Lagipula aku juga belum mem-booking penginapan mana pun untuk menghabiskan hari di Jailolo. Bu Heni tetap memaksaku untuk ikut dengannya di Jailolo, dan akhirnya aku mengikutinya ketika turun dari kapal dan naik bentor ke rumahnya yang tak terlalu jauh dari pelabuhan.

Di tahun 1800-an, Jailolo yang dahulu disebut Gilolo adalah tempat tinggal para sultan Ternate. Alfred Wallace mengungkapkan dalam Kepulauan Nusantara, bahwa Belanda meminta mereka pindah ke pulau kecil tempat tinggal mereka sekarang. Tentunya tempat itu pada masa itu cukup banyak penduduknya. Sebagai seorang naturalis, Wallace sempat menemukan Pitta gigas, salah satu jenis murai tanah besar.

Setelah meletakkan ransel jingga di rumah Bu Heni, Indah mengajakku untuk mellihat Festival Teluk Jailolo yang tadi dilihatnya di pelabuhan. Kami naik bentor lagi ke tanah lapang di samping pelabuhan untuk menikmati berbagai atraksi. Usai sambutan dari bapak Bupati, dilanjutkan dengan berbagai tari-tarian yang dipertunjukkan oleh anak-anak SMA. Sepanjang jalan banyak sekali yang menyapa Indah. Rupanya beberapa teman SMA-nya ada yang sudah bekerja di Pemda yang menyelenggarakan festival ini. Tak seperti tahun lalu yang katanya begitu meriah, tahun ini tidak terlalu banyak wisatawan yang berlalu lalang di sekitar lokasi festival. “Mungkin nanti malam, kak. Kalau artisnya datang,” sela Indah ketika kumintai pendapatnya.

Kota Jailolo sendiri jauh lebih sepi daripada Ternate. Walaupun berada di pulau besar Halmahera, namun tidak terdapat berbagai aktivitas bisnis dan ekonomi yang berarti seperti di tepian-tepian pantai Ternate. Kontur kotanya yang langsung berbukit-bukit sesudah meninggalkan pelabuhan agaknya menjadi kendala pemusatan kegiatan. Sementara kawasan pemukimannya tersebar dalam kelompok-kelompok hunian yang terpisahkan oleh hutan.

Menjelang siang, dua sepupu Indah yang bernama Jennifer dan Neka bergabung dengan kami untuk berjalan-jalan ke beberapa tempat menarik di Jailolo. Awalnya kami mengikuti brosur dari festival dengan mencari sumber mata air panas di Galala. Sambil berboncengan motor, kami menyusuri jalan menuju barat, mencari titik wisata yang katanya cukup terkenal itu.

Tapi setelah blusukan kesana kemari, memang kami menemukan sumber air panas, tapi tempatnya agak mengecewakan. Hanya kubangan di tengah hutan yang sama sekali tidak menarik. Padahal menurut informasi yang kudapat kolam ini dekat dengan pantai. Mungkin juga kami salah tempat, atau mungkin juga memang termakan pesona brosur. Ya, sudahlah namanya juga jalan-jalan. “Aku cuma sesekali saja ke Jailolo, Kak. Makanya nggak banyak tahu tempat di sini. Kalau nanti kakak ke Tobelo, aku kasih tahu tempat-tempat bagus yang harus kakak kunjungi di sana,” cerita Indah dengan semangat. Sebelum melanjutkan kuliah di Jogja, gadis ini memang menghabiskan masa kecil hingga SMA-nya di Tobelo yang berada jauh di utara Halmahera. Hm, ceritanya tentang Tobelo menggodaku untuk mampir sebelum ke Morotai nanti.

Meskipun sempat tersesat ke arah desa, namun kami mengandalkan insting bahwa laut pasti di arah barat dan meneruskan naik motor ke sana. Benar saja, tak lama tampak pohon-pohon kelapa yang menjulang dan biru laut di kejauhan. Ada satu bangunan yang mungkin sebelumnya penginapan, tapi nampak tak terawat lagi. Beberapa gazebo juga dibiarkan mangkrak di bawah pepohonan. Hm, mungkin tempat ini pernah direncanakan menjadi tempat wisata, namun kurang dipromosikan.

Sepanjang pantai ini hanya ada kami berempat. Karena panas tengah hari, kami memilih untuk berlari-larian dan main pasir saja dan tidak masuk air. Pantai ini lumayan panjang dengan pemandangan bukit-bukit di sekitarnya. Seandainya menikmati matahari terbenam di sini, pasti bakal terasa indahnya. Beberapa perahu nelayan lewat dan melambaikan tangannya pada kami. Mungkin mereka jarang melihat ‘turis’ yang tersesat hingga kemari, ya.

Aku tak melewatkan kesempatan untuk mampir rumah adat Jailolo yang bernama Sasadu dalam perjalanan pulang. Bertemu dua rumah di tepi jalan, dengan orang-orang tua yang asyik bercengkrama di dalamnya. “Ini balai untuk kami warga desa melakukan pertemuan di sini. Besok Kamis bisa kembali lagi ke sini karena ada festival Jailolo akan mengadakan acara makan-makan tradisional,” cerita bapak Frans di situ. “Makanan akan dihidangkan di meja panjang ini,” sambungnya sambil menunjukkan meja yang menyambung dari tiang ke tiang di bawah atapnya.

Rumah ini menggunakan enambelas tiang untuk menopang atap utamanya yang berdiri pada umpak semen. Di jaman dahulu pastilah umpak semen ini berbentuk batu yang berdiri untuk memisahkan kayu dari kelembaban tanah. Konstruksi kuda-kudanya tidak menggunakan paku atau begel, dengan sistem sambungan antara lubang dan balok yang dimasukkan dan dikunci dengan perkuatan kayu, serta diikat dengan tali serat yang kuat. Mengingat Jailolo terdapat pada jalur lempeng Sirkum Pasifik dan sering sekali mengalami gempa vulkanis, mungkin inilah sebabnya kenapa bangunan-bangunan ini tidak menggunakan sambungan mati yang bisa menghancurkan dalam sekejap. Yang lebih unik lagi, terdapat beberapa tiang gantung berukir yang turun dari balok utama hingga menopang meja yang nanti akan dipergunakan untuk menghidangkan makanan.

Di tengah-tengah ruangan terbuka ini tergantung kendang panjang yang biasa digunakan untuk upacara-upacara adat. Jika tidak digunakan, kendang ini kadang diturunkan dan diletakkan di bawah saja. Jika diperhatikan lebih jelas juga, terdapat berbagai ukiran unik di ujung meja dan kursi yang mengelilingi bangunan ini. “Sudah 100 tahun lebih ini umurnya, yang pernah dilakukan hanya mengganti atap dan meja-meja ini,” jelas bapak Frans lagi.

Bangunan ini tidak menggunakan penutup lantai, hanya langsung tanah yang mengalasi kaki. Atapnya dengan rumbia pelepah kelapa, yang materialnya memang mudah ditemukan di sekitar desa Galala ini. Diikat dengan serat ke kasau-kasau yang menjadi dudukannya, beberapa lapis atap ini bisa menahan panas dan hujan selama beberapa tahun.

“Kakak sudah pernah makan papeda? Yuk, sesudah ini ke rumah nenekku! Tadi aku telepon mengabarkan minta dimasakkan papeda dan ikan kuah kuning,” kabar Indah ketika kami kembali berboncengan naik motor. Jadi kami langsung melanjutkan perjalanan dengan motor ke desa di ujung selatan Jailolo menuju rumah neneknya Indah di daerah Guaeria. Wah, benar-benar pengalaman yang menyenangkan karena bertemu dengan orang-orang sebaik ini. Rasanya perjalanan sendirian ini bakal berkesan banget.

Setiba di desa, Indah dan Jennifer malah mengajakku ke pantai sembari menunggu papedanya masak. Matahari yang sudah condong ke barat ini membuat kami tidak kepanasan ketika akhirnya memutuskan untuk berenang di laut. Pantai kecil ini terletak di belakang bangunan pasar ikan yang terbengkalai. Meskipun sudah dibangun timbunan dermaga jauh ke lautan, mungkin untuk tempat sandar kapal-kapal kelak, tapi tetap saja tidak terlihat aktivitas perekonomian di pasar yang bagus ini. Mungkin dulu ketika dibangun dimaksudkan untuk mempermudah proses jual beli dari laut ke darat, namun kenyataannya bangunan ini tidak bermanfaat sebagaimana mestinya. Ah, ini agak jamak terjadi juga di pulau Jawa, pembangunan yang tidak memperhitungkan kebutuhan sehingga hanya terkesan cari proyek saja.

Pantai berpasir hitam ini menjadi tempat bermain terakhir kami hari itu. Kami bercipratan sambil menunggu matahari terbenam di sisi barat. Walaupun menikmati sunset itu bisa di mana saja, tapi setiap berakhirnya hari selalu menciptakan perasaan-perasaan sendiri yang berbeda, memberikan syukur atas apa yang dialami sepanjang hari. Matahari bisa tenggelam setiap hari, namun cerita yang menyertainya tidak pernah sama.

Papeda dan ikan kuah kuning sudah menunggu kami ketika kembali ke rumah. Bu Heni mengajari aku bagaimana cara mengambil papeda dari mangkuk dengan dua bilah kayu. Papeda ini berasal dari pohon sagu yang masih banyak terdapat di hutan-hutan Maluku, karenanya sebenarnya sagu masih merupakan bahan makanan pokok di sini. Hmm, lezat sekali papeda bercampur ikan kuah kuning yang aku tidak tahu bumbunya ini. Ditambah lagi dengan kehangatan keluarga Bu Heni dan Indah yang mengobrol menimpali cerita perjalanan hari itu, rasanya sempurnalah seharian di Jailolo ini.

Ternyata malam masih belum berakhir, karena Indah masih mengajak untuk melihat keriaan di area Festival Teluk Jailolo. Walaupun ini hari Senin, tapi ternyata warga tumpah ruah di lapangan tepi pelabuhan itu menikmati berbagai hiburan yang akan berlangsung hingga akhir pekan nanti. Di tepi jalan diatur berbagai bangku-bangku untuk menikmati khas malam ala Maluku Utara, pisang goreng dengan cocolan sambal dan air guraka yang hangat.

Selalu ada keluarga baru di setiap perjalanan. Walaupun melakukan perjalanan sendiri, percayalah akan ada hal-hal baik yang ditemui sebagai pengalaman, untuk belajar memahami diri sendiri, terbuka pada orang lain, dan mengikuti irama lingkungannya. Bukan sekadar destinasi, bukan sekadar pernah menjejak kaki, atau mengikuti kepopuleran lokasi.

Keesokan paginya, Bu Heni mengantar aku untuk melihat-lihat Pantai Tanjung Pinang sebelum melepasku untuk melanjutkan perjalanan di Tobelo. “Nanti menginap di rumah kami, Indri! Aku sudah kabari adikku untuk menyiapkan kamar untukmu di Tobelo,” begitu pesan Bu Heni sebelum aku berangkat naik travel yang dipesannya. Ada jalan yang terbaik untuk mempermudah hal-hal yang harus diputuskan sendiri.

Perjalanan Mei 2016
Jailolo, Halmahera, solo traveling.

tentang Maluku Utara lainnya:
orang-orang baik yang ditemui dalam perjalanan
dua senja langit tobelo
kanca, dodola, dan do’a seorang ayah

13 thoughts on “orang-orang baik yang ditemui dalam perjalanan

  1. Senengnya kalo jalan sendiri trus ada orang2 baik disekitar, bakalan memorable banget itu, punya kluarga baru yg jauh disana, bacanya knp jadi terharu yak

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.