saat yang tepat untuk menikah

Beberapa tahun lalu di pekarangan rumahnya yang lucu di kawasan Gaharu, seorang sahabat berpesan padaku,
“Travelinglah sejauh-jauhnya ketika kamu masih mencari. Nanti jika suatu saat kau menemukan, mudah-mudahan itu sudah cukup.”

Dan dia salah satu yang terkejut ketika aku bilang mau cuti traveling dulu.  “Mau mengabdi pada negeri,” kataku waktu itu. Dan berhentilah aku dari aktivitas bandara ke bandara yang biasa kulakukan tiap bulan, berganti dengan berseragam manis dan masuk ruangan yang sama jam 8-5 setiap hari. And I’m just so happy doing that. Pasti dipikirnya begini, bisa-bisanya anak yang selalu pergi ke mana-mana ini settling di kantor sedemikian lama. Pastinya bisa, kan sudah pernah 12 tahun di konsultan, sebelum ke lapangan tiga tahun terakhir dan bersenang-senang juga sebagai peneliti arsitektur.

Maka kembali banyak teman-teman yang terkejut ketika mendengar keputusan kedua aku tahun ini, menikah. Salah seorang sahabat dekat yang tidak bertemu hampir 15 tahun lamanya bahkan dengan sengaja mengirim pesan dengan pertanyaan, kenapa akhirnya lo memutuskan menikah lagi? Gimana ya, menjawabnya?

Kubilang, mungkin sudah waktunya. Ketika sudah lelah berjalan dan harus memikirkan masa depan dan menetap, ternyata semesta mengirimkan seseorang untuk menjagaku, mendengarkan segala keluh kesah, bercerita panjang lebar tentang topik-topik favorit, menyanyi sama-sama and maybe do some crazy things together.

Jadi, jadi banyak banget teman yang nanya, “Koq bisa? CLBK ya? Teman lama?”

Haha, buat yang kenal aku dan Jo di masa lalu, pasti tahu banget bahwa kami berdua 23 tahun di jurusan arsitektur UI lalu bisa dibilang nggak berteman. Cuma ‘sekadar tahu’ masing-masing satu sama lain karena dia senior yang nge-mabim aku, which is harus tahu semua juniornya, dan aku punya kewajiban kudu tahu seniornya. Sementara Jo asyik gaul dengan teman-teman di jurusan Ars, aku naik gunung bareng teman-teman KAPA. Kemudian akhirnya kami punya kehidupan sendiri bertahun-tahun kemudian, apalagi berkomunikasi, lupa sudah pasti.

So thanks to facebook yang sudah menemukan kami bertahun-tahun lalu, dari yang nggak kenal jadi berbalas komen karena merasa kenal sesama alumni. When we’re just survived from this hard life, kembali mencari bahagia lewat kehidupan pencitraan media sosial. Oh iya, at that time, aku merasa senang bisa selalu berbagi cerita perjalananku, buku-buku yang kubaca, juga livelihood sebagai arsitek dengan semua bebannya.

Dan tiba-tiba di Sabtu siang pertengahan bulan Nopember 2016, masuk satu pesan di akun facebook-ku.

Indri..
Ntar malem ada acara gak?

Untung aku sedang membaca Facebook messenger dan membalas niatnya Jo yang mengajakku nonton Teater Koma dengan lakon Opera Kecoa di TIM. Barulah kami temu muka beneran dan ngobrol-ngobrol tentang keseharian dan kesibukan. Baru tahu bahwa dia kerja di bank bukan sebagai bankir, tapi urusan dengan konstruksi juga.

Dan apakah sesudah itu kami mulai kencan? Tentu tidak. Bahkan kami ketemu seminggu kemudian sekilas di acara 20 tahun Ars 96, cuma bilang, “Hai.”

Kesempatan berikutnya baru pada bulan Juni 2017, waktu aku sedang promo buku Javasiesta dan karena Jo pesan bukuku jadi kami ketemu di sebuah Kedai Jamu di Jakarta Selatan. Sambil makan malam tentu banyak ngobrol-ngobrol tentunya sebagai teman dengan kehidupan sekarang. Dan kebetulan aku baru pulang dari Palu tempat ia titip bawang goreng khas-nya yang pernah juga ia ke sana beberapa waktu sebelumnya.

Selain itu kami juga berbagi cerita tentang perjalanan yang ia lakukan dengan urusan kantor, tentang buku-buku yang dibaca, yang ternyata kurang lebih sama. Kurang lebihlah, menyenangkan berbicara dengan seseorang yang tahu sudut-sudut negeri, cerita tentang kota-kota yang pernah sama-sama kami kunjungi (tentunya bukan di waktu yang sama).

Kemudian apakah sesudah itu kami berkontak-kontak lagi? Masih belum. Semuanya tetap saja ditelan ruang dan waktu, aku kembali pada kesibukanku di ILUNI FT, dia dengan pekerjaannya.
(sampai sini yang penasaran ceritanya pasti sudah gemes)

Baru Januari 2018 aku ketemu Jo lagi di acara Full Kumpul FTUI di kampus. Tiba-tiba saja dia muncul di kampus sesudah aku menyelesaikan loop 7 km FT-asrama-FT. Agak heran juga, soalnya biasanya kan anak arsitek segan datang ke acara-acara beginian. Eh, kebeneran jadi sekalian kami bikin kartu ILUNI di booth BNI. Dua minggu kemudian aku yang mengajak Jo untuk datang di acara ekskursi arsitektur di Museum Gajah, di mana aku jadi salah satu pembicaranya. Bertemu dengan banyak teman-teman alumni arsitektur malah jadi serasa reuni dan bercakap.

Tapi mungkin semesta memang memberi kami ruang yang terlalu luas dan panjang, sehingga kembali kami tak berkomunikasi berbulan-bulan. Entah bagaimana, sewaktu bulan April rapat di sekretariat ILUNI dan bang Sekjen menanyakan wakil SC Pemilihan Ketua dari Departemen Arsitektur, yang terpikir ya namanya Jo. Kupikir demikian karena dia satu-satunya yang muncul di acara Teknik, sepertinya masih mau meluangkan waktu.
Saat Jo rajin datang rapat ke Salemba, aku malah memutuskan cuti per-iluni-an karena harus menyelesaikan tesis. Jadilah kami tetap nggak ketemu dan walaupun sebenarnya mungkin. Di beberapa momen malah cuma sekadar hai.

(terus jadi kapan kalian jadiannyaaaaa, begitu tanya mbak Endang, sewaktu kami sedang kumpul-kumpul)

Jadi pada intinya, kami nggak pernah jadian.
Aku jalan lagi dengan Jo sesudah nonton Engineering in Symphony di kampus bulan Juli. Bulan berikutnya kami janjian lagi nonton Konser Amal untuk Lombok di Citos. Dan akhirnya kami berdua malah jadi pengurus Iluni Ars. Jadilah selama beberapa waktu rutin ketemu karena rapat-rapat Iluni Arsitektur UI.
Terus apa gara-gara Iluni Ars juga jadinya?

Bisa ya atau bisa enggak ya.

Kata orang, kenali seseorang dalam perjalanan. Kebetulan bulan September aku pergi conference ke Bali dan Jo yang juga sedang menghabiskan cutinya ke Bali juga. Jadi kami jalan-jalan hingga Pura Lempuyang Luhur juga berpesiar sehari ke Nusa Penida seperti layaknya travelmate saja. Jalan-jalan, makan-makan, foto-foto. Dari sini kami banyak tahu bahwa kami sudah banyak ke tempat-tempat yang sama, menyukai makanan-makanan khas yang sama, dan lucunya ia tahu tempat yang namanya Sumberudel, tempat pemandian di Blitar, kota yang pernah kudiami ketika SD.

“Wow, gue amazing banget oh ketemu orang yang tahu Sumberudel! Anak gaul Jakarta gitu, tahu tempat tinggal gue di kampung dulu.”

Kami berpisah di bandara Ngurah Rai sementara ia kembali ke Jogja dan Jakarta, aku terbang ke Lombok lalu meneruskan perjalanan ke timur dan baru kembali ke Jakarta tiga minggu kemudian.

Selanjutnya malah ada masanya kami tiap minggu ketemu untuk sekadar kumpul-kumpul dengan teman-teman atau latihan menari. Hoo, kenapa tiba-tiba menari? Iya, jadi aku ikut teman-teman Teknik untuk mengikuti lomba flashmob se-UI dan ternyata Jo tertarik untuk ikut. Benerlah, ini masa-masa menyenangkan punya banyak teman-teman Arsitektur yang bisa diajak maen bareng teman-teman Teknik.

Tapi mestinya bukan hanya acara ramai-ramai yang mendekatkan kami. Beberapa kali kami makan malam, nonton film di bioskop, bertukar cerita soal hal-hal lain, dan menyesap kopi atau mengulum gelato bersama untuk mendinginkan pikiranku yang sering ruwet.

Dan tanpa tiba-tiba, Jo selalu ada.

Ia menemaniku rapat tentang hunian sementara, mendengarkan curhat panjang lebarku ketika bertugas di Palu, membantu menyiapkan acara-acara di Departemen Arsitektur, pergi kondangan, menonton pameran, ketemu alumni senior, memberi support tentang pekerjaan, hingga mengantar aku ke event lari yang sering kuikuti.

Ia yang tadinya hanya mengantar sampai stasiun Pasar Minggu lalu pulang, menjadi mengantarkanku sampai rumah (sampai pagar saja). Yang biasanya mengeluh mengantuk dan pulang cepat, jadi melek sampai malam. Berkontak apabila salah satu dari kami ke luar kota. Dan merayakan ulangtahunku berdua saja.

Tapi aku harus tugas lagi ke Palu, dan dia bilang mau main ke rumah.

“He, ngapain?”
“Ya, mau main aja.”
“Ya sudah, nanti pas aku pulang aku kabari ya? Paling naik pesawat Sabtu pagi, sampai jam 9. Jam 11 juga sudah di rumah.”
“Lho, kamu nggak mau dijemput?”

Eh? Dasar bloon aku kan memang dari mana-mana nggak pernah dijemput ya, makanya pertanyaan itu kayaknya aneh.

“Iya deh. Nanti kalau aku sudah beli tiket pulang kukabari ya.”

Begitu saja pada malam ia mengantar ke depan rumah untuk kesekian kalinya.

May the fourth be with you.
Sepulang dari Palu, Jo benar-benar memenuhi janjinya menjemput di bandara Soekarno Hatta, kemudian ke rumah. Langsung? Tentu saja tidak karena malah sempat mampir ke rumah kak Anggi mengantar pesanan bawang goreng dan ke rumah Pak Kadept Arsitektur untuk membahas acara.

Barulah sampai ke rumah dan berkenalan dengan kedua orangtuaku juga dengan Bintang, yang pernah ketemu juga beberapa acara sebelumnya. Hihihi, karena bertahun-tahun memang tak ada yang main (ngapelin) ke rumah, tentu saja sambutannya hangat. Berjam-jam berlalu, bergelas-gelas minum terteguk dan aku siap-siap saja barangkali diinterogasi mama nantinya berhubung nggak pernah cerita apa-apa sama sekali (ya, emangnya mau cerita apa sebelumnya? mama juga pasti mikirnya biasa karena temenku banyak).

Selepas magrib aku mulai memberi ruang ke keluargaku dan mengajaknya makan di luar. Masih ngobrol-ngobrol lagi, masuk juga waktu isya. Karena aku bilang kalau sesudah Isya biasanya ayahku tidur, kalau mau pamitan sekalian saja. Eh, lalu Jo duduk di samping ayah yang sedang makan malam dan berkata,

“Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta Indri jadi istri saya.”

Dheg, aku yang sedang duduk di ruang keluarga sontak terkejut. Mama terpaku (tapi mengembangkan senyum). Ayah menyambut dengan gembira dan bahagia dengan jawaban restunya. Aku langsung menangis terharu (dasarnya memang gembeng).

Tentu saja bukan cuma aku yang terkejut.

And everything goes so quickly. Persiapan, memilih venue dan tanggal, mencari barang-barang untuk seserahan, menentukan undangan, semua dilakukan berdua. Dan tiga bulan jadi teramat singkat.
And there we are, on August 25th, 2019.

The best of the year.
Rupanya kami memang perlu keliling Indonesia masing-masing dulu baru bertemu. Ah, sudah jalannya.

 

 

Kita tidak bisa memperkirakan bagaimana waktu akan mempertemukan
Mungkin dari kemarau atau hujan, kesempatan atau percakapan-percakapan.

Kita tidak bisa memilih sejauh mana pergi mencari, hingga bersua belahan hati.

25 Agustus 2019 Masjid Nurussalam | Omah Sendok
video by @well.wedd

finally post, Jakarta. 31 Desember 2019

10 thoughts on “saat yang tepat untuk menikah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.