Aku menyebutnya negeri di awan. Sebuah desa yang berdiri di puncak bukit, di tengah pedalaman Manggarai yang hijau dengan perjalanan yang cukup panjang dari jalan raya Trans Flores. Tempat yang kuingat adalah kabut-kabut pagi hari yang perlahan-lahan menipis berganti dengan mandi matahari, di tengah riuh tawa anak-anak bermain, burung-burung berkicauan dan suara alu berpadu dengan lesung untuk menumbuk kopi. Sebentuk yang selalu menimbulkan rindu pada Wae Rebo.
Sesudah perjalanan tiga tahun lalu yang menyenangkan, aku kembali lagi tiba di rumah Pak Blasius Monta di Denge dengan mengendarai ojek selama setengah jam dari Dintor. Mungkin karena terlalu banyaknya tamu yang pernah datang, ia lupa denganku. Tapi tentu saja ia masih ingat dengan mahasiswa kampusku yang sering datang. Kuutarakan maksudku untuk mengamati tentang alang-alang yang menjadi bahan penutup atap Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo.
“Wah, kalau merangkai alang-alang, saya sudah bisa sejak kecil. Waktu tinggal di atas, ramai-ramai dengan penduduk lain. Sepanjang jalan dari sini sampai atas dahulu mudah sekali ketemu alang-alang. Besok Indri lihat saja di jalan,”cerita Pak Blasius pada pertemuan kami malam itu.
Penginapannya sudah berkembang dua kali lipat dari pada terakhir waktu aku mampir ke situ. Selain rumahnya, tak ada penduduk lain yang mengikuti jejaknya membuka homestay untuk turis yang akan berangkat ke Wae Rebo. Kami makan malam dengan hidangan yang disiapkan oleh istri beliau.
Rencananya aku berangkat dengan Pak Blasius ke Wae Rebo keesokan hari sepulang beliau mengajar di SD Denge di samping rumah. Sebelum mulai jam pelajaran, aku sempat mengobrol dengan anak-anak SD ini yang tiba berangsur-angsur ke sekolah. Lucunya kebanyakan mereka tidak mengenakan sepatu dan hanya bersandal saja. Ah, apakah alas kaki ini dianggap sebagai barang mewah di sini?
Ternyata jam 10 siang Pak Blasius sudah selesai mengajar dan mengajakku untuk bersiap-siap naik ke Wae Rebo. Diantar Elonginus, salah satu keponakannya, kami naik motor hingga Wae Longa, di tepi sungai tempat memulai pendakian. Dahulu, aku harus berjalan kaki sampai titik ini karena jalannya masih berupa batu-batu, namun sekarang bisa dilalui naik motor walaupun jalannya pun butuh perbaikan di sana sini.
Kami melintasi jalan setapak selebar 1.5 meter selama kurang lebih satu jam sebelum beristirahat minum di tengah hutan. Jalannya masih cukup landai dan nyaman seperti yang kuingat sebelumnya. Setengah jam berikutnya aku sudah sampai puncak Pocoroko yang sering disebut Pos 2, salah satu bukaan yang bisa melihat ke laut. Disini perjalanan mulai melambat sampai terus ke puncak Pos 3, dan akhirnya turunan dan jembatan sebelum memasuki desa Wae Rebo.
Untung saja aku datang bersama Pak Blasius yang memang penduduk asli, karena memang tujuanku ke sini bukan untuk wisata, melainkan untuk meneliti atap alang-alang yang sudah terpasang di rumah-rumah Mbaru Niang Wae Rebo sejak pertama kali dibangun ulang tahun 2008 lalu. Aku bertemu lagi dengan Opa Alexander yang merupakan tetua desa untuk menjelaskan maksud dan tujuan tinggal menginap di Wae Rebo selama satu minggu itu.
RISET ALANG-ALANG
Dari pengamatanku, material alang-alang di Pulau Flores adalah salah satu elemen utama dalam arsitektur tradisional yang bahan bakunya berasal dari alam. Namun di beberapa tempat, material ini banyak digantikan oleh material modern karena material alang-alang dianggap mudah lapuk terkena cuaca, serta teknik konstruksinya yang tidak praktis. Namun masyarakat juga masih berpendapat bahwa material alami lebih nyaman secara termal dibandingkan material modern.
Sebagai material alami, alang-alang memiliki respons terhadap iklim berupa suhu dan kelembaban yang akan mempengaruhi kualitasnya sebagai bahan konstruksi. Pengetahuan pendayagunaan alang-alang sebagai bahan konstruksi tradisional ini yang akan diamati sehingga material ini akan selalu lestari digunakan hingga waktu lama.
Atap bangunan merupakan salah satu identitas bangunan tradisional yang dominan, sehingga keberadaan bahan bakunya menjadi penting untuk keberlangsungan bangunan tradisional ini. Aku yakin bahwa setiap masyarakat memiliki cara khususnya dalam menangani material alami sehingga arsitekturnya bisa bertahan selama ratusan tahun, jauh lebih lama daripada material modern ini masuk. Keberadaan area hijau di sekitarnya pun menunjang keberlanjutan tradisi untuk mempertahankan bangunan tradisional ini.
Penggunaan material alami ini memiliki kelebihan yaitu sumber alaminya dimiliki secara bersama-sama oleh pemukiman yang berada di dekatnya sehingga ekstraksinya yang tidak banyak menghabiskan energi akibat jarak yang dekat, lebih ramah lingkungan karena mudah terurai dan kembali ke alam (biodegradable). Penggunaan atap alang-alang di Wae Rebo adalah dominan dengan sumber yang berada di sekitarnya.
Alang-alang yang digunakan sebagai material pembangunan rumah ini diambil dari Pulau Mules (Nusa Molas) yang berada sekitar 15 km dari Wae Rebo dan menyeberang laut sekitar 30 menit dengan perahu. Di pulau ini penduduk mengambil alang-alang sebanyak yang dibutuhkan dan dikumpulkan untuk diangkut lagi dengan kapal dan motor serta dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga Wae Rebo. Untuk proses konstruksinya, alang-alang lembaran dirangkai menjadi ikatan-ikatan siap pakai, kemudian langsung dibagi ke rumah-rumah warga untuk diletakkan di atas perapian mereka agar kering karena api (Antar, 2010: p.113).
Dari buku Pesan dari Wae Rebo maupun wawancara dengan tetua adat diketahui bahwa alang-alang digulung untuk kemudian dikeluarkan lagi pada saat konstruksi penunjangnya sudah siap. Dengan bergotong royong alang-alang dipasang pada bagian bawah rangka bambu yang mengelilingi bangunan. Proses pengatapan dimulai dari tingkat terbawah berlapis-lapis hingga terus naik ke atas, baru rumah ini akan digunakan selama bertahun-tahun. Pemeliharaan atap alang-alang secara pengetahuan lokal adalah dengan mengasapi atap alang-alang ini setiap hari melalui aktivitas tungku di dalam rumah. Selain untuk memasak, asap tungku dan panasnya juga mengurangi kelembaban atap alang-alang akibat perubahan cuaca.
Untuk mengetahui kekuatan alang-alang, maka aku membandingkan antara atap alang-alang pada Mbaru Gendang yang setiap hari diasapi oleh tungku dan Niang Gena Maro yang merupakan rumah tamu yang tidak ada aktivitas memasak apa pun di dalamnya. Aku mengukur suhu ruangan di dalam dengan data logger, juga setiap empat jam mengukur suhu pada lapisan atap dengan alat Draminski pada dua bangunan ini.
Jika dikaitkan dengan pengetahuan tradisional, tentu alang-alang yang diasapi akan lebih kuat daripada yang diasapi, karena kelembaban yang menjadi musuh utama material alami menjadi lebih rendah karena pengasapan. Perbedaan suhu di dalam ruangan antara Mbaru Gendang dan Niang Gena Maro pun menjadi variabel yang mengikuti pengamatan.
Tentu saja data ini tidak bisa diambil sebentar, karena itu aku harus tinggal di Wae Rebo selama tujuh hari untuk mendapatkan siklus yang cukup valid, juga menunggu efek-efek perubahan suhu dalam berbagai kondisi. Mulai dari malam yang agak dingin, malam yang berembun, siang berangin, siang terik. Sempat juga bangun pada jam 2 pagi untuk memotret bintang sembari mengecek suhu di luar. Hm, 14 derajat saja bisa sambil merapatkan badan yang terbungkus kain Wae Rebo yang tebal ini. Lucunya, tujuh hari di sini tak sekali pun turun hujan, sehingga semua hasil pengukuran harian bisa dibilang stabil.
Di hari-hari terakhir, aku mengambil sampel alang-alang dari bangunan tradisional ini untuk diuji tarik di laboratorium di Jakarta. Tentu saja sesudah minta izin pada tetua dan penduduk yang sudah menganggapku seperti bagian dari mereka karena setap sore menghabiskan waktu di lapangan bersama-sama. Beberapa malah tidak percaya bahwa aku berasal dari tanah Jawa, soalnya rambutku keriting gelombang mirip dengan mereka.
WAKTU-WAKTU ANTARA
Di antara menunggu data logger bekerja, banyak sekali yang bisa dipelajari. Kadang-kadang aku ikut menumbuk kopi di pagi hari, lebih sering lagi membantu mengantar tamu berkeliling bangunan dan menjelaskan sejarah Wae Rebo. Michael dan Beny, dua anak muda Wae Rebo yang menjadi host sering kali kebanyakan menerima tamu sehingga aku dengan senang hati membantu menjelaskan dengan pengetahuan yang kumiliki, atau mengajak berkenalan dengan penduduk. Tapi jangan salah, Michael dan Beny yang sudah pernah bekerja sebagai guide di Labuan Bajo ini Bahasa Inggrisnya lebih lancar dari aku, lho.
Mulai jam 9 pagi ketika tamu-tamu sudah mulai kembali ke bawah, anak-anak akan berseru di depan Gena Maro, tempatku tinggal untuk mengajak ‘sekolah’. Iya, anak-anak di desa Wae Rebo ini hanya usia hingga 6 tahun, sebelum mereka masuk SD di desa Kombo di bawah. Bersama Alin, Hilde, Fetri, Grace, Fain dan lainnya menaiki bukit kecil di samping desa, tempat mereka menyimpan buku bacaan dan buku mewarnai, yang dinamakan perpustakaan.
Bangunan ini juga berbentuk bulat seperti bentuk rumah Wae Rebo lainnya. Dengan alat-alat mewarna dan bercerita cukup lengkap terletak di lapis ke dua bangunan. Dengan gesit anak-anak lelaki memanjat ke atas dan melemparkan krayon serta buku mewarna ke bawah, kemudian bersama-sama mereka tekun menarikan di atas kertas.
Ajaib, beberapa anak yang tak bisa diam sama sekali justru malah tekun menggoreskan warna-warna sesuai imajinasi mereka. Mereka mewarnai dengan rapi hingga tak keluar garis, dengan gaya manja dan malu-malunya sedikit-sedikit memanggilku minta perhatian. Jadinya aku yang sudah membawa laptop ke atas sini rencananya sambil menunggu mereka beraktivitas, jadi urung bekerja dan memilih untuk menanggapi hasil karyanya. Lucunya juga, mereka sangat teliti terhadap kelengkapan krayonnya, jika ada satu warna tak di tempatnya, akan dicari sampai ketemu.
Di sore hari, aku sering membawa buku-buku bergambar binatang dari perpustakaan ini untuk dibacakan pada anak-anak yang lebih muda. Biasanya sambil menonton anak-anak muda dan tamu yang bermain voli di lapangan bundar yang dikelilingi rumah-rumah. Karena aku tidak bisa ikut bermain, kan takut bola.
Jumlah tamu yang datang ke Wae Rebo cukup bervariasi. Di akhir pekan bahkan bisa mencapai empat puluh orang yang juga menginap di rumah tamu lainnya di belakang Niang Gena Maro. Pada hari satu hari Selasa bahkan hanya ada satu tamu yang menginap sehingga suasana agak tenang. Tak jarang juga tamu datang tak menginap, hanya datang pagi dan sore sudah kembali. Karena kebanyakan anak-anak muda, maka aku banyak berkenalan dengan beberapa komunitas yang asyik. Bahkan aku sempet ketemu dengan Kiki, salah satu penulis novel Negeri van Orange yang datang bersama teman-teman NGO-nya.
Banyak turis mancanegara yang datang sendiri, sehingga mereka suka ditemani aku berkeliling. Rata-rata mereka dalam perjalanan long trip dari Labuan Bajo ke Maumere dengan mengendarai sepeda motor. Bahkan aku sempat ketemu lagi dengan salah satu turis yang sempet berkenalan di hostel di Labuan Bajo kira-kira lima hari sebelumnya.
AIR TERJUN
Karena punya waktu yang cukup panjang di Wae Rebo, tentu saja di suatu siang tidak melewatkan ajakan ke Cunca Neweng, yang berjarak sekitar satu setengah jam di bukit sebelah. Dengan diantar Pak Conradus, aku serta Oliver dan anak-anaknya melalui jalan setapak selama beberapa lama berputar-putar melintasi kebun-kebun hasil bumi penduduk Wae Rebo. Sepanjang perjalanan kami bertemu pohon kayu manis berukuran besar, pohon kopi, pohon bambu yang batangnya berukuran besar, hingga kebun alpukat yang berbuah lebat.
Aku sempat tersesat sebelum menemukan jalan ke arah sungai, tapi ditemukan lagi oleh Pak Conradus. Jalanan mulai curam dan sulit, yang membuatku agak gentar bagaimana kembalinya nanti. Ketika tiba di tepi sungai, kami membuka sepatu dan menyeberang berjalan kaki. Sepuluh menit kemudian, tibalah di Cunca Neweng, yang sedang terbias cahaya pelangi.
Karena tidak berhati-hati, aku sempat terjatuh dan agak luka di dagu, untung saja kameraku masih selamat. Nggak kebayang kalau sampai kepentok atau masuk air, pasti kepingin pulang saja rasanya. Air terjunnya sendiri tidak terlalu besar, namun tertampung dalam sebuah kolam kecil yang tidak terlalu dalam. Jadilah kami semua masih bisa bermain dalam kolamnya ini sambil berenang.
KOPI
Salah satu yang membuatku jatuh cinta pertama kali pada Wae Rebo adalah kopi. Cita rasa kopinya tidak pekat, namun cukup ringan dan segar diminum baik pagi, siang maupun sore hari. Tentu saja aku tidak meminumnya dengan gula. Biji-biji kopi dijemur di halaman, dipanggang, ditumbuk, dan dijadikan bubuk dengan penuh sayang oleh masyarakatnya. Kebetulan akhir maret ini baru saja musim memetik kopi mulai, sementara kalau datang di bulan-bulan sebelumnya, aktivitas yang berkaitan dengan kopi ini mungkin tak ditemukan.
Menemani ibu-ibu ini menumbuk kopi di pagi hari untuk dijual ke kaki bukit, atau sebagai minuman sehari-hari sengan wanginya yang menguar setiap saat, membuat suasana menjadi lebih bersemangat.
PERSAHABATAN
Sebenarnya, ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di Wae Rebo bukan sekadar mengejar waktu penelitian saja. Namun karena hari terakhir jatuh dua hari sebelum Paskah, dan dikhawatirkan tak akan ada kendaraan beroperasi hingga hari Senin, maka dengan berat hati aku pun pulang di hari Rabu, supaya tidak mengganggu jadwal ibadah orang-orang yang mengantarku.
Diantar Pak Conradus, aku tiba malam hari di rumah Pak Blasius dan keesokan harinya naik motor selama dua jam lebih melewati Lembor yang melintasi jembatan putus. Seminggu di Wae Rebo telah membuatnya menjadi kampung halaman yang baru bagiku, dengan seluruh penduduk di rumah-rumah menjadi saudara, anak-anak yang menjadi murid, dan semua handai taulan yang menjadi guru, tempat belajar dari kehidupan. Olah gerak setiap hari pun membuahkan hasil, ukuran pinggang yang meramping.
Wae Rebo, 22-28 Maret 2018
Ditulis di Depok, 04 Juni 2019.
Wah… seru banget cerita Wae Rebonya… jadi ngiri kepengen kesana….
Pernah ada rencana ikutan tournya arsitek2 UI tapi gagal karena kurang fit, dan sampe sekarang belum terealisasikan… 😦
Perjalanannya seru dan bermakna banget mbak.
Wae Rebo memang selalu memberikan perjalanan hidup yang luar biasa. Jadi kangen…
kangen waerebo, flores selalu membuat pingin balik lagi
pak blasius ini primadonanya traveler, friendly banget waktu nginep di penginapannya
waahh, kamu sudah sampai juga yaaa