tidak bisa antri di kantor pos

Buat sebagian besar orang-orang, di pelosok Indonesia, Kantor Pos masih merupakan andalan dalam menerima kiriman kabar dan uang atau barang dari kota besar. Jadi ketika kepala tukangku memintaku mengirimkan uang gajinya lewat kantor pos daripada transfer, karena ia tidak punya rekening bank, aku tak punya pilihan lain. Walaupun kuingat terakhir mengirim wesel sudah lebih dari 20 tahun yang lalu kepada nenekku, masih dengan blangko karton hijau itu.

Sabtu tanggal 20 Agustus yang lalu, kusempatkan untuk ke Kantor Pos yang sudah kuketahui buka setengah hari. Kupilih Kantor Pos Depok II karena jaraknya relatif dekat dari tempat tinggalku, dan tempatnya cukup modern.

Sebelumnya aku terkagum dengan Kantor Pos Depok II ini karena gaya bangunannya yang tidak konvensional, dilengkapi dengan deretan ATM, ramp untuk laluan barang, kusen alumunium yang berbentuk unik. Sudah beberapa kali aku ke sini untuk mengirim paket. Di dalam terdapat mesin pengambil nomor antrian, dengan deretan loket-loket seperti di bank, loket untuk surat, loket untuk paket yang dilemgkapi timbangan, loket benda-benda pos, loket pembayaran, sehingga pelanggan cukup ambil nomer antrian di mesin dengan memilih menu layanan, lalu menunggu dipanggil untuk ke loket berapa di kursi tunggu yang banyak di ruang yang luas. Mirip dengan ruang tunggu di operator telepon atau beberapa bank swasta di Indonesia.

Namun Sabtu lalu itu, semua citra yang membuat PT POS Indonesia lebih baik (setidaknya menurutku dengan sampel Kantor Pos Depok II) itu, menjadi rusak. Baru masuk melalui pintu kaca beningnya, sudah disambut dengan keterangan mesin pengambil nomor antrian yang rusak. Dan melihat ke arah deretan loket, tampak puluhan orang berkerumun di depan loket dalam keramaian yang sama sekali jauh dari rapi. Hah, aku terkejut! Koq jadi begini kantor posnya?


Lalu aku bertanya pada petugas keamanan, “Pak, kalau mau kirim wesel bagaimana caranya, ya?”
Petugas itu memberikan blanko wesel pos yang harus diisi sembari menjelaskan bahwa sesudah mengisi blangko ditumpuk di depan meja loket khusus pembayaran. Aku melihat arah loket yang ditunjukkannya. Alamak, itu loket yang penuh dengan kerumunan orang di depannya itu! Tanpa membentuk satu deret antrian apa pun! Wah, bisa berapa lama nih mengantrinya?

Segera kuisi blanko tersebut di meja tulis, lalu kuletakkan blangko tersebut beserta tumpukan berkas-berkas lain di keranjang warna pink kecil di meja loket. Ternyata, setelah kuamati, orang-orang tersebut menunggu di sekitar loket pembayaran hanya untuk menunggu panggilan! Karena suara mbak-mbak yang melayani jasa pembayaran itu hanya sayup-sayup bening yang pasti tidak akan menembus kerumunan itu sehingga yang duduk di ruang tunggu akan mendengar. Melihat itu aku hanya geleng-geleng kepala, duh orang Indonesia, sulit sekali kau ditertibkan? Apakah perlu ada undang-undang yang mengharuskan orang Indonesia untuk tertib antri, sehingga kalau bergerombol begitu bisa dikenakan sanksi? Entahlah.

Karena tumpukan berkas itu begitu banyak, aku memutuskan untuk duduk di ruang tunggu dan mengamati orang-orang itu. Ada ibu-ibu dengan anak, bapak-bapak berjaket, gadis muda, dan lain-lain. Dan ternyata loket itu tidak hanya melayani pengiriman wesel, tapi juga pembayaran tagihan listrik, telepon, juga kredit-kredit kendaraan bermotor melalui jasa finansial. Pantas saja ramai sekali.
Dari 14 loket yang ada, hanya 3 yang dibuka untuk melayani. Pengiriman barang di loket 1, pengiriman surat di loket 3, dan pembayaran di loket 6. Petugas di pengiriman barang dibantu oleh petugas lain yang mengangkat barang dari timbangan ke belakang loket. Sementara 2 petugas lainnya hanya bekerja sendiri karena hanya mengisikan isian blangko sesuai kebutuhannya.

Tunggu-tunggu 20 menit, dari tempat duduk aku tidak bisa mendengar satu nama pun yang diteriakkan dari loket 6. Paling-paling hanya terlihat pergerakan sedikit apabila (mungkin) ada panggilan yang hanya terdengar oleh kerumunan tersebut. Akhirnya aku beringsut juga ke belakang kerumunan itu, supaya bisa mendengar kalau namaku dipanggil, setelah melihat bahwa nama yang tak muncul ketika dipanggil akan dilewat. Sementara jam sudah menunjukkan pukul 11.30. Berarti 30 menit lagi kantor pos akan tutup. Kutatap raut-raut lelah orang yang menunggu berkerumun. Petugas keamanan itu ada di sana. Tapi ia hanya berdiri di ujung kerumunan tanpa melakukan apa-apa. Kudekati dan bertanya,“Pak, apa setiap hari ramai begini?”
“Enggak bu, ini karena tanggal 20 saja, pas hari terakhir bayar tagihan-tagihan sebelum kena denda.”
Oh, pantas, pikirku. Rupanya memang banyak orang yang menunda-nunda pembayaran sampai saat terakhir. Mungkin baru dapat THR.
“Pak, apa orang-orang ini nggak bisa ditertibkan? Kan yang nunggu sambil duduk nggak bisa kedengeran?”
Bapak petugas keamanan itu tak menjawab pertanyaanku. Ia tetap berdiri di tempatnya, tak bergeming, seolah pasrah dengan kondisi. Melihat itu tentu aku kesal. Kupotret beberapa bagian kerumunan itu dengan telepon genggam. Paling tidak aku sudah mengajukan komplain ke yang berwenang menertibkan, tapi ia tidak punya wibawa untuk itu. Huh!

Terpaksa aku menunggu di belakang kerumunan itu karena merasa giliranku dipanggil sebentar lagi tiba. Benar, tak berapa lama namaku dipanggil dan aku pun dilayani oleh mbak-mbak petugasnya yang bersuara sayup-sayup itu. Pukul 11.50. Aku menyerahkan uang, petugas perempuan itu menyusunnya lagi dan menghitung di mesin hitung, mengetikkan isi blangkoku ke komputer, sambil sesekali bertanya menegaskan tulisanku. Kemudian aku mendapat nota tercetak komputer berisi data yang tadi aku isikan.
“Bu, ini nomor NTP dan PINnya.Nanti yang menerima dikabari saja lewat telepon atau sms supaya mengambil di kantor pos sana dengan nomor NTP dan PIN ini. Langsung bisa diambil.”
Oh, begitu rupanya wesel jaman sekarang, bukan lagi blangko hijau tertulis tangan yang akan sampai berhari-hari, namun secepat transfer via bank. Kubayar biaya pengirimannya sebesar Rp. 27.500 untuk pengiriman ke daerah Salatiga, lalu meninggalkan loket.Selesai urusannya, aku melihat lagi ke arah loket. Kerumunan itu masih ada, walaupun sudah mulai menipis mengingat jam tutup sudah hampir tiba.

Ah, kantor pos. Pelayanan yang sebenarnya bisa dimaksimalkan itu ternyata hanya bisa sampai tingkat standar saja. Bahkan untuk mengatur disiplin pun kurang bisa. Mungkin pegawainya juga tidak bisa disiplin, sehingga tidak bisa menertibkan pelanggan. Dan sudah tahu bahwa setiap tanggal 20 akan ramai, tapi tidak meningkatkan jumlah pelayanan. Sayang, padahal pasar pelanggan mereka begitu besar, yang bisa menjangkau hingga pedesaan di seluruh Indonesia. Masih menganggap bahwa pelanggan yang butuh mereka, tidak takut ditinggalkan. Sedikit lagi, Kantor Pos.

depok-tanah abang-depok
25 agustus 2011

4 thoughts on “tidak bisa antri di kantor pos

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.