“When everything seems to be going wrong with you, you must remember the airplane takes off against the wind”
― Sunday Adelaja
Seumur-umur aku nggak pernah ketinggalan pesawat apalagi karena berangkat mepet, hingga aku berpikir bahwa hanya jadwal terbang yang mampu membuatku tepat waktu. Mantan bosku saja mentertawakanku yang selalu bisa tiba jam lima pagi di bandara, tapi tak pernah tepat jam sembilan di kantor. Tapi kemarin, lagi-lagi ada kejadian tidak normal yang membuatku kepingin menuliskan banyak cerita-cerita seputar pesawat ini. Berhubung hampir tiap bulan menuju bandara (bahkan dua bulan belakangan ini sudah lebih dari sepuluh kali aku naik pesawat domestik), jadi banyak cerita yang bisa dibagikan.
Lari-lari di Terminal 3
Waktu itu terbang ke Jogja naik Air Asia yang masih di terminal 3 yang lama, pergi berempat dengan Sisil, Ika, dan Ayu. Berhubung kami ini biasa lonely traveler yang naik bus, jadi ketika pesan taksi dari Menteng jam setengah lima pagi tetap saja menuju Gambir dan naik bus Damri ke bandara. Sialnya, bis ini lelet banget di jalan dan barulah kami berpikir, kenapa tadi nggak naik taksi aja patungan berempat kan sama saja ongkosnya? Benar saja, ketika sampai di bandara jam enam kurang lima menit, pesawat sudah boarding, sehingga kami yang walaupun sudah online check-in, harus lari-lari dari ruang counter, ke lantai dua hingga gate pesawat. Bahkan petugasnya nepokin kami supaya bisa masuk pesawat tepat waktu! Muka penumpang lain sudah sepet melihat kami baru tiba.

Salah terminal naik Tiger Air
Ceritanya aku dan Arievrahman dapat tiket ke Singapore naik Tiger Air atas undangan Skyscanner Indonesia. Berhubung beberapa hari sebelumnya blogger kondang ini kubaca meng-endorse maskapai macan ini, maka aku percaya ketika ia bilang bahwa pesawatnya akan terbang dari terminal 3. Setibaku di sana dan mau masuk, petugasnya memberitahu kalau pesawat Tiger Air tujuan Singapore berada di terminal 2D! Huah, dasar tidak mau rugi, kami menunggu shuttle antar terminal membawa ke terminal 2. Ternyata sampai di sana mepet banget sampai-sampai kami harus lari-lari sebelum masuk imigrasi dan nggak pakai duduk di ruang tunggu lagi karena langsung masuk pesawat. Lucunya lagi, pas duduk pesawat aku melihat wajah anak bosku yang mau mudik ke Singapore, padahal aku izinnya ke bapaknya kan cuma cuti biasa, bukan ke luar negeri. Ngumpet-ngumpetin wajahlah sok lihat jendela waktu ia lewat.
Cerita di Singapore bareng Skyscannernya sih bisa dibaca di sini.
(ps. Pulangnya aku dan Ariev lari-lari lagi dari terminal MRT ke counter check-in Changi gara-gara mepet juga. Lumayanlah sprint 400 m..)

Ditinggal Lion Air
Sering di-delay oleh Lion Air? Aku sih hampir nggak pernah, tapi kejadian yang kualami malah ditinggal pesawat. Penerbangan ke Lombok ini atas undangan dari Tugu Hotel di pantai Sire-sire Lombok Utara, membuatku janjian dengan Manager Hotel yang berangkat dari Surabaya sehingga tiba di bandara Lombok bisa barengan ke lokasi. Eh, karena tidak web check-in, setiba di bandara Soekarno Hatta pada jam dua siang aku mengantri panjang ditambah bawaan orang-orang di depanku yang banyak, setiba di counter mbak-mbaknya tinggal mengatakan : check-in closed, mbak. Ha, kan masih bisa pesawatnya juga belum berangkat? Ini beneran masih 45 menit sebelum jadwal. Tapi tetap saja mbaknya tidak bisa memberi aku kursi untuk check-in. Karena kesal, aku complain ke kantor Lion Air di depan counter selama beberapa menit hingga petugasnya memberiku tiket baru untuk penerbangan jam delapan malam. Free, nggak bayar lagi. Yah, jadi harus menunggu lima jam lagi untuk bisa terbang, yang sampai di Lomboknya jadi jam sebelas malam, dan akhirnya di lokasi jam satu pagi. Kayaknya, kayaknya kursiku dijual lagi oleh Lion deh, makanya aku nggak bisa naik tadi.
Terus di Lombok ngapain saja? Baca pengalaman di Tugu Hotel Lombok lagi, ah.

Makan indomie di dalam Garuda
Saking seringnya naik LCC, pasti bawa bekal untuk dibawa di pesawat. Apalagi pergi bareng Bintang yang waktu itu masih kelas dua SD, kayaknya nggak boleh nahan lapar sebentar saja. Masuk pesawat pagi-pagi membuat kami lapar sehingga ketika pesawat mengudara langsung saja kami membuka bekal dan makan indomie goreng yang dimasak sebelum berangkat. Eh, rupanya tak lama sesudah itu pramugari membagikan kotak makan yang memang fasilitasnya dari maskapai. Lah, kalau inget begitu pasti kami tidak makan tadi, ya. Jadi walaupun perut sudah terisi, makanan yang dibagikan tentu kami makan lagi supaya tidak rugi.
Sebenarnya road trip berdua kami di Bali pernah punya rencana dituliskan karena keren rasanya menyetir sendiri dari Denpasar-Bedugul-Singaraja-Tulamben-Gianyar-Denpasar lagi, tapi sampai bertahun-tahun kemudian, sampai si ucrit ini terbiasa jadi navigator Jakarta Bandung, nggak sempat juga ditulis. Jadi bagi cerita tentang pantai Kuta saja, ya.

Lupa tanggal berangkat ke Ternate
Sembilan bulan sebelumnya, ketika ada Garuda Indonesia Travel Fair, aku membeli tiket yang rencananya akan dipakai untuk birthday trip tahun depannya, ke pulau impianku, Ternate. Pada bulan yang bersangkutan, ternyata kesibukan sedang luar biasa menggila sehingga aku hampir tidak menyiapkan itinerari sebelum berangkat, dan akhirnya hanya menembak-nembak saja apa yang mau dilakukan di sana nanti. Karena pesawat berangkat jam 01.10 pagi tanggal 30, maka aku berangkat jam sembilan malam tanggal 29 dari rumah untuk naik bis ke bandara dengan perasaan bahwa aku akan menyambut terbitnya matahari di pagi ulang tahunku dari udara. Indah kan impiannya?
Masih di ojek yang membawaku ke terminal bis, aku membuka amplop tiket dari GATF untuk memastikan jadwal keberangkatan, jangan sampai penerbangan tengah malam ini meleset waktunya. Dheg! Kulihat tanggal di tiket itu, tanggal 27. Beneran tanggal 27. Berarti pesawat yang seharusnya kunaiki sudah terbang dua hari yang lalu (terus aku ini mau ulang tahun di mana? Lagian kenapa dulu pesen tanggal 27 sih, ya?).
Berhubung sudah sampai terminal, mau pulang pun malu. Kepalang tanggung,aku cari tiket lagi untuk pagi dini hari itu. Sayangnya yang Garuda sudah tak terjangkau lagi harganya, sehingga aku mengalihkan pada Sriwijaya. Sepanjang jalan di bis nggak bisa tenang memikirkan birthday trip yang berantakan ini. Usai pesan pun, konfirmasi emailnya pun tak kunjung datang. Makin paniklah dan mencoba booking lagi lewat situs maskapai, karena situs online travel-nya nggak bisa dihubungi. Tapi, kalau kau kenal namanya Indri, selalu berusaha dengan segala cara supaya berhasil. Setiba di bandara, aku langsung lari ke kantor maskapai dan mengecek bookingan namaku yang tak bertiket. Untung masih buka, dan benar saja ada dua namaku yang sudah dibayar dan yang belum. Leganya sesudah mendapat tiket Sriwijaya itu, berarti bisa menikmati impian menambah umur di udara. Pagi itu memang indah sekali.
Cerita Ternate-Tidore-Halmahera-Morotai nya bisa dibaca serius di beberapa artikel. Ulang tahun yang berbahagia buat perempuan Venus ini.

Salah baca jam sebelum ke Labuan Bajo
Saking ribetnya mau berangkat penelitian ke Wae Rebo, bawaan jadi super duper banyak hingga lima tentengan yang buru-buru dimasukkan bagasi sesudah check in, baru aku keluar lagi untuk sarapan. Karena di Terminal 1C yang enak itu adalah KFC (seleraku sungguh anak SD sekali), jadi nongkronglah di situ bareng Bintang dan adikku yang rela mengantar sebelum ditinggal sebulan di Flores. Lagi senang karena naik Batik Air cuma sekitar 900 ribuan hingga Labuan Bajo, juga bahagia kembali lagi ke kepulauan yang indah banget ini. Karena kupikir jadwal berangkatnya jam 10:40, maka jam setengah sepuluh aku pamitan dan masuk lagi ke ruang tunggu dalam, mencari beberapa benda di toko, kemudian melenggang masuk ke ruang tunggu, dan: “Mbak, pesawatnya sudah boarding dan pindah ke gate 2.”
Halaahh, mati aku jadilah lari-lari sepanjang koridor untuk tiba di garbarata hingga masuk pesawat yang sudah dipenuhi semua penumpang. Untunglah pesawat Batik Air ini tidak harus naik bis lagi untuk masuk ke pesawatnya sehingga aku masih terbawa. Sesampai duduk di kursi dan memasang safety belt, aku melirik lagi pada boarding pass, jam 10.10. Pantas saja semua sudah pada masuk.
Karena bukan jalan-jalan, jadi hasil tulisannya muncul di jurnal ilmiah, ya. Tapi masih mendapat kebaikan ternyata ketika usai urusan jalan-jalan di Labuan Bajo dan ketemu teman yang menawarkan naik kapal, keliling perairan Komodo lagi! Bisa baca ceritanya di sini.

Terselip tanggal ke Bajawa
Nah, ini yang kejadian kali ini. Setelah sesiangan aku mencoba untuk check in ternyata tidak bisa, jadinya aku memutuskan untuk check in di counter saja deh nanti. Dua hari sebelumnya memang baru aku book tiket untuk Jakarta-Kupang-Bajawa ini, sempat beberapa kali cek harga malah. Eh, kemudian sekilas kulihat skedul dari google mail koq tanggal 20. EH, KOQ TANGGAL 20? Sama-sama hari Selasa, sih. Penasaran, aku mengecek email berisi tiket dan benar kan, ternyata tiketku ini tanggal 20. Sementara aku sudah mengeset pertemuan dengan penduduk di Bajawa ini besok beneran, dan sudah punya tiket pulang pula (bukan di tanggal 21 tentunya).
Walaah, mulai deh panik dan berusaha mencari alternatif. Rupanya memang nggak ada, jadi harus membeli tiket baru. Kulihat jam, ternyata sudah jam 9 malam dan tinggal 6 jam lagi sebelum aku berangkat. Kepalang tanggung, aku pesan lah tiket baru. Untung saja masih ada penerbangan ke Kupang walaupun harganya naik (dan refund tiket yang tanggal 20 kena potongan pula). Agak nyesek juga, sih.
Jam 11 aku berangkat ke bandara Soekarno Hatta dan menunggu kira-kira 2 jam hingga pesawat boarding tepat waktu pada dini hari itu. Ketika mendarat di Kupang, ketimbang menunggu dua jam di airport, aku menyewa mobil dan putar-putar kota yang pernah aku datangi di tahun 2015 itu. Pohon Delonix regia memenuhi sisi-sisi kota dengan warna jingga yang cantik seperti dulu.
Dari Kupang ke Bajawa dilanjutkan dengan pesawat Wings Air dengan baling-baling dan terbang rendah. Huih, akhirnya sampai lagi di daerah yang terkenal dengan desa-desa adatnya yang indah ini. Tentu saja aku pernah punya cerita tentang Bajawa, sebelum akan ada tulisan baru nanti.

Menulis cerita ini membuatku kangen terminal 3 yang lama, sewaktu rajin naik Air Asia dan keliling-keliling Asia Tenggara demi (cap paspor) pengalaman berharga. Sebenarnya pasti banyak cerita lagi dengan pesawat yang membuat dagdigdug. Pernah juga lupa memutar jam sewaktu dari India transit di Kuala Lumpur yang membuat kami buru-buru lari ke gate karena jamnya lebih cepat, tertahan delay di Jambi akibat asap hingga diantari nasi bungkus oleh omku ke bandara, hampir salah naik pesawat di Polonia, dan lain-lain. Alhamdulillah selama ini selalu naik pesawat dalam kondisi baik-baik saja dan selamat sampai tujuan. Semoga selanjutnya selalu aman, ya.
Pasti aku nggak sendiri punya cerita dengan pesawat ini, ya. Boleh dong cerita di komennya, nanti yang paling asyik aku oleh-olehi Kopi Bajawa ini.
Labuan Bajo, 15.11.2018
[ditulis di soetta, diedit di bajawa dan diposting di depan kapal-kapal yang berlabuh dengan tenang]
Catat ya … seharusnya ini tidak terjadi pada seorang travel blogger. Sekali lagi, tidak boleh terjadi. Namun apa daya karena nasi sudah menjadi bubur dan kejadian tersebut adalah pengalaman terkonyol dirinya. Bagaimana tidak? Sosok itu sudah mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari. Pada saat tahu bahwa dirinya harus meliput TdS 2018, dia pun langsung memesan tiket Bus Primajasa jurusan Bandung ke Bandara Soetta. Pukul 23:05 bus berangkat dengan jumlah penumpang yang tidak penuh. Kabar tidak mengenakkan bahwa macet di Tol Cikampek membuatnya was-was. Kata keneknya bisa sampai 7 jam! Kalau berangkat pukul 23 maka diperkirakan sampai bandara adalah pukul 6, sedangkan pesawatnya berangkat pada jam yang sama. Nah lho! Untunglah saat bus melakukan inspeksi penumpang di Rest Area 125 sebelum Padalarang, diputuskan kalau jalur yang akan digunakan adalah Jonggol.
Bus pun keluar dari Padalarang dan perjalanan berkelok dilewati di daerah Cipatat dan Citatah. Setelah melewati Rajamandala, bus berbelok ke kanan, menuju Jonggol. Sosok itu tidak mau tahu, setelah berbisik nama Sang Maha, dia memaksakan diri untuk istirahat. Mata terpejam. Pada pukul 3 dini hari, matanya membuka dan tubuhnya menggeliat. Bus baru saja melewati Cileungsi dan siap memasuki pintu tol Cibubur. Agak tenang. Setelah di dalam tol, dia merasa was-was karena bus berhenti agak lama. Entah macet karena apa. Doa dipanjatkan lagi … dan untungnya hanya sementara. Jiwanya makin tenang saat bus sudah masuk ke area Cengkareng. Sampai di Terminal 3, waktu menunjukkan pukul 3:45. Alhamdulillah ya, Rabb. Dia pun langsung menuju toilet untuk bebersih, setelah itu ke Mushala Pria yang ada di sebelahnya. Azan Subuh bergema. Hatinya terasa tenang.
Beres shalat, WAG Tour de Singkarak sudah mulai berisi. Beberapa kawan seperjalanan dari GenPI mulai berdatangan. Dia pun segera check-in dan turun ke bawah. Gate 14 adalah tempat berkumpul lima orang yang memang berangkat bareng. Ada Kang Bondan selaku PIC, Kang Widi, Kang Jalu dari Jogja, dan Kang Dika. Pukul 6 mereka semua bersiap-siap di depan gate. Ternyata ada pengumuman delay kira-kira setengah jam. Tiga kawan memilih menuju ke smoking room. Sosok itu dan Kang Bondan memilih mencari makanan kecil. Makan pastel terasa nikmat sambil ngobrol ngalor-ngidul. Taklama sebuah telpon masuk, mengabarkan bahwa tiga kawan pemuja asap sudah di dalam pesawat. Lho! Ini kan baru 15 menit! Keduanya langsung bergegas ke Gate 14, meninggalkan secangkir teh panas yang belum sempat disesap. Setelah sampai di depan petugas tiba-tiba saja di sekelilingnya semua warna memudar menuju pucat. Ada apa?
Sosok itu terpekur. Tidak bisa berkata-kata lagi. Kang Bondan juga demikian. Jawaban petugas gate terngiang kembali, “Mohon maaf, pesawatnya sudah berangkat. Silakan menuju counter tiket di lantai atas.” Duarrr! Warna pucat yang menyelimuti dirinya meledak. Oke, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Tiba-tiba saja hati ini seperti berpindah dan masuk ke dalam petualangan Elsa di film Frozen. Brrr! Jalan kaki, naik lift, mata berputar mencari counter yang tepat, tidak ada dialog saat melakukan semuanya. Akhir kata … beli tiket lagi untuk penerbangan selanjutnya. Dan memang, selalu ada orang-orang yang ikut mengantri kembali membeli tiket ke kota tujuan karena terlambat, apa pun alasannya. Okelah anggap saja gak masalah kalau tertinggal karena masalah kemacetan yang tidak bisa diprediksi, tetapi yang terjadi pada diri #SangPejalan kali ini adalah … KONYOL banget! Gak banget dan gak mau terulang kembali. Titik.
Pahit bangetttt, beneran ini. Terus bagasinya gimana? sudah sampai duluan atau nggak bawa?
Kalau aku sama kereta, pernah karena awalnya ada masalah, jadinya sampai di Stasiun Senen 10 menit sebelum berangkat. Turun dari KRL, langsung lari ke luar, cek in, masuk lagi.
Yang paling nyesek, karena angkot nggak berhenti tepat di depan stasiun, jadilah aku berhenti di perempatan sekitar 50 meter. Udah tau itu kereta yang aku naikin, aku lari-lari deh dari perempatan ke stasiun, eh tinggal 10 meter lagi lokomotifnya bunyi, jadilah aku cuma tersenyum saja. Dan beli tiket baru sorenya wkwk
Jadi ya masih ngeliat tuh kereta berjalan pelan meninggalkan stasiun :”)
Sama kaya ngeliat akad nikah gebetan yang nikah sama mantannya