kota di kuta

cover

I’m moving
I’m coming
Can you hear, what I hear
It’s calling you my dear
Out of reach
(Take me to my beach)
I can hear it, calling you
I’m coming not drowning
Swimming closer to you
[Pure Shores ~ All Saints]

Siapa di sini yang pernah berfoto di depan Hard Rock Bali yang berlokasi di Kuta? Sebagian anak muda sepertinya pernah melakukannya, pertanda ia sudah sangat eksis liburan di pantai terpopuler di Indonesia ini. Aku? Belum pernah. Hehehe.. Ketika November 2012 kembali ke pantai Kuta bareng Tiwi, sahabatku ini mengancam,”Awas ya, kalau lo minta gue moto-motoin di depan Hard Rock!” Aku tertawa geli,”Ya enggak lah, kan semua orang sudah foto-foto di situ, masa gue ikut-ikutan?”.

Sombong banget jawabanku. Seperti kalau bepergian ke tempat-tempat lain tidak tergiur untuk berfoto di salah satu ikon sculpture-nya. Lalu memamerkannya di social media supaya orang lain tidak tertarik. Lha, ini Kuta! Everybody was here! Hampir semua teman yang suka bepergian pernah mampir di tepi pantai ini. Terus apa istimewanya kalau aku pamer sedang berada di sini?

Pantai Kuta berada di kabupaten Badung, Bali, sangat populer di kalangan turis mancanegara. Dari udara, sebelum mendarat di bandara Ngurah Rai, bisa dilihat garis pantai berpasir putih yang membentang sejauh kira-kira 1500 m. Ke utara, pantai ini terus sampai Legian dan Seminyak, yang masih giat membangun cottage dan hotel di sana sini demi memenuhi kebutuhan turis (bah!).

foto1
garis pantai

“Pantai Kuta ini bagus loh, Tiw,” ungkapku pada kesempatan kami ke sana lagi di Juni 2013 sambil menyantap lumpia gunting yang banyak dijajakan sambil menikmati matahari terbenam. “Masa sih? Kan banyak pantai-pantai lain di Bali yang nggak kalah bagus?” herannya.

Ya, aku suka pantai ini. I really did. Aku suka memperhatikan orang-orang belajar menggunakan papan selancar dengan pelatih gimbalnya. Aku suka mengamati anak-anak kecil tertawa menyambut ombak yang pecah. Aku suka melihat pasangan kekasih yang berangkulan menikmati deburan buih yang bergulung di kejauhan. Aku suka mendengar pesawat yang lewat di langit. Aku suka melihat anak-anak sekolah berdarmawisata teriak-teriak riang di sini. Aku suka melihat oma-oma duduk di pasir menunggu cucunya bermain air. Aku suka memandang perempuan-perempuan berbikini masuk air. Aku suka menemukan bule-bule lari di pasir sambil mendengarkan musik. Aku suka melihat anjing yang tidak menggonggong menakuti pengunjung pantai. Aku suka bulir pasir putihnya, gumpalan awan di udara, kecup air laut saat bermain di ujung jemari, angin yang berhembus dari barat, dan suara-suara riuh di sekitarnya, sadar bahwa ada kehidupan di sini.

foto2
menikmati pantai
foto3
bermain pasir
foto4
senyum terkembang

Kuta sekarang adalah kota pantai yang kuat identitasnya. Lihat saja, di sana sini tampak toko peralatan pantai. Kios penyewaan papan surfing, minimarket penjual sunblock, gerai es krim, dan berderet yang berjualan pakaian yang lazim dipakai di pantai, seperti topi lebar, kain panjang, atau bikini. Ratusan orang lalu lalang di jalan pantainya, seolah liburan datang setiap hari. Benar kata Bli Marvin Sitorus, seorang teman yang sangat membantu urusan transportasi di Bali, di sini tak dikenal Senin, Selasa dan lainnya. Semua hari adalah Minggu, tawanya.

Setiap hari, setiap jam sampah digeret dan diangkat dengan truk yang berjalan di atas pasir. Jejaknya selalu menarik diikuti. Jarang ada kios-kios makanan yang dibangun seadanya seperti di pantai-pantai publik di tempat-tempat lain yang pernah kukunjungi. Lebar pantai dan pasir putihnya cukup untuk bermain bola atau sekadar voli pantai.

“Gue udah banyak lihat pantai, Tiw. Beberapa hidden beach juga, yang jelas nggak ada apa-apanya dibanding Kuta. But, this is beach!” teriakku sambil merentangkan tangan. “Ini pantai publik yang benar-benar hidup. Ini ruang terbuka yang dimanfaatkan sebagai rekreasi. Di sini orang datang buat menikmati, main air, leyeh-leyeh, bunuh diri sekali pun. Di pantai yang manusia memanfaatkan ‘ruang’-nya. Lihat, orang-orang ke sini beneran mau ke pantai, nggak takut hitam, with fit and proper dress to the beach,” ujarku nyengir.

foto6
menikmati pasir
foto5
ruang untuk semua

Sok berfilosofi banget aku. Tapi memang di sinilah tempat mengamati orang-orang lain di pantai. Di tempat lain, aku gerah dengan orang-orang membawa payung ke pantai, yang cuma celup-celup ujung kaki karena takut basah (yah, ke pantai kok nggak main air?), warung makanan yang menutupi vista, menghalangi jalan masuk sehingga mencapai pantai harus ‘mblusuk’ di antaranya. Terkadang aku tidak suka melihat perahu di pantai, karena membuat pantai hanya sebagai ruang transit, bukan dinikmati.

foto7
ramainya pantai yang cukup bersih
foto8
ruang berkumpul dan bermain

Lokasi pantai ini hanya 5 menit dari bandara Ngurah Rai dengan mobil, dengan banyak penginapan murah mengintip di sela gang-gang belakang Hard Rock Bali, membuatnya sering menjadi tujuan transit sehari-dua hari, sebelum atau sesudah dari Indonesia Timur. Namun, bule-bule yang liburan di Bali bisa berminggu-minggu ada di tempat ini, karena itu penginapan murah menjamur di dalam gang-gang sempit sehingga akomodasi murah pun tercapai.

foto9
saat hampir senja
foto10
ombak yang bersahabat
foto10a
lumpia potong

Di kiri kanan jalan ada trotoar lebar yang memungkinkan untuk bersinggungan dengan penikmat pantai lainnya. Tak perlu terlihat keren dengan baju mahal. Celana pendek, kaus kutung, dan sandal jepit adalah seragam tak resmi di sini. Pantai ini murah, kece atau tak kece bisa bergaya di tengah warna warni kain pantai. Tak ada yang peduli kamu berduit atau tidak.

foto11
jalan kaki

Yang mahal di sini adalah transportasi umum. Tak ada bis umum yang sudi bertrayek mendekati Pantai Kuta yang tersendat macet. Sehingga taksi atau ojek menjadi pilihan selanjutnya untuk tiba, selain kaki yang kuat untuk berjalan. Kuta tak bisa pantas disebut kota.

Di seberang pantai ada Kuta Beachwalk yang nyaman dikunjungi bersandal jepit, namun menyajikan barang-barang bermerk. Di gang-gang belakangnya bisa disusuri sambil mencari kios-kios mungil penjual buku-buku impor bekas dengan harga sangat miring. Mulai padat dan bisa-bisa tersesat di dalam labirin di antara toko, salon, butik, circle K, bar, club dan banyak yang mudah ditemui berulang kali sehingga gagal menjadi patokan. Jika demikian, maka gunakan mulut untuk bertanya, bila ragu nyalakan GPSmu, cari jalan terdekat ke pantai.

x
sepanjang jalan

Tak cuma terbenam, matahari terbit pun bisa dinikmati sebagaimana siang. Karena yang digunakan bukan hanya indera penglihatan yang cuma melihat buih, tapi juga telinga yang mendengar desau, hidung yang membau asin, sampai kulit yang tak sadar terbakar, meninggalkan bekas pada bahu hingga sekarang. Bermain dan peluklah air sepuasnya!

depok-juanda : 23.01.14 : 08.48

12 thoughts on “kota di kuta

  1. […] Sebenarnya road trip berdua kami di Bali pernah punya rencana dituliskan karena keren rasanya menyetir sendiri dari Denpasar-Bedugul-Singaraja-Tulamben-Gianyar-Denpasar lagi, tapi sampai bertahun-tahun kemudian, sampai si ucrit ini terbiasa jadi navigator Jakarta Bandung, nggak sempat juga ditulis. Jadi bagi cerita tentang pantai Kuta saja, ya. […]

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.