warna-warni jalur transportasi jakarta

transportasi-jakarta-jalan-raya

“Nih, tanya Teh In saja..” seorang teman menyorongkan ponselnya padaku untuk membantu temannya di ujung sana yang bertanya bagaimana mendapatkan bus tujuan Bekasi dari Jakarta Convention Center. Aku menjelaskan dengan memintanya keluar JCC ke arah kiri hingga jalan raya depan tol dalam kota, naik naik Tranjakarta arah Cawang, turun di depan Plaza Semanggi hingga tepi jalannya dan menunggu bis Mayasari Bakti tujuan Bekasi di situ. Bukan sekali dua kali aku membantu teman-teman yang naik kendaraan umum dari mana ke mana di Jakarta. Bahkan seorang teman lain yang pemerhati kota berseloroh,”Mungkin teknologi aplikasi yang yang cocok untuk masyarakat sekarang adalah teknologi ngobrol-ngobrol. Ngobrol sama kamu, In. Kamu itu apps-nya.”

Aku pengguna transportasi umum secara aktif. Sejak lulus kuliah dan harus bekerja di Jakarta, aku harus menggunakan transportasi umum sebagai sarana bepergian setiap hari. Alasannya simpel, menghemat waktu, malas menyetir dalam waktu agak lama, dan macet. Mobil pribadi hanya aku gunakan di akhir pekan saja, itu pun tidak selalu. Naik kendaraan umum juga membuatku pengeluaran lebih hemat. Kan, lebih baik dananya dialihkan untuk ditabung dan piknik-piknik ke luar kota, daripada terbakar sia-sia di jalan setiap hari. Dan pastinya mengurangi penggunaan bahan bakar karbon emisi gas buang yang ke udara, juga mereduksi dosa terhadap bumi. Makanya, KRL dan bis menjadi sangat umum bagiku yang malas menyetir dan tidak mampu bayar supir pribadi ini.

Dari tahun ke tahun, transportasi umum di Jakarta mengalami perkembangan yang begitu pesat. Jalur KRL beberapa kali berubah sehingga dianggap efektif, jalur Transjakarta pun bertambah menjadi banyak koridor, beberapa titik silang ganti pun menjadi padat oleh kebutuhan, armada bis mengalami banyak peremajaan, hingga angkutan pribadi dari moda roda empat dan tiga kini harus bersaing dengan roda dua. Entah apakah sudah ada aplikasi untuk digunakan di ponsel untuk membantu penumpang baru, atau orang lebih suka bertanya pada petugas di titik silang ganti untuk mendapatkan jawaban jalur jika hendak pergi ke suatu tempat.

sumber : buku Kota Rumah Kita, Rujak Center for Urban Studies, 2011
sumber : buku Kota Rumah Kita, Rujak Center for Urban Studies, 2011

Tuh kan, sepertinya yang lebih disukai orang adalah bertanya langsung. Karena di beberapa simpul, di beberapa moda transport, di beberapa halte memang tidak ada petunjuk yang membuat orang harus bertanya. Seandainya sistem sekarang memang sudah cukup sinergis (setidaknya untuk beberapa bagian kota), lalu bagaimana cara mensosialisasikannya sehingga warga kota menjadi mudah untuk menggunakan transportasi umum ini?

Bagaimana supaya warga kota mudah untuk memahami jalur-jalur transportasi umum dalam kota?

Contoh pertama, seperti biasa di Singapura. Sebenarnya sudah terlalu banyak kasus yang mengkiblatkan ke negara kecil ini, tapi mau bagaimana lagi, memang sistem transportasi mereka lebih baik, koq. Begitu tiba di bandara, langsung dengan mudah didapatkan peta jalur transportasi di Singapura yang dibagikan dengan gratis, dan mengikuti petunjuk di situ hingga tiba ke destinasi. Seandainya harus bertanya pada seseorang di sana, pedoman awalnya juga ada. Jalur MRT di Singapura yang dijelaskan dan disosialisasikan dengan warna. Jika pernah ke sana, pasti tak asing dengan green line, yellow line, dan sebagainya.

Dua jenis transportasi massal Jabodetabek, KRL dan TransJakarta memiliki peta yang cukup bagus, berwarna dan informatif. Pertama peta KRL Commuter Line yang bisa dilihat di situs krl.co.id menggambarkan semua jalur dengan warna-warna tertentu yang menjelaskan relasi KRL tersebut beserta stasiun-stasiun mana yang akan berhenti. Jika memperhatikan jalur kuning akan sangat mudah diketahui bahwa relasi jalur ini adalah Bogor-Depok -Manggarai-Tanahabang-Jatinegara. Jika memperhatikan jalur merah bisa dibaca jalur Bogor-Depok-Manggarai-Jakarta Kota.

Ada enam warna yang dijelaskan di peta ini (sumber : commuter line jabodetabek) dengan relasi-relasi perjalanan yang berbeda. Selain peta yang bisa diunduh secara digital, peta dan jalur berwarna ini juga ditempelkan pada bagian atas bagian dalam pintu kereta, sehingga seharusnya memudahkan penumpangnya untuk memahami, apalagi jika harus transit pada titik silang ganti tertentu. Sayangnya, sosialisasi warna ini tidak maksimal, karena peta ini juga tidak mudah ditemukan di stasiun tempat menunggu, membuat penumpang seringkali hanya meraba-raba saja ketika bertanya, berusaha memahami arah tangan petugas. Lebih sering yang digunakan adalah jalur ini ke ini, nanti turun di ini, tanpa merujuk warna jalur yang dimaksud.

peta-rute-krl-jarak-stasiun-2015

Semisal terjadi percakapan seperti ini di Stasiun Depok Baru.
Penumpang : Pak, kalau mau ke Rawabuntu bagaimana ya?
Petugas : Nanti naik kereta tujuan Tanah Abang, turun di situ dan ganti ke arah Serpong, nanti turun di Rawabuntu.

Kemudian ada kereta datang setelah sebelumnya diumumkan bahwa kereta tersebut adalah tujuan Jatinegara. Apakah penumpang akan naik? Kalau ia paham, akan naik. Kalau ia tidak tahu bahwa kereta Jatinegara itu melewati Tanah Abang, mungkin tidak naik.

Seandainya jawaban Petugas menjadi : Nanti naik kereta lintas kuning, nanti turun di Tanah Abang dan berganti dengan lintas hijau, turun di Rawabuntu.
Seandainya juga kereta yang datang pun berwarna kuning dan di Tanah Abang keretanya berwarna hijau, pasti penumpang tersebut tak kesulitan lagi. Mungkin agak mahal untuk mengecat keseluruhan body kereta, atau mungkin bisa temporer di bagian depan kereta bisa ditambahkan untuk mengenali kereta dengan lintas warna tertentu.
Ditambah dari petugasnya mengumumkan, “Jalur satu dari selatan akan masuk kereta lintas kuning tujuan Manggarai-Tanahabang-Jatinegara.”

rel tanahabang

Jejaring bus Transjakarta memiliki peta yang lebih bagus (dan lebih rumit) lagi. Selain menggunakan warna dalam koridor-koridornya, halte-halte bus ini juga diidentifikasi dengan nomor, yang memudahkan untuk mencocokkan antara peta dan hate yang dituju (sumber : PT Transportasi Jakarta). Tentu saja jika disosialisasikan dengan baik. Saat ini orang lebih suka menyebutkan Koridor Satu, atau Koridor Blok M-Kota, daripada Koridor Merah seperti pada petanya. Mungkin juga penyebutan nama warna ini akan sulit karena ada lebih dari 20 koridor yang dilayani oleh bus Transjakarta ini yang tidak bisa terwakili oleh warna sekunder tertentu. Tapi jelas terlihat bahwa warna dan kode memegang peranan penting dalam peta yang seharusnya bisa mudah dipahami masyarakat ini.

peta-rute-transjakarta

Begitu juga dengan titik silang ganti besar (semisal Harmoni) yang penuh dengan kode-kode halte yang semestinya bisa lebih mudah terbaca oleh orang-orang yang baru pertama kali menggunakan Transjakarta. Kode-kode ini akan menjadi amat membantu bagi orang asing yang tidak paham dengan bahasa Indonesia sehingga mereka tidak tersesat dan sampai titik tujuannya, jika dibiasakan untuk menjelaskan dalam Koridor kode angka dan warna, bukan nama relasinya. Ini mengingatkan ketika aku ke Jepang dan bisa mencocokkan nama stasiun di luar yang bertuliskan kanji namun berkode angka dengan peta yang dipunya di tangan.

peta-rute-transjakarta-harmoni

halte istiqlal, berkode 2-17
halte istiqlal, berkode 2-17

Jakarta punya sejarah menarik dengan warna angkutan umum. Jalur angkot merah yang merupakan kode Jakarta Timur dan biru untuk Jakarta Selatan membuat penumpang mudah untuk mengetahui kira-kira termasuk dalam wilayah mana. Begitu juga dengan nomor angkutan yang diawali dengan S (Selatan), P (Pusat), T (Timur), untuk menunjukkan area laluannya (maaf kalau Utara dan Barat, aku jarang naik). Tentu juga warga Jakarta bisa membedakan bahwa bajaj biru itu berbahan bakar gas dan bajaj jingga menggunakan solar. Jika begitu, tentunya warna dan peta bisa dijadikan salah satu alat sosialisasi yang membuat warga kota lebih mudah untuk memahami transportasi massal ini dan tidak lagi banyak bertanya.

Walau kadang-kadang aku bertanya dalam hati bahwa apakah pembuat jalur-jalur ini sering menggunakan transportasi umum sehingga tahu bagaimana cara warga menyerap informasi yang sudah dibuat? Atau memang hanya orang-orang tertentu yang bisa membaca peta yang bisa paham pola yang sudah dibuat? Atau memang sebenarnya orang-orang memang lebih nyaman untuk ngobrol-ngobrol dan bertanya langsung ketimbang memahami informasi yang sudah dipampangkan? Apakah semua harus selalu diselesaikan dengan apps? Apakah pembuat apps itu berinteraksi dengan transportasi umum? Apakah cara sosialisasinya sudah benar? Benarkah warga kota sulit untuk belajar? Bagaimana cara memberi petunjuk jalan yang mudah dan cepat? Apakah aku tidak mau ditanyai lagi?

Dan lagi,
Bagaimana supaya warga kota (dan pendatang) mudah untuk memahami jalur-jalur transportasi umum dalam kota?

Punya usul?

[depok | 16 oktober 2016]

19 thoughts on “warna-warni jalur transportasi jakarta

  1. Mungkin kalau sistem transportasinya sudah terintegrasi dengan baik, misalnya di depan stasiun KRL langsung ada halte busway, jadi enak buat pengembang aplikasi buat create aplikasi yang bisa bantu pengguna untuk cari tahu harus naik apa dari lokasi A ke B, beserta tempat-tempat transit nya. Berhubung sistem transportasi di Jakarta masih semerawut, kayaknya dengan memperbanyak sign rute yang simple dan mudah dipahami sama staff pendukung di setiap halte buat nanya-nanya. Lagi pula rata2 orang Indonesia masih konvensional, masih merasa nyaman nanya langsung daripada mengandalkan aplikasi, terutama buat orang tua. Jadi keberadaan mas-mas busway masih diperlukan banget #LahPanjangAmatNiKomen

    1. kemarin ngobrol dengan Badan Koordinasi Transportasi Jabodetabek, dan masalah terbesarnya adalah egosektoral antar instansi yang tidak bisa bekerja sama untuk memudahkan perpindahan antar penumpang. jika antar pimpinan-pimpinan ini bisa bekerja sama pasiti akan lebih mudah bikin penghubung antar moda. transjakarta bisa masuk stasiun gambir, krl bisa berhenti di gambir, atau perpindahan lain.
      kerjasama adalah koentji!

  2. Wih! Baru tau kalo kode S itu untuk selatan, dst..

    Nah, bicara soal transportasi publik di Jakarta, sebenernya yang sangat disayangin itu adalah integritas antarmoda ya. Misalnya bandara-shelter Transjakarta-stasiun kereta. Beberapa titik udah mulai dibenahi sih, kata Stasiun Palmerah sekarang dilewatin sama Transjakarta. Lalu pembangunan jalur KRL ke bandara.

    Kalo semua udah terintergrasi, selanjutnya mungkin (ini mah ngarep dulu aja) soal kedisiplinan jadwal. Kalo kenyamanan transportasi publik mah kan ya udah lah, yang penting ada. Minimal, on time lah. Jadi orang naik publik bukan sekadar terpaksa ‘daripada macet’ tapi karena memang ‘aku senang naik transportasi publik’ 😀

    1. aku sih tetap senang, asal murah. lalu sisanya bisa buat piknik. *tetep

      nunggu transjakarta itu ibarat nunggu gebetan sempurna, rapi, jelas, tapi lewatnya entah kapan. sementara metromini ibarat anak tanggung yang wira-wiri asoy, siap membantu kapan saja.

  3. Wah, dulu waktu masih beraktivitas di jkt juga suka di jadi’in peta berjalan sama teman-teman… (ditanyain soal kendaraan umum klo menuju tempat) hehehe, karena emang suka nelusuri sudut kota dengan transportasi umum.

    Yah… ngomongi Transjakarta yang disesali adalah jadwal keberangkatan yang cuma sopir transjak dan Tuhan yang tahu — makanya paling malas naik TJ. heheh, suka naik metromini dan kopaja yang klo berhenti suka nggak nentu plus kecepatannya bikin kadang olahraga jantung.

    Jakarta itu aku pikir padatnya hampir sama dengan bangkok… tapi soal Transportasi bangkok lumayan memudahkan utk mereka yg baru pertama kali ke sana. Jakarta? Aish, mereka masih mengandalkan taksi karena bingung.

    Dan, maafkan aku kak Indri nggak tahu mo kasih solusi apa selain ngomongi keadaan transportasi ibukota yang lumayan riweh 😦

    1. hahh, kita samaaa.
      pelaku teknologi ngobrol-ngobrol! iyahh, transjakarta yang di jalur yang nggak gemuk memang lewatnya entah kapan bagaikan nunggu belalang lewat di samping kebun..
      jakarta is better lah sekarang. dulu? lelah aku selalu mendengar kesebalan orang luar kota tentang jakarta..

  4. Mba keren pembahasannya, belakangan ini gue jarang naik transportasi umum. So, klo ada yg nanya kadang kebingungan soalnya lupa hahaha nice artikel btw mba 🙂

  5. Wah, senangnya punya rekan blogger dengan concern yang sama 😀

    1. Penamaan jalur Commuter Line kurang efektif, sebaiknya pakai warna
    2. Radius 1 km mulai dipasang papan petunjuk menuju stasiun CL dan transjakarta bus stop
    3. Stasiun CL dan TJ terhubung dengan tempat publik, seperti: mal, kantor, dsb
    4. Ticketing machine CL memiliki 2 bahasa, Indonesia dan English
    5. Peta rute di setiap stasiun dan bus stop
    6. Pemberitahuan melalui voice over di dalam kereta dan bus dalam 2 bahasa, lengkap dengan informasi stasiun pertukaran. Misal: next station, Manggarai. Harusnya: next station, Manggarai, interchange with…
    7. Informasi dwibahasa di dalam kereta dan bus
    8. Jalurnya masih kurang efektif. Untuk meningkatkan interval kedatangan, masing-masing track untuk 1 jalur aja.
    9. Ticketing machine di semua stasiun
    10. Bunyi beep atau voice over otomatis saat pintu terbuka dan tertutup, sejauh ini CL masih manual 😀

    1. iihh, super lengkap bangettt. aku emang concern di transport bahkan hampir kuliah transport tapi takut…. lama lulusnya, hahahahahhh..
      tapi sebenarnya sih menarik juga dicoba belajar tentang manajemen transportasi dengan serius.

      1. Aku dulu mau masuk Tata Kota UGM tapi nggak ketrima hahaha.

        Biasanya, orang yang suka urban exploring memang lebih memperhatikan dan mengamati transportasi publik. Karena dengan transportasi itulah kita menjelajah, bahkan transportasi menjadi bagian yang kita jelajahi dalam satu kota.

  6. Halo, kak indri.

    Bulan september kemaren saya sempat 2 minggu di jakarta. Hampir semua alat transportasi saya gunakan, dan yah, jakarta memang selalu amazed dengan rute2 angkutannya hehe.

    Yang paling berkesan adalah saat mau ke semper dari depan Mall Artha Gading. Seharusnya saya menyeberang lalu naik metromini 03 (kalo gak salah 😁). Tapi karena gak menyeberang dan langsung naik metromininya ya udah deh muter2 dulu termasuk ngelewatin senen dan segala rupanya, dan baru nyadar klo saya lewat depan Artha Gading lagi wkwkwk.

    Transportasi yang paling simpel bagi saya adalah transjakarta. Terima kasih untuk pemerintah jkt untuk ini.

    But, it was nice. Jakarta selalu jadi tempat yang adventurable(apa ini?haha) untuk dijelajahi. Demikian pendapat saya yang anak daerah ini. 😁

    Semangat menulis kak in..

    1. Hai Dessyudi, berasa nggak sih kalau Transjakarta itu lama ditungguinnya daripada metromini yang selalu lewat? Seperti yang ideal entah kapan datang dan yang serampangan gampang datang. Welcome to Jakarta. Main lagi yaa..

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.