sesudah 10 tahun, lalu : kota atau desa?

seruas jalan di jakarta-pusat
seruas jalan di jakarta-pusat

“i think of all the thousands of billions of steps and missteps and chances and coincidences that have brought me here. Brought you here, and it feels like the biggest miracle in the world.”
― Lauren Oliver, Before I Fall

Beberapa tahun terakhir ini aku merasa gundah atas keprofesian arsitek-ku ini. Setelah 10 tahun menimba profesi sebagai arsitek, aku sampai pada titik, now what? Apa lagi yang harus aku lakukan?
Mungkin agak terlalu sombong kalau melihat aku, baru 10 tahun saja sudah gundah, apalagi bos-bosku yang sudah puluhan tahun jadi arsitek. Gundahku ini bukan karena aku tak ingin lagi menjadi arsitek, namun lebih karena aku terlalu mencintai pekerjaan ini. Aku menikmati menorehkan setiap garis menjadi sketsa, mengutik-utik susunan ruang dan sirkulasi, negosiasi dengan klien, memilih material, bahkan begadang sampai larut malam untuk memenuhi janji pada klien. Then what? Selalu itu yang jadi pertanyaanku. Apakah memang menjadi arsitek itu melulu hanya mendesain bangunan yang bagus-bagus untuk memuaskan kebutuhan klien? Apakah sebenarnya ada klien-klien ‘bayangan’ yang sebenarnya membutuhkan perhatian?

Sesudah menjadi arsitek yang merupakan cita-cita masa kecilku, lalu aku bercita-cita menjadi Urban Planner, Perencana Kota. Namun dengan maraknya praktek suap dan politisasi proyek, hal itu kukubur. Bolak-balik ke Dinas Tata Kota dan mengurus IMB dengan suap di sana sini, penataan Jakarta yang cenderung amburadul dan hanya menguntungkan penanam modal, penataan kota-kota lain di luar Jakarta yang malah mengkiblatkan diri pada Jakarta, membuat aku berpikir, ngapain ya kerjaan Urban Planner itu? Kenapa semua harus berkiblat ke Jakarta? Kenapa daerah tidak membangun sesuai apa yang mereka butuhkan, sesuai ciri khas masing-masing desa sehingga semakin unik dan kayalah Indonesia. Misalnya saja, semua kota kecil butuh pasar, namun tidak semua butuh ruko yang menjamur di mana-mana. Kenapa tidak dibiarkan koridor-koridor bisnis kota yang cantik itu dibiarkan, alih-alih mengubahnya menjadi pusat perbelanjaan besar? Kenapa semakin banyak daerah yang dibangun menjulang sehingga tingkat kepadatannya semakin tinggi?

petani bawang di brebes
petani bawang di brebes

Aku sering sekali berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk ruang-ruang hidup yang layak yang seharusnya dibutuhkan oleh puluhan juta penduduk Indonesia. Sering aku berpikir, maukah investor-investor pusat perbelanjaan yang menjamur di meja konsultan-konsultan arsitektur ini memberikan sedikit saja dananya untuk membangun budaya bangsa, membangun sekolah, pusat kebudayaan, perpustakaan, lapangan olahraga, rumah susun, yang difungsikan memang sebagai prasyarat kehidupan. Aku rasa 10% dari pembangunan pusat perbelanjaan bisa membangun/memperbaiki 5-10 SD di daerah, membiayai guru-guru untuk diberikan pengetahuan yang memadai, mendirikan balai-balai latihan pertanian di desa, sehingga bisa menjadi modal anak-anak Indonesia untuk membuat daerahnya menjadi lebih baik, tidak hanya melulu meluberi kota dengan pengetahuan seadanya.

Lalu aku juga ingin menjadi Rural Planner. Aku tak tahu, apakah ada profesi menjadi penata wilayah pedesaan sehingga menjadi lebih baik tanpa membuatnya membutuhkan berubah menjadi kota. Selain pendidikan, latihan kerja, daerah desa juga diharapkan bisa melestarikan lahan-lahan pertanian sebagai penyokong kota, sebagai tameng terakhir cagar budaya asli yang perlahan-lahan menghilang akibat pengaruh kota, menjaga kearifan lokalnya sebagai upaya pelestarian lingkungannya. Juga diterapkan teknologi tepat lingkungan yang bisa dimanfaatkan penduduk untuk bertani, sehingga tidak memerlukan bahan-bahan anorganik yang harus disuplai dari luar desa. Jaringan transportasi yang menghubungkan desa dengan kota, namun tidak membuat penduduk desa melarikan diri ke kota-kota terdekat. Desa itu sebenarnya kaya akan hasil buminya yang dipakai untuk menyuplai kota-kota di sekitarnya. Bisa kan kalau desa itu menghidupi dirinya dengan kekhasannya sendiri membuat ia unik dengan olahan hasil buminya yang membuat ia tetap menarik sebagai desa, walaupun hanya sebagai singgahan, atau bahkan sebagai alternatif tempat tinggal orang-orang yang menginginkan kesederhanaan, bukan hanya terpaku pada gemerlap industrialisasi.

perkebunan-pertanian di bandung utara
perkebunan-pertanian di bandung utara

Mendengar ada beberapa desa di Jawa, yang ditinggalkan kaum mudanya merantau ke kota, sehingga yang tertinggal hanya orang-orang tua saja. Kalau sudah begitu, akan mudah pelaku industri yang mengambil keuntungan tak seharusnya dari orang-orang tua ini, dengan menukar tanah pertanian menjadi bangunan industri. Orang tua pun melepas tanahnya karena sudah tak ada lagi yang menggarap. Sedih mendengar kabar ini. Seandainya tinggal di desa cukup menyenangkan (baca: terfasilitasi dan ada pengembangan pekerjaan yang jelas), tentu mereka akan lebih bersemangat untuk membangun desanya. Bagaimanapun juga, kita butuh desa untuk menyokong kehidupan kota. Dari mana semua bahan makanan itu berasal jika tidak dari desa? Kita punya desa bawang di daerah Brebes, desa kentang di dataran tinggi Dieng, desa jagung di daerah Nganjuk, desa jati di Gunung Kidul, semua dengan kekhasannya masing-masing. Apabila diolah dan dikemas dengan menarik, mudah-mudahan akan lebih banyak orang kembali ke desa.

Ingin rasanya berjalan ke desa, tidak hanya silau oleh keglamoran kota. Lihatlah sisi lain dari kehidupan, jangan hanya menjadi turis semata. Ada banyak kearifan yang bisa dipetik di sana. Jangan malu dianggap ndeso dan kampungan. Belajar sederhana untuk penghidupan yang lebih baik.

new year sunshine. riung bandung permai. 1 januari 2013. 08:38

15 thoughts on “sesudah 10 tahun, lalu : kota atau desa?

  1. ok banget komentnya…kota-kota di indonesia mengalami kecenderungan perkembangan yang sporadis tanpa ada satu perencanaan yang berkesinambungan (suistainable), akibatnya banyak wilayah perdesaan yang tercabik oleh masuknya pengaruh perkotaan..kita perlu mengantisipasi perkembangan kota yang demikian pesat dengan satu konsep suistainable development .. konsep ini sebenarnya sudah lama ada di indonesia tapi mengapa kita sangat kesulitan untuk menerapkannya????

    1. thanks banget komennya.. 🙂 jadi gelisah sesudah melakukan banyak perjalanan ke kota-kota kecil dan desa yang makin ditinggalkan penduduknya karena tidak dibuat menarik. semestinya ada simbiosis mutualisme antara desa kota. jika sudah tidak ada desa, ke mana kita harus beristirahat dari hiruk pikuk? kalau tidak ada kota, ke mana desa menjual hasil buminya? karena itu terus dipertahankan supaya masing-masing kebutuhan bisa terkendali.

      1. Salam kenal kak Indri, saya ‘ars UI 08’… :b
        …membaca tulisan-tulisan kak Indri membuat saya teringat kembali akan mata kuliah ‘Lifestyle & Interior Design’ yang pernah saya ikuti pada semester 5 (tahun 2010). Salah satu bab yang dibahas ialah mengenai “gaya hidup mall”. Dari sini saya mulai mengkritisi mengapa bisa menjamur gaya hidup demikian… Apakah sesuai dengan gaya hidup ‘wong Indonesia…

        Belum lama ini selepas lulus wisuda saya juga pernah melakukan perjalanan keliling sekitar kota Jakarta. Dari mulai kawasan BSD, Lippo Karawaci, Tanggerang dan Bekasi, ternyata memang semuanya sudah dijamuri oleh mal-mal besar. Saya jadi bertanya-tanya apakah gaya hidup seperti ini yang akan terus meluas di masa depan kota Jakarta, kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan amat jauh dari nuansa ruang terbuka alam pedesaan…

      2. mengerikan sekali ya, melihat kota disesaki mal yang hanya diisi oleh kurang dari 10% warganya.
        di Depok setiap ada satu mal baru buka, ada juga mal yang tutup. mal bukan lagi kebutuhan penggunanya, namun hanya kepentingan investornya.

  2. menarik. rural planner, baru kali ini mendengar istilahnya. kalah dengan gegap gempita urban planner.
    gambar terakhir jika tidak salah adalah Warung Daweung 🙂

    1. ini di daerah cimenyan, kira2 20 menit naik ojek di atas Cicaheum, irawan. entah ada warung daweung di situ, tapi ada tempat menarik bernama Mako.
      menata dan melestarikan ruang hidup di desa juga menarik lho..

      1. Yang benar adalah Moko. Nama sebuah bukit yang menjadi lokasi Warung Daweung. Antenna dan rumah kayu di kejauhan menjadi ‘landmark’.

      2. oke juga tu kalau konsep rural planning diterapkan di semua desa di Indonesia….seperti kata mbak indri, menata dan melestarikan ruang hidup di desa…OK..OK…OK

  3. kecenderungan yang terjadi saat ini adalah sebagian besar masyarakat Indonesia telah terjangkit “money centris”. Apa-apa selalu didasarkan oleh uang sehingga yang terjadi adalah kesemrawutan di segala bidang. Salah satunya ada penataan kota dan desa.

    1. bahkan di pedalaman sana. kebijakan yang diambil seringkali berdasarkan uang, bukan kebutuhan masyarakat.
      adu besar kucuran dana APBD, padahal seharusnya meningkatkan potensi diri dengan PAD.

  4. Saya di sorong, papua barat.. memperhatikan pula perkembangan kota saya yang amburadul. Pembangunan ruko disana disini, sampai kota ini jadi rimba ruko. Sementara kami belum punya perpustakaan, apalagi museum. Saya kerap kali bertanya, kemana para perencana kota ini?apa ruang kota hanya harus diisi mall dan ruko? Pemerintahnya ngapain aja? Hehehe… semua pertanyaannya hanya dipendam sendiri… anyway, mbak indri tulisan2nya menginspirasi. Tetap semangat ngarsitek..

    1. Halo, terima kasih Dessy. Senang sekali kalau tulisannya menginspirasi. Saya juga agak kecewa dengan perencana2 ini karena kebutuhan kualitas berpikir selalu ketutup dengan kebutuhan ekonomi.
      Duh, pengen ke Sorong.. trus ke R4 😉

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.