Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur by Avianti Armand
My rating: 5 of 5 stars
Kita telah lama jadi penghuni “waktu”.
Sementara rumah telah menjelma menjadi sekadar “ruang transit”.
Arsitektur itu bicara ruang, bukan sekadar bangunan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat berkegiatan manusia dan ruang yang (sayangnya) hanya untuk dipamerkan. Pertama ia menyinggung soal rumah, yang tak lagi sebagai ruang bertinggal, namun hanya sebagai tempat singgah di malam hari. Membuatku bertanya-tanya, jadi mana yang bisa kita sebut sebagai tempat bertinggal itu apabila lebih dari 50% hari dihabiskan untuk tidak berada di situ? Penduduk manakah aku bila 15 jam hidupku berada di Jakarta, dan sisanya berada di Depok, itu pun dalam keadaan tidak sadar alias tidur. Tidak ada kontribusi apa pun untuk ruang bertinggalku selain sebagai tempat domisili belaka sebagai syarat administratif seorang warga negara. Mungkin pada akhirnya yang kita tempati adalah ruang waktu, dan alamat pasti di mana kita adalah alamat e-mail.
Sebulan kemudian, si ibu akhirnya menyerah dan berhenti memasak. Dapur bersih itu tinggal sebagai tempat sarapan dan minum kopi atau the saja. Sejak itu, kembali “dapur kotor” yang sehari dua kali beroperasi menyuplai makanan untuk seluruh penghuni rumah.
Arsitektur adalah fungsi, yang menciptakan ruang tempat berkegiatan, bukan sekadar ruang untuk dipamerkan. Manusia dengan banyak keinginan, sering menciptakan ruang-ruang permanen untuk memenuhi keinginannya yang (sayangnya) hanya sementara. Ingin dapur yang lega mewah dan nyaman, sementara si empunya tidak suka memasak. Ingin ruang fitness tak pernah berolah raga. Ingin kolam renang namun tak juga dicemplungi. Ingin taman yang luas namun tak juga disambangi (mungkin terkadang untuk dipandangi). Semua hanya demi hasrat berpamer belaka demi gengsi.
Kembali ke meja kerja kita, di studio yang sejuk dan lengang. Kita, para arsitek, biasanya lebih disibukkan dengan urusan luasan ruang, anggaran biaya, akrobatik geometris, tema desain yang seksi, material, style, dan sudut-sudut asyik untuk keperluan publikasi nanti. Air biasanya hadir dalam arsitektur sebagai sampiran; utilitas pendukung arsitektur atau unsur estetis yang ditambahkan kemudian. Kita sering tak peduli bila bangunan tak menyisakan area untuk resapan, limbah rumah itu langsung dibuang ke saluran kota, atau bahkan bila sumber air bersih untuk satu rumah yang kita desain itu berasal dari penggalian sumur artesis yang tak legal.
Sering lupa bahwa tugas arsitek bukan hanya mewujudkan ruang-ruang sesuai kebutuhan, namun juga menjaga keseimbangan alam sehingga walau bangunan ini berdiri, kondisi alam seminimal mungkin diubah karena kepentingan bangunan. Ruang hijau diciptakan bukan hanya penghias pandang, namun untuk meresapkan air. Bukan artifisial hijau dengan basement di bawahnya. Paving block dengan pasir yang menyerap air, bukan baseplate beton yang tidak tembus air. Karena, arsiteklah yang dituduh sebagai penutup bumi nomor satu, yang mengubah alam menjadi lingkungan buatan yang mereka mau, dari berlebihan air, sampai menjadi kekurangan air.
Kita tak lagi mendambakan sesuatu karena kita membutuhkannya, melainkan karena keinginan-keinginan yang terus menerus didefinisi oleh imaji-imaji yang dikomersialkan, yang pada akhirnya membuat kita berjarak dengan diri kita sendiri.
Kumpulan tulisan ini sangat menarik untuk direnungi sebagai eksplorasi ruang arsitektur. Dari proses berpikir sampai penganalisaan suatu karya di mana arsitektur itu hidup sebagai penanda masa di mana manusia pernah berkarya.
View all my reviews on goodreads
read on July 2012. edited review on April 2013.