Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang neg’ri di awan
Di mana kedamaian menjadi istanahnya
Dan kini tengah kau bawa
Aku menuju kesanaNegeri di Awan : Katon Bagaskara
Perlahan, matahari mulai menampakkan cahayanya dari lembayung keunguan, hingga jingga kemerahan. Menggandeng si gadis kecil di pendakian pertamanya, kuletakkan kamera, ingin melihat keindahan negeri di awan ini dengan mata, bukan intipan lensa. Matahari seperti berada di antara Gunung Sindoro dan Gunung Merbabu perlahan naik dan memulai tugasnya menyinari buwana.
Perjalanan ini berawal dari sebuah ide menghabiskan akhir tahun dengan road trip ke Jawa Tengah. Tidak sulit mengumpulkan teman-teman untuk diajak menikmati suasana di Dieng yang menjadi latar film anak-anak “Ambilkan Bulan” itu. Juga sebuah film dokumenter yang aku lupa judulnya, berlatar desa ini yang kutonton di Goethe Institut beberapa bulan silam pun membuatku ingin bertandang dan melihat kehidupan petani kentang di ketinggian 2000an mdpl tersebut. Tetapi dengan teman-teman yang tersebar di pulau Jawa, yang mau ikut dari Jakarta akhirnya hanya kami bertiga, aku, Felicia, dan Novi (teman Feli). Dengan si gadis kecilku Bintang yang baru berusia 6 tahun dan sopir, berangkatlah kami dari Depok menuju Wonosobo yang di sana sudah janjian dengan Rhea dari Surabaya, Erry dari Semarang dan Sansan dari Jogja.
Perkiraan waktu kami salah rupanya karena ketika kami berangkat jam 12 malam ternyata macet parah di Cikampek yang mengakibatkan kami baru sampai Cirebon jam 7 pagi, sementara itu Erry sudah sampai di Wonosobo. Setelah perjalanan dengan beberapa titik macet yang mengular di Purwokerto, kami tiba di Wonosobo jam 2 siang. Kasihan juga melihat Erry, Rhea dan Sansan yang sudah nongkrong di alun-alun Wonosobo sejak pagi.
Ketika naik ke dataran tinggi Dieng, hujan mulai turun dan lama kelamaan menderas sampai jarak pandang pendek. Untunglah Eric supir kami cukup lihai mengemudikan kendaraannya sampai kami sampai di atas. Perjalanan dari alun-alun Wonosobo sampai Desa Dieng Kulon kurang lebih selama satu jam. Jalannya relatif menanjak terus. Jika naik kendaraan umum, ada bis kecil dari terminal Wonosobo sampai dataran tinggi Dieng ke desa-desa yang banyak homestay-nya.
Penginapan kami terletak di posisi yang cukup strategis, dekat Kompleks Candi Arjuna. Masih hujan cukup deras ketika kami sampai di homestay yang dihuni oleh sepasang suami istri berusia setengah baya. Ada tiga kamar di rumah itu yang kami pakai semua, juga sebuah ruang keluarga dengan televisi sebagai ruang berkumpul. Ah, televisi tidak pernah penting bagi kami yang lebih menyukai melihat alam apa adanya dan rehat dari segala carut marut di kotak kaca itu. Usai unpacking di homestay, Eric, supir kami pamit mengunjungi saudaranya di Purworejo, kira-kira 2 jam dari situ. Jadi akulah yang berencana akan menyetir keliling-keliling dataran tinggi yang cantik itu.
Udara dingin dan hujan membuat kami hanya bermalas-malasan di homestay saja. Rencana sore itu ke Candi Arjuna gagal karena hujan membuat tidak nyaman berjalan kaki. Tapi kami tak menyesali hujan ini. Kalau tidak hujan, kapan lagi merasakan dingin yang sedemikian menggigit di pukul lima sore? Water heater yang terpasang di dua kamar mandi di homestay itu pun tak berhasil menarik kami untuk mandi. Semua ingin santai, dalam waktu yang terasa berjalan lambat. Benar seperti kata Alan Lightman di Mimpi-mimpi Einstein, waktu berjalan lebih lambat di dataran yang lebih tinggi. Karena itu orang berlomba-lomba membangun rumah di ketinggian.
Usai melewati rembang petang, cuaca berangsur cerah. Aku menyetir mobil menuju warung mie ongklok, makanan khas Dieng yang wajib dicoba. Harganya hanya Rp 6000,- seporsi ditambah dua tusuk sate sapi seharga Rp 2000,-. Kuah kental kari daging itu membuat mie ini terasa lezat ditambah irisan cabe rawit yang harus berhati-hati kalau tidak terkremus. Aku mengintip dapur ketika mie ini disiapkan. Rupanya, mereka masih memasak mie ini dengan tungku dan panci tanah liat. Pantas saja harum tanah terasa di kelezatan kuahnya. Sayang, hanya Novi yang tidak menyukai kuah ini dan memilih nasi goreng sebagai menunya. Seporsi mie ini rasanya tidak membuat kenyang sehingga aku memakan beberapa gorengan di meja. Segelas seduhan bubuk purwaceng hangat menjadi minuman penghangat. Menurut penjualnya, purwaceng hanya bisa ditemui di Dieng. Akar-akaran ini diyakini bisa menambah daya tahan tubuh.
Sempat mampir ke minimarket terdekat, aku mengamati masih terdengar suara tenggerek bersahutan, bau rumput bekas tercium hujan, dan suasana desa yang tenang. Masih ada beberapa pelancong yang berlalu lalang membeli makanan, namun secara umum, desa itu mulai terdengar sepi padahal belum jam 8 malam. Entah karena sesudah hujan sehingga orang malas keluar atau memang tak ada hiburan lain di sekitar itu. Bagus juga, karena sebagian besar yang datang ke sini memang mencari ketenangan. Setelah kembali ke homestay dengan perut hangat, kami sempat mengobrol-ngobrol sebentar sebelum akhirnya pergi tidur dalam sweater dan kaus kaki berselimut tebal.
Keesokan dini hari jam 4 pagi, kami dijemput oleh seorang pemandu perempuan yang akan mengantarkan kami berkeliling. Jalanan di luar masih gelap pekat dan sedikit gerimis tipis ketika aku mengemudi menuju kaki Gunung Sikunir, tempat kami berencana melihat matahari terbit pagi itu. Jaraknya sekitar 3-4 km berkendara dari Dieng Kulon. Untunglah mbak Mus, pemandu kami, sangat hafal jalan-jalan menuju starting point. Aspal yang dilalui cukup mulus, dan naik turun, hanya ada beberapa lubang di beberapa tempat. Kami melalui beberapa desa yang masih senyap. Sampai di start point sudah cukup ramai mobil terparkir, sehingga aku parkir di tanah lapang di samping parkiran mobil tersebut.
Beramai-ramai kami menapaki jalan setapak menuju puncak Sikunir. Perkiraan waktunya sekitar 30 menit, kata mbak Mus yang mengunjukkan jalan. Tidak sulit, hanya menapaki jalan sampai atas yang sudah diperkeras dengan bebatuan. Sesekali perlu berpegangan dengan kalau takut tergelincir. Aku melambai pada Bintang yang sudah beberapa meter di depanku digandeng mbak Mus. Ia kuat dan tidak mengeluh lelah sedikit pun. Sepertinya hobi bersepeda dan lari membuatnya memiliki fisik yang kuat. Felicia dan Sansan memimpin di depan, sementara Rhea, Erry dan Novi berjalan santai di belakang.
Sesampai di puncak sudah ramai sekali orang. Rupanya banyak sekali yang bermalam di sekitar puncak dengan tenda-tenda berwarna-warni dan sudah memenuhi bagian puncak yang tidak terlalu luas itu. Aku dan Bintang mengambil tempat agak atas, yang sudah ditinggalkan orang yang mulai memenuhi tepian. Pemandangan di sini cukup bagus. Ada selonjor batang kayu yang dijadikan bangku. Aku mengeset kamera dan menikmati berlangsungnya matahari terbit.
Namun apa yang ada di alam memang lebih indah dilihat dengan mata kepala sendiri. Usai memotret sebentar, aku memilih untuk menikmati bagaimana bola jingga itu beranjak dari bias cahaya yang mengemaskan awan yang bertaburan di bawah pegunungan, hingga ia lepas ke angkasa. Gumpalan awan tebal masih menghampar di bawah memanggil-manggil untuk dilompati seperti kasur empuk yang ditinggalkan melawan kantuk pagi itu.

Ternyata Sansan dan Felly tidak berada di puncak yang sama dengan kami. Di persimpangan sebelum puncak Sikunir, mereka berbelok ke kanan dan menaiki puncak yang satunya lagi. Kata mbak Mus dari puncak yang satunya ini bisa melihat danau di bawah. Aku, Rhea, Erry, dan Bintang menyusul Sansan dan Felly ke puncak yang ternyata lebih tinggi dari posisi kami tadi. Bintang dengan lincah dan sigap melewati jalan setapak menanjak itu dengan badannya yang masih enteng. Sesampai di atas ternyata ada satu saung dan bukaan cukup besar untuk menikmati pemandangan sekitar. Ada beberapa tenda dome yang terpasang di situ.


Kemudian kami melanjutkan berjalan ke lembah menuju titik bisa melihat danau Cebong di bawah. Ketika kami tiba, ternyata danau yang jauh di bawah sana berada tepat di samping aku memarkir mobil. Sebagian perairan danau itu masih tertutup naungan bayangan gunung Sikunir. Di tepi danau sebelah sana, tampak satu desa dengan kontur bertingkat-tingkat dengan sebuah masjid yang berdiri megah di tepian danau. Area perbukitan yang mengelilingi desa penuh dengan lahan pertanian. Menurut mbak Mus dulu sekitar Dieng masih banyak hutan-hutan, namun sejak permintaan untuk pertanian meningkat, terutama kentang, banyak hutan yang dibuka menjadi lahan. Kentang Dieng memang salah satu yang terbaik karena keawetan dan kerenyahannya.

Usai mengambil beberapa gambar dan duduk-duduk di atas sana, kami turun. Memang tidak bisa berlama-lama di situ karena spot untuk melihat danau cukup sempit, hanya sekitar 5-6 m2 saja sehingga harus bergantian dengan penikmat keindahan yang lain. Menuruni jalan setapak dan tangga-tangga ini pun tak bisa terburu-buru agar tidak cedera. Kaki tidak boleh didaratkan pada ujung, harus pada tumit.




Karena kami sangat lapar usai mendaki gunung, kami kembali ke desa Dieng Kulon untuk sarapan di sebuah warung nasi rames. Aku memesan nasi goreng dan yang lain memesan beberapa ramesan. Rupanya Bintang melihat penjual kentang goreng sehingga ia merengek meminta. Benar saja, kentang gorengnya empuk namun renyah. Khas asli Dieng sini. Namun sayangnya, menurut mbak Mus, di sini tak ada pasar yang menjual kentang-kentang itu. Semua hasil bumi kentang harus dijual borongan dalam truk. Kentang mentah hanya bisa dibeli dalam kiloan kecil di area wisata. “Nanti di depan Candi Arjuna ada,” tukasnya.
Ada empat tempat wisata di Dieng yang bisa dimasuki dengan membayar tiket sebesar Rp. 12.000. Harga tersebut untuk masuk Telaga Warna, Dieng Plateu Theater, Kawah Sikidang, dan Candi Arjuna, yang terletak tidak terlalu jauh di area dataran tinggi tersebut.
Telaga Warna seluas 373,85 hektar (sumber : Aci Detik) ini berwarna hijau toska karena banyak mengandung kapur dan belerang. Di beberapa tempat airnya terlihat berasap. Kami berjalan mengelilingi danau dari berbagai arah. Telaga ini dikelilingi hutan wisata yang di dalamnya terdapat gua-gua pendek. Sayang sekali goa-goa tersebut tertutup untuk umum dengan diteralis besi di pintu masuknya. Sepertinya goa-goa ini saling berhubungan. Terdapat patung di beberapa pintu goa. Pengunjung di hari Minggu itu sangat ramai, bahkan beberapa rombongan dengan bis.




Puas memandang danau, kami mendaki ratusan anak tangga menuju Dieng Plateu Theatre. Sebenarnya ada pilihan untuk keluar dari kawasan danau dan naik mobil ke teater, namun rasanya lebih enak melangkahkan kaki saja sambil naik dan melihat pemandangan telaga warna sedikit demi sedikit sampai puncak. Beberapa orang terengah-engah, namun tetap bersemangat melanjutkan perjalanan.

Kelelahan menaiki anak tangga ini terbayar di dalam gedung yang menyajikan film tentang Dieng ini. Informasi yang ingin didapat dirangkum dengan jelas. Film ini juga menceritakan tragedi kawah Sinila tahun 1979, ketika terjadi banyak gempa di Dieng yang mengakibatkan kawah yang mengeluarkan gas beracun ke udara. Penduduk sekitar kawah tersebut yang berlarian keluar rumah karena ada gempa, malah mati lemas karena menghisap gas beracun. Kawah Sinila terdapat sekitar Dieng Wetan, sekitar 30 km Dieng Kulon, dan selalu dalam pengawasan ketat.
Tinggal di kawasan vulkanik memang harus selalu waspada. Gempa mungkin terjadi karena aktivitas di dalam perut bumi, juga kawah-kawah seperti sumbat gas yang menggeliat melepaskan energi dari perut bumi yang sesak. Di akhir tahun yang kami kunjungi cuaca sudah dingin menggigit ditambah hujan deras di sore hari. Seandainya kami datang di bulan Juli-Agustus, ada kemungkinan bertemu dengan ’embun upas’ yang membuat banyak tanaman mati kedingingn, karena embun itu beku di suhu 0 derajat Celcius menyelimuti dedaunan. Ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut membuat iklim lokalnya begitu dingin, namun pemandangan indah dan keramahan warganya yang sederhana bisa membuat lari dari hiruk pikuk kota.
Dieng memang bukan puncak gunung yang sepi yang lebih banyak sekali pemandangan indahnya. Namun pemandangan indahnya cukup banyak! Menikmati pemandangan dengan akomodasi yang nyaman, infrastruktur jalan yang bagus, dan makanan yang enak di tengah cuaca dingin, menjadikan tempat ini khas. Juga di sini bisa ditemui kehidupan di dataran tinggi, bagaimana penduduk bertinggal sehari-hari dengan kehidupan sebagai petani alih-alih hanya pelaku wisata saja. Semoga lokasinya di jantung pulau Jawa membuat pencapaiannya agak jauh dari ibukota propinsi Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta, bisa membuatnya cukup ‘aman’ dari serbuan wisatawan yang terlampau membludak. Semoga.
perjalanan 22-23 Desember 2012
rumahbintang. 04.05.2013 : 14:33
cerita selanjutnya : mengaut kabut dieng #2 : di antara kawah sikidang dan candi arjuna
gak beli carica buat oleh2? atau keripik kentang…? yg lezatnya melebihi chitato… #ngiler
kripik kentangnya emang juaraaa banget, jo! kentang gorengnya juga.
beli carica sih, tapi bahasanku kan bukan oleh2 :p
iyo mek recall memory tok pas nang kono Ndri…
cieee, memori opo to, cakk.. :p
memori carica lah… mosok memori daun pisang.. ndangdut lakan…
memori caca marica heyheyy… :p
Mantab….enggak ketemu anak berambut ‘gembel’ ? 🙂
anak berambut ‘rasta’? 😉 ada di next story..
amboi indahnya..
banget!
nanti difilmkan aja cerita perjalanannya..heheheee
waduuhh, setelah hampir semua minta ini dibukukan, malah ada yang minta difilmkan? hehee 😀
[…] mengaut kabut dieng #1 : menuju negeri di awan […]
Hai.. salam kenal 😀
Numpang share… ikutanblog competition yuk.. seputar traveling dan menangkan total hadiah 12 juta 😀 Kalau minat nih, selengkapnya bisa dilihat di bit.ly/11IwgXv
Thanks
[…] berjalan-jalan keliling Jawa Timur berempat, nonton konser Sting, dan menghabiskan akhir tahun ke Dieng. Walaupun pertemuan kami belum sampai 7 kali, aku tak canggung lagi mengajaknya mencoba tiket murah […]