jatuh cinta kepada hijau

Suatu pagi di tengah liburanku di Jogja, aku memilih untuk bersepeda berkeliling daerah tempatku menginap, alih-alih menyusuri kota yang makin ramai. Udara pagi sejuk sisa hujan semalam. Lokasi ini tidak terlalu jauh dari kota, hanya beberapa ratus meter dari ringroad. Banyak hal-hal yang sudah lama tidak kulihat di kota melintas, dan membuatku berpikir banyak. Alangkah hidupnya tempat ini.

sawah
Aku mulai dari meninggalkan kompleks perumahan menemukan persawahan luas membentang. Di sekitar sawah itu selalu terdapat pohon pisang, sementara tepian jalan diteduhi dengan pohon lamtoro. Pelan kukayuh sepedaku, sambil menghirup udara yang masih segar walaupun waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Sawah-sawah yang baru tumbuh beberapa bulan itu seakan menyapa, “Hai, sudah lama kami tidak menyapamu. Ayo turun dan bermain dengan kami.”

sawah di godean, sleman.
sawah di godean, sleman.

Sudah lama aku tidak melihat sawah kecuali dalam perjalanan ke luar kota. Di Jakarta sudah tidak ada sawah lagi yang ditemukan. Daerah penyangganya seperti Bekasi dan Karawang, yang dulu dikenal sebagai lumbung padi, sudah berganti wujud sebagai ladang industri, yang memerah jengkal lahannya menjadi berpenghasilan berkali lipat yang masuk kantong pengusaha.

Aku memotret sepotong jalan dengan sepeda yang bersandar pada sebatang pohon. Lalu aku posting di media sosial dan langsung mendapatkan banyak tanggapan.
‘Di mana ini? Kalau ada developer lihat lahan ini pasti mau dijadikan perumahan.’

Ugh, sayang sekali kalau pemandangan indah ini harus ditukar dengan tempat tinggal dan kehilangan kesegaran yang bisa dinikmati pagi-pagi. Tidak hanya itu masalahnya, terkadang pengembang hanya memikirkan keuntungan dengan membuat terlalu banyak rumah dengan sedikit ruang hijau, sehingga tangkapan air yang seharusnya diserap oleh tanah sawah menjadi genangan di lahan yang berubah fungsi itu.

Setiap ada pembukaan lahan untuk dijadikan perumahan, selalu ada dampak lingkungan yang dikorbankan. Jalanan yang dibeton, bangunan yang menutup tapak berlebihan, bisa menutup akses air ke dalam tanah. Selain itu, terkadang pengembang tidak membuat drainase yang cukup baik hingga sungai dalam, dan mengakibatkan timbul genangan di saluran sambungan yang dekat. Akibatnya bahaya banjir pun menerpa, keseimbangan lingkungan terganggu.

desa
Aku melalui desa-desa dengan halaman luas yang mengingatkanku pada kampung halaman ayahku. Aneka pohon buah tumbuh di sudut-sudut pagar yang menunggu musim tiba untuk dinikmati hasilnya. Bergantian, tak serentak sehingga pencicip dapat mencoba berbagai rasa sepanjang tahun. Pepohonan ini menciptakan keteduhan di ruang-ruang lapang tempat bermain anak di sore hari. Tak perlu tanaman hias mahal untuk pajangan di depan rumah, tanam sesuatu yang berguna dan dapat dinikmati atau pun mengobati.

pelataran di desa babung, gunungkidul.
pelataran di desa babung, gunungkidul.

Setiap melewati desa, yang paling terasa adalah iklim lokalnya yang sejuk dan teduh karena banyaknya varietas pepohonan. Udara yang terkena panas sinar matahari disaring dan dilunakkan menjadi nyaman di badan kita. Satu waktu dari jalan raya berbelok melewati satu gerbang desa, suasana berangsur mendingin, mata yang lelah memandang aspal bisa beristirahat lagi. Tak hanya pepohonan, deretan kembang sepatu, asoka atau melati yang menggerumbul di atas tanah berpasir bisa mengembalikan kelelahan di jalan.

Desa menjadi salah satu parameter iklim lokal yang dicapai oleh sekelilingnya yang panas. Coba ingat-ingat, berapa kamu setel suhu pendingin udaramu saat ini? Pasti hampir mendekati dengan suhu setiap hari di desa-desa dengan pepohonan yang lebat melingkupi, dengan jalan tanah yang terkadang becek kala hujan. Belum lagi suasana guyub yang melingkupi antar tetangganya, sesuatu yang ingin dicapai oleh pemukiman modern dengan membuat ‘ruang publik untuk bersosialisasi’. Rumah-rumah tak berpagar atau berpagar rendah, sekarang pun banyak ditiru di kota dan berharga lebih mahal. Padahal, hal-hal demikian begitu alami dan sederhana di desa.

hutan
Kukayuh sepeda lebih jauh lagi. Aku tak peduli persimpangan atau tersesat. Aku bahkan tak ingat alamat tempatku harus kembali nanti. Aku hanya melihat GPS dan memastikan jalurku masih jauh dari jalan raya. Keluar dari desa, aku bersepeda di bawah kanopi pepohonan. Ujung atas pohon di kiri dan di kanan menyatu menaungi atas jalananku. Cahaya matahari menyelusup dari sela-sela dedaunan. Ada suara cericit burung yang bercanda di antara ranting-ranting tinggi. Awan dan biru langit mengintip dari celah-celah pohon yang terbuka.

koridor desa babung, gunungkidul
koridor desa babung, gunungkidul

Aku teringat kota Surabaya. Kota yang pernah kutinggali selama lima tahun ini berubah dari panas dan gersang sehingga memaksaku untuk meninggalkannya ke arah barat menjadi sebuah kota taman dengan banyak pepohonan menaungi di mana-mana. Walaupun tidak di keseluruhan sudut kota, namun barisan batang-batang hijau berukuran besar ini memberikan warna yang lebih lunak terhadap kota yang menyengat ini. Dedaunan menaungi laluan mobil di bawahnya, warna hijau mendominasi di mana-mana.

Menciptakan ruang teduh dalam kota tak terputus, itulah kunci kota taman tropis. Taman menjadi hal penting dan ditempatkan sebagai alat jual investasi kota, sehingga mau tidak mau semua pihak terlibat, pemerintah, pengembang, perencana, dan warga. Ada banyak taman baru yang dibangun di Surabaya sebagai ruang hutan kota penyeimbang untuk melepaskan penat. Ada banyak ruang yang ditambah untuk kualitas udara yang lebih baik. Ada usaha untuk membuat lingkungan dipenuhi oleh sesuatu yang hidup, bukan hanya bangunan kotak-kotak benda mati demi prestise.

Mengingat Singapura? Itu kota taman tropis terbaik di dunia, bebas banjir, bebas polusi udara, warga pun sehat. Misinya sederhana : “Apabila anda keluar rumah, maka anda berada di taman.”

sungai
Hari sudah semakin siang, aku harus mulai memperhitungkan jalur pulang. Kuarahkan sepeda ke arah barat, menyusur tepian sungai yang berwarna cokelat. Entah dari pecahan apa sungai ini berasal, dan hendak menuju ke mana? Ilalang tumbuh di tepi-tepi sebagai pembatas sederhana antara jalan dan tanggul batu penahan sungai. Ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk di ‘buk’ pagar jembatan. Sungai di desa tepi perkotaan tidak banyak riak, hanya mengalir tenang ke hilirnya. Jalan tepi sungai ini cukup lebar, sehingga berhenti sejenak di tepinya tak akan mengganggu yang lewat di belakang.

kali code, yogyakarta
kali code, yogyakarta

Ada apa dengan orang desa? Mengapa mereka begitu mudah untuk diajari tidak membuang sampah ke sungai, sehingga tidak ada penyumbatan dan mengakibatkan banjir di kota? Mengapa perairan mengalir ini bisa tampak rapi dan bersih? Di sini, tak ada bangunan yang terlalu mepet dengan air. Tak ada masalah tinggal di atas air dan menimbulkan banyak penyakit. Sungai diperlakukan sebagaimana fungsinya, menerima lebihan air yang tidak bisa diresapkan dan menyalurkannya lagi ke kota. Sungai juga sebagai tempat rekreasi dari warga sekitarnya, juga sebagai habitat hidup berbagai ikan-ikan kecil yang kuat. Jalan mengalirnya air ke laut, untuk menguap di sana, naik menjadi awan, dibawa angin ke gunung, dan menurunkan hujan di sana. Akhirnya air kembali lagi ke sungai sebagai jalan besarnya.

Sementara di kota, sungai menjadi halaman belakang yang ditutup-tutupi. Disembunyikan dan menjadi tempat pembuangan benda-benda tak berguna. Dari membuang sampah hingga membuang malu. Lama-lama tak nyaman lagi untuk disusuri, karena yang dilihat di tepian bukannya ilalang atau bambu, melainkan tiang-tiang penahan ruang tinggal yang makin terpojok. Lalu sungai harus diselamatkan supaya tidak dipersalahkan sebagai pembawa banjir yang merugikan manusia. Karena tanpa sungai, bagaimana siklus air ini akan terus berlangsung?

Sungai dijadikan halaman depan, dijauhkan dari dinding-dinding rumah tinggal sehingga tak harus menopang tiang-tiang yang bukan kewajibannya. Diberi jarak antara sehingga orang bisa menikmati tepiannya. Ditanggul dengan bebatuan supaya tidak luruh dan longsor. Sehingga ketika sungai di kota dipandang dari jembatan, akan mendapati perasaan yang enak seperti memandangi aliran sungai di desa. Bisa melihat air yang bergerak bebas menuju lautan tanpa hambatan.

jalan
Akhirnya aku menemukan jalan raya lagi. Kali ini harus berhati-hati karena tidak lagi bertemu motor atau bebek melintas, namun ini adalah jalan seperti kota. Truk sedang melaju agak kencang, mobil pick up yang membawa hasil bumi, motor yang meraung-raung. Polusi sudah banyak muncul. Peluhku sudah mulai mengalir sesudah hampir 13 km mengayuh. Belum terlalu jauh, sih. Itu sama dengan porsi bersepedaku setiap minggu. Di tepian kota seperti ini, tidak ada jalur khusus pesepeda. Banyak yang bersepeda karena itu adalah sarana transportasi harian, bukan sekadar jalan-jalan saja sepertiku.

sepeda petani
sepeda petani

Jadi lingkungan seperti apa yang aku harapkan sebagai tempat tinggalku? Apa aku memilih kota atau desa, atau kota yang menyerupai desa dan tidak memperbolehkan desa menyerupai kota? Alangkah egoisnya aku sebagai manusia yang sudah melihat banyak tempat dan bisa memilih. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah berpindah dan senantiasa tinggal di tempatnya berada?

Aku ingin sawah-sawah itu tetap ada, pepohonan di desa dan hutan, juga sungai yang mengalir itu. Tanpa mempertahankan tanaman dan binatang hidup yang seharusnya mendukung manusia untuk hidup, maka lama kelamaan lingkungan akan mati. Kualitas udara dan air yang baik juga akan tercapai apabila siklusnya berjalan dengan sempurna. Apabila ada satu yang gagal, akan terjadi kepenatan luar biasa yang jenuh dan berakhir dengan bencana.

Untuk menjaga kehidupan manusia, harus mempertahankan lingkungan hidupnya juga. Bagaimana pun siklus yang berjalan itu tidak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi canggih. Manusia akan selalu rindu pada hijaunya dedaunan, mendengarkan air, menikmati langit biru, udara segar. Karena setiap manusia berhak untuk itu, dan juga berkewajiban untuk menjaganya. Seharusnya, semua ini mudah dan murah, seandainya saja tidak terlalu banyak orang serakah.

Aku berbelok lagi. Pulang.
Hanya ada tiga gambar di atas yang menjadi jalur sepedaku. Lainnya diambil di saat-saat yang lain. Daerah-daerah ini punya potensi besar untuk mengembangkan wilayahnya menjadi lebih hijau, lebih ramah lingkungan, dan bahagia tanpa modernitasnya. Tetaplah sederhana, Jogja.

biarkan pepohonan tetap ada..
biarkan pepohonan tetap ada..

Tulisan ini dibuat bersama-sama dengan Travel Bloggers Indonesia untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2014. Tema tahun dari UNEP (United Nation Environmental Programme) adalah Raise your voice, not Sea Level. Pertahankan siklus lingkungan bumi agar tidak menaikkan muka air laut dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Mari berjalan dan tetap menjaga alam! World Environment Day #WED2014

Baca juga tulisan teman-teman blogger yang lain yang juga seru!

cerita dari kak Danan Wahyu @dananwahyu >> Menjelajah Negeri Orang Laut
khayalan Yofangga @yofangga >> Selamat Datang Di Masa Depan
kegeraman Fahmi @catperku >> Tentang Cagar Alam & Etika Jalan-Jalan Di Alam
obrolan Firsta @discoverurindo >> Interview with Tiza Mafira: Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik
gelisahnya Fahmi Anhar @fahmianhar >> Dilema Wisata Karimunjawa
renungan Wisnu @dalijo >> Kebiasaan Bersahabat dengan Lingkungan
berjalan ala Felicia @FeliciaLasmana >> Apa itu Green Tourism?
berhati-hati bersama Wira @wiranurmansyah >> 5 Dosa Para Pendaki Gunung yg harus dihindari
dari kalimantan Indra @bpborneo >> Hutan Kalimantan, Nasibmu Kini
liburan Olive @oli3ve >> Ber-Ekowisata bersama Tintin di Hutan Kota Kemayoran
semangat Bulan @ubermoon >> Bersihnya Situ Gunung..
sikap Farchan @efenerr >> Menjaga Etika Perjalanan Menjaga Alam
curhat Adlienz @adliencoolz >> Musuh Abadi, Plastik
kota Kerala dan Gio @duabadai >> How environment-friendly are u?
tepian Indonesia Bolang @Lostpacker >> Ekosistem pesisir di ujung negeri
hati Indri @miss_almayra jatuh cinta kepada hijau

25 thoughts on “jatuh cinta kepada hijau

  1. Mbak Indri, aku belum pernah sepedaan di Yogya, tapi sudah terbayang serunya.
    Aku pindah dari Godean ke Gejayan pun merasakan hal yang sama.. bye bye sawah! 😦
    Untungnya bagian kamar mandi banyak tanaman-tanaman dan halaman rumah yang sekarang lebih luas dan hijau 🙂

  2. […] Negeri Orang Laut – Rijal Fahmi Mohamadi : Tentang Cagar Alam dan Etika Jalan-Jalan di Alam – Indri Juwono : Jatuh Cinta Kepada Hijau – Firsta Yunida : Interview with Tiza Mafira: Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) – […]

  3. Aku merindu naik sepeda othel trus keliling jalanan desa menyusuri sawah. Dan itu dah lama banget, seingat ku 5 tahun lalu saat nginep di cangkringan resort merapi …. dipinjemin sepeda dan diajak keliling kampung deket rumah mbah marijan. Ah jadi kangen JOGJAAAAAAAAAA 🙂

Leave a Reply to indrijuwono Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.