
“Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.”
pepatah jawa
Jalan tol trans jawa memang nyaman untuk laluan cepat, segera sampai tujuan. Tapi memang untuk yang ingin menikmati kota-kota dan apa yang khas di sana, keluarlah dan lewat jalan yang lama. Pasti ketemu hal-hal baru, juga kuliner khasnya yang lezat pada tempat terbaiknya. Makanya di perjalanan ke Jawa Timur lalu aku, Bap dan Bintang membuat itinerari melalui kota-kota di jalur lama kami mudik selain sembari nostalgia, juga menjajal rasa di lidah tentunya.
Menghabiskan sehari di Malang, kami bergerak menuju selatan. Meskipun kami melewati Mie Gacoan yang rame banget, tapi nggak tertarik untuk mampir (karena antri banget). Perjalanan melalui Kepanjen dan melalui Bendungan Sutami di Selorejo, pembangkit listrik tenaga air untuk wilayah Jawa Timur.Sayangnya mas Jo harus rapat online jadi jalur ini terpaksa aku harus menyetir dengan navigasi Bintang yang mengarahkan. Tapi itu pun tak pelak dari godaan, karena telepon panjang dari kantor membuat aku harus membagi konsentrasi antara jalanan dan keputusan yang harus diambil. Kepanjen, Selorejo, Wlingi, berkelak-kelok dan akhirnya menjelang sore kami memasuki gerbang kota Blitar.
BLITAR
Pernah tinggal 20 bulan di sini di penghujung masa Sekolah Dasar hingga SMP kelas 1, karena tepat di awal masa remaja makanya pasti kotanya teringat banget. Walaupun sudah pernah kota ini lagi pada tahun 2015 menyenangkan juga melihat gedung SMP 1 yang besar dan berjendela tinggi, trotoar kota yang lebar dan bersih, alun-alun dan pohon beringin tua di tengah dan sudut-sudutnya berhadapan dengan kantor bupati. Jalan Merdeka hingga ujung pusat bisnis kota Blitar.
Tak heran kalau kota ini langganan mendapatkan piala Adipura, apalagi kota dengan lalu lintas terbaik. Memang sih, kendaraan juga tak banyak berlalu lalang di sini. Tak banyak kegiatan niaga ataupun industri di kota ini yang membuatnya hidup dan gemerlap. Blitar adalah kota masa tua dan rehat, yang sesekali diganggu oleh batuknya Gunung Kelud yang membuatnya dihujani abu menutupi atap-atap rumah.


Tempat paling ramai di Blitar tentunya adalah Makam Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno yang berada di kelurahan Bendogerit, tak jauh dari tempat aku tinggal di tahun 1990 dulu. Makam yang sudah direnovasi berpadu dengan museum yang didesain oleh Ar. Baskoro Tedjo ini, bercerita tentang kisah sang proklamator, gagasan dan idenya yang revolusioner dengan negeri ini.
Tapi yang paling diingat oleh aku dan Bap adalah Sumberudel. Know what? Itu adalah nama pemandian tempo dulu di Blitar yang tercetus pada perjalanan kami di Bali beberapa tahun silam. Aku si anak daerah yang heran kenapa si anak kota itu tahu Sumberudel, yang berada di kota jauh dari hingar bingar ibukota.


Ternyata memang ada adiknya mama mertua yang tinggal di dekat situ (bahkan dekat dengan komplek rumah tempat tinggalku), yang kami mampiri sore itu, untuk bersilaturahmi sekaligus sekadar meluruskan kaki sebelum kami melanjutkan ke perjalanan selanjutnya.

Sayangnya di Blitar kami tak menjajal kulinernya, yang paling khas adalah nasi pecel. Karena memang kayaknya nasi pecel ini ada di seantero jalur selatan Jawa Timur ini. Terbatasnya waktu dan kami harus lanjut lagi ke kota berikutnya.
Jalan Blitar ke Tulungagung relatif lurus dan rata, berkelok sedikit namun hanya berpindah dari sisi kiri rel atau sisi kanan rel. Karena sudah menjelang gelap, jadinya kami berhati-hati saja melihat jalanan supaya tidak tersasar ketika masuk Ngunut, pertanda sudah hampir masuk kota.
TULUNGAGUNG
Kota ini adalah kota kelahiran ayahku 71 tahun yang lalu, tempat menghabiskan masa kecilnya dengan main di kali, jalan di sawah. Ruamhnya tidak di kota, namun di desa Panggungrejo yang berjarak sekitar 6 km ke arah barat. Dulu ayahku ke sekolah SMA harus naik sepeda walaupun jaraknya jauh. Sejak kecil, setiap dua tahun kami sekeluarga selalu pulang mudik ke sini. Kadang naik bus Harapan Jaya, kadang naik kereta sampai Kertosono sambung bis, atau naik kendaraan pribadi. Atau ketika liburan panjang, sering aku ‘dititipkan’sendiri di sini. Maka aku akan ikut bulik setiap hari ke pasar, berbelanja peralatan masak dari tembikar, dan main pasaran di halaman rumah sampai sore. Eyangku bukan petani, melainkan wartawan (mungkin itu juga yang menurunkan bakat menulisku kini), tapi aku tak banyak punya kenangan tulisannya selain cerita saja.
Karena sudah turun malam, dan hujan pula, maka kami berniat untuk mencari soto di stasiun. Eh, ternyata semua gelap dan tutup. Baru kusadari bahwa soto ini bukanya hanya pagi hari saja. Jadi dari stasiun kami mengitari alun-alun saja, lalu ke sekitar pasar Wage untuk mencari kudapan malam.
Tidak seperti di kota besar, di Tulungagung ini sepertinya memang kotanya sudah tutup jam empat sore, demikian juga segala aktivitasnya sudah terlihat sepi. Atau juga karena sedang hujan maka toko memilih menutup tokonya daripada menunggu pembeli yang mau menembus rintik. Toko-toko dengan pintu-pintu kayu besar sudah tertutup, penghuninya menghabiskan waktu di dalam rumah.
Kami menemukan tahu lontong di salah satu kaki lima depan toko yang tertutup. Penjualnya begitu sigap melayani melihat muka kami yang kelaparan ini. Dengan lahap kami menyuap tahu, lontong, kacang, seledri, dengan bumbu kacang itu ke dalam mulut di warung sederhana itu. Segelas teh hangat menjadi penutup makan malam ini.


Menuju desa Panggungrejo, aku mengingat-ingat patokan belokan ke rumah eyang yang berada di depan pabrik gula Mojopanggung itu. Dulu sewaktu belum ada google maps, rasanya pasti ingat gapuranya karena ke sana tiap tahun tidak pernah absen sejak kecil. Hanya sejak eyang wafat, ayah agak jarang mengajak mengunjungi rumahnya dahulu lagi.
Hari sudah gelap ketika kami tiba di rumah eyang yang berhalaman besar itu. Pohon mangga mengelilingi rumah berkamar tiga tempat kami sering menginap beramai-ramai masa bocah. Sekarang rumah itu hanya dihuni oleh bulik dan paklik yang juga sudah pensiun, berdua. Kandang ayam yang dulu banyak di belakang rumah pun sudah tak ada, menyisakan pekarangan kosong saja.

Tak lama kami berada di situ karena masih harus melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Wah, memang panjang sekali perjalanan hari itu melintas berbagai kota.
Seperti yang sudah kami ketahui, jalanan dari Tulungagung ke Ponorogo penuh dengan kelokan dan harus ekstra hati-hati apalagi menyetir di malam hari. Pegunungan kapur yang melingkupinya membuat kontur jalan menjadi berputar. Tetapi untunglah kondisi jalannya lebar dan aspalnya bagus, sehingga tak terhambat di jalan apabila ada truk yang jalannya lambat. Melalui Trenggalek hingga Ponorogo memang sering dihantui bahaya longsor sehingga harus berhati-hati. Akhirnya lewat jam 10 malam kami baru tiba di rumah Ponorogo, yang merupakan rumah bulik dari Bap.
PONOROGO
Kota yang dijuluki kota Reog ini memang kelahiran ayah dan ibu mertuaku, sehingga menjadi kenangan mudik dari Bap, suamiku. Bahkan kakak iparku sempat tinggal beberapa tahun di sini karena keluarga pindah ke Kalimantan pada tahun-tahun itu. Tak menyangka juga sekian tahun kemudian, ketika kami berjodoh, ternyata tetangga beda kota, sesama Jawa Timuran juga. Pantesan kami jadi gampang nyambung kalau ngobrol soal jalur mudik, yang rupanya sesama pengguna jalur Solo-Sukoharjo-Wonogiri- Ponorogo. Namun keluargaku lanjut via Trenggalek hingga Tulungagung.
Setiba di rumah Bulik pada jam setengah sebelas malam, langung saja diajak untuk mencoba makanan khas yang rasanya sudah tak lewat, Sate Ayam Ponorogo! Daging ayam pipih dengan bumbu manis dibakar dan disantap dengan lontong. Penjualnya berjejer-jejer di jalan Sudirman dan kami tinggal lesehan saja sambil menikmati sate. Pas sekali dengan perut dan badan yang penat ini. Menjelang tengah malam baru kami masuk ke hotel untuk beristirahat.

Sengaja memang kami tidak pesan kamar dengan sarapan, supaya bisa berputar-putar menjajal penganan khas, dong. Kota Ponorogo ini lumayan cepat panas juga, mungkin karena areanya yang dikelilingi pegunungan kapur, sehingga jam sepuluh pagi pun muka kami sudah berkeringat. Seperti khasnya kota-kota di Jawa, jalan-jalannya berbentuk grid dengan sentralnya di alun-alun. Tidak mudah tersesat karena jalan-jalannya sejajar, di mana di persimpangannya ada patung-patung yang berdiri megah. Tapi karena mungkin si Bap sudah hafal, bareng sepupunya yang penunjuk jalan juga.

Di jalan utama sebagai pusat bisnis, berderet toko-toko yang menjual aneka kebutuhan pangan, dengan trotoar lebar yang baru jadi. Tampak pohon-pohon kamboja bali yang dipindahkan ke situ yang mungkin kelak akan menjadi rimbun dan meneduhi jalur pejalan kaki itu.
Nasi pecel menjadi pilihan sarapan pagi kesiangan itu, tidak hanya dengan sayur pecelan biasa, namun juga ditambah daun semanggi, ikan wader goreng, apalagi dengan rempeyek kacang tebal. Bumbunya tidak terlalu pedas namun nyamleng, diakhiri dengan es teh manis sebagai penutup yang menyegarkan.


Di Ponorogo aku sempat bersua dengan kawan DAMRI cabang di kantornya yang tak jauh juga dari alun-alun, sembari juga menilik lokasi lahan yang dipenuhi oleh mobil-mobil yang siap melayani warga Ponorogo ke kota-kota lain maupun tempat wisata sekitarnya. Eh, malah dapat oleh-oleh satu besek sate.
Siang hari kami melanjutkan untuk makan di warung sate dan gule Bu Tiwi dekat Pasar Legi yang dagingnya empuk dan kuahnya gurih. Uniknya kecap untuk bakaran satenya ini dibuat sendiri oleh penjualnya, lho. Makanya rasanya khas, manis asin yang nggak sama dengan kecap bermerk yang ada di pasaran. Akhirnya, sesudah membawa sekotak roti bluder, kami pun melanjutkan perjalanan ke selatan.



Lho koq, selatan? Iya nggak ke barat dulu, karena kami penasaran kepingin ke pantai selatan dan yang terdekat sebenarnya adalah di Pacitan. Jadi alih-alih menuju barat, malah kami melalui jalanan naik turun bukit penuh kelokan sawah hutan dan ladang, pedesaan, pasar, hingga masuk kota salah satu mantan Presiden RI, SBY.
PACITAN
Sebenarnya aku pernah ke sini ketika SMA tahun 1996 (wow, I’m so old), tapi kenanganku cuma desa-desa yang hijau dan jalanan yang agak tandus. Perjalanan menyusuri tepian sungai naik turun itu akhirnya sampai di kota yang rapi dan bersih, mungkin hampir sama dengan Blitar, semua jalannya dihotmix rapi dan lampu lalu lintas yang teratur. Walau demikian, kendaraan juga tak banyak sih. Karena sudah sore, kami tak berniat untuk mampir museum atau apalah yang di dekat sana.
Sudah jam empat sore ketika kami memutuskan untuk singgah saja ke Pantai Teleng Ria di tepi kota Pacitan. Ekspektasi kami pastilah karena pantainya kota, ya bakal biasa saja seperti di Anyer atau kota-kota lain. Wow, pantainya bagus sekali dan sepi. Hanya 10 menit dari kota Pacitan , sudah ketemu teluk dengan penginapan di pantainya, juga ada warung-warung tapi sudah menjelang tutup.
Enaknya, karena area warung dan pantai terpisah oleh gundukan gumuk yang tidak terlalu tinggi, jadi di pantainya bersih, tidak banyak yang lalu lalang dan pemandangannya jadi indah sekali. Bintang berlari-lari di pantai kegirangan, aku berkecipuk dengan air, Bap santai-santai saja di tepian.





Ya, sedemikian itu kami sukanya dengan pantai ini, walaupun kami yakin bahwa masih banyak pantai bagus di pesisiran ini menuju Yogyakarta, tapi masa iya kami ke pantai pas gelap, mau menginap di mana pula nanti. Senja turun ketika kami sudah merasa cukup, meski mungkin masih kurang puas, tapi kan perjalanan masih jauh, jalur selatan ke Yogyakarta ini.
Tak satu pun dari kami yang pernah melalui jalur selatan ini, yang nyata-nyata dari magrib pun terlihat bahwa jalan ini memasuki hutan jati. Agak-agak seram gimana sih, tapi karena jalannya bagus lebar dan ramai kami ikuti saja terus. Jalanan menanjak terus hingga punggungan bukit, yang melihat ke selatan kalau siang hari kami yakin pasti birunya laut terlihat jelas di ketinggian. Sesekali jalan turun dan menanjak tinggi yang kami namakan tanjakan cilukba, karena nggak tahu apa yang di baliknya nanti. Mana estimasi perjalanan masih tiga jam pula. Tag google map kucarikan ke Yogya via Pracimantoro.
PRACIMANTORO
Anehnya, jalan besar bagus itu berakhir ketika memasuki provinsi Jawa Tengah. Seketika menjadi jalan dua jalur luar kota biasa yang agak bergelombang. Desa-desa dengan lampu remang-remang kami lewati, tampak orang-orang di jalan pulang ibadah dari masjid atau surau. Iseng-iseng aku lihat kakinya, semoga menapak dengan benar. Iyalah, kan takut di kampung orang. Tapi disusuri saja, hingga sampai kota Pracimantoro.
Kota ini mengingatkan pada buku Umar Kayam, Para Priyayi yang memang bersetting di sini, tapi sepertinya dulu masih berupa desa, belum jalan aspal seperti sekarang. Tergoda juga untuk belok ke utara lewat Donoloyo, lanjut Wonogiri, tapi kami teguh pada jalur yang kami rencanakan meskipun gelap, jarang ada lampu jalan dan berkelak-kelok. Asal masih pada jalur kuning di google maps, okelah aman.
Masih banyak jalan berkelok berliku yang kami lalui, dan sambil lihat depan masih ada mobil dan belakang ada yang mengikuti, kami yakin itu jalannya. Karena lewat hutan tentu saja memang harus tetap berpikir positif, apalagi pas tanjakan cilukba. Jadi kami nggak ada yang tidur dan dihabiskan dengan main tebak-tebakan aneh bikin mikir, yaitu menyebutkan nama indonesia dari makanan tradisional Indonesia dalam bahasa inggris. Contoh : fishcake swimming in a vinegar! — You know what? Pempek!
YOGYAKARTA
Masuk provinsi DI Yogyakarta, jalannya mulai bagus lagi dan melebar hingga kami melalui kota Wonosari. Yaampun, sudah dekat nih dengan tujuan kami walaupun masih di Gunung Kidul. Mata sebenarnya sudah lelah dan bahan obrolan pun rasanya sudah habis, kepingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Untungnya karena jalannya memang beneran bagus dan sudah malam sehingga nggak ada kemacetan juga, tak lama kami sampai di titik yang kukenali sebagai Bukit Bintang yang bisa memandang kota dari atas dengan ciamik.
Nah, berarti jalannya tinggal turun saja nih sampai Banguntapan, menyusur jalan tengah kota, lewat alun-alun kidul, terus hingga ke barat . Tak sampai satu jam kemudian kami sudah memasuki kota yang juga sudah siap-siap beristirahat, sudah sepi semua toko tutup. Tapi kami lapar, jadi mencari pengganjal bakmi Jogja dulu sebelum masuk hotel. Kenyang dan hangat, dengan badan yang sudah terseok-seok kami masuk satu boutique hotel terkenal yang berada di Jalan Patang Puluhan itu dan sudah kepingin banget check in di jam 11 malam itu yang sudah dipesan sejak tiga minggu sebelumnya.


Jeng-jeng, ternyata pesananku nggak ada di daftar reservasi, dan hotelnya full pula! Kesal banget mana tengah malam, membayangkan istirahat di situ, tapi ternyata nggak bisa check in. Ternyata memang ada notif pembatalannya ke email, tetapi siapa sih yang ngecek email di perjalanan 8 hari lalu? Mana ini akhir pekan pula, cari hotel bagus pasti susah. Muka sudah lecek dan ngantuk masih harus cari hotel pengganti.
Langsung kami browsing traveloka dan pilih di Sahid Hotel yang lokasinya dekat Maguwo (yang membuat berarti kami harus balik lagi ke timur). Untungnya dapet lima belas menit sebelum tengah malam. Jadi bergegas pindah ke timur, parkir dan menurunkan barang-barang, kemudian istirahat meredakan penat banget sesudah perjalanan sejak Malang kemarin. Bakal stay dua hari di sini, jadi lumayan untuk recovery dulu.
Depok, 25 Maret 2023. Perjalanan Januari 2022 Family road trip.
(terus ikuti perjalanan selanjutnya di Yogyakarta!)

Masih di road trip ini :
Harris Gubeng Surabaya Project
Surabaya, Madura, dan Kenangan masa Remaja
Duh lihat sate Ponorogo jadi merindu. Itu sate gak ada duanya, gak tahu deh gimana cara niru bikin sate Ponorogo.
nah itu, kalau di Jakarta pun cuma ada pas lebaran di rumah. itu juga kalau tukang satenya mau disuruh bikin.
manis-manis gimana gitu rasanya..
Dari semua kota yang disebutkan saya baru mampir ke Jogja doang hahahha 😀
Jadi pengen mampir deh ke Ponorogo dan kota2 lainnya yang belum sempat disinggahi.
Btw, ngiler sama satenya kak 😀
berarti kurang jauh lagi mainnya, yuk masih muda terus bertualangg.. lanjut dari jogja ke timur..
Seru dan menarik ya road trip kota-kota pantai selatan jawa ini. Kotanya bersih-bersih dan adem. Blitar memang jadi wishlist kalau nanti jelajah Jawa Timur. Belum kesampaian ke sana, baru ke tetangganya di Kediri.
Duh penasaran banget itu sama Sate Ponorogo.